DAGO bukan sekadar jalan atau nama kawasan. Dago adalah lanskap. Ia juga bukan cuma sebuah titik koordinat di peta Kota Bandung, melainkan simpul sejarah, budaya, dan ekologis yang terus bertransformasi.
Di zaman baheula, kala masa Walanda, Dago dikenal sebagai kawasan hunian eksklusif bagi kalangan kaum Eropa. Letaknya yang berada di ketinggian dan berhawa sejuk dianggap ideal untuk beristirahat.
Bangunan bergaya art deco dan vila-vila kolonial di sekitarnya menjadi penanda masa lampau Dago. Dulu sekali, Dago bukan ruang publik, melainkan sebuah enclave kelas atas yang sulit diakses warga lokal.
Kini, gulir roda zaman telah mengubah wajah Dago. Siapa pun bisa mengakses Dago untuk beragam aktivitas. Entah itu cuma lelarian di pagi hari, berswafoto, atau hanya menikmati rimbunnya pepohonan, atau -- bagi yang punya kapital -- berbisnis demi meraup cuan.
Dalam konteks kekiwarian, Dago menjadi panggung ekspresi identitas. Kawasan yang semula eksklusif, kini terbuka, namun tetap mempertahankan nuansa selektif melalui simbol-simbol gaya hidup modern.
Namun, di balik pusaran perubahan yang terus bergulir, satu tanya mengapung: siapa yang harus merawat Dago? Siapa yang seharusnya menjaganya dari kepungan beton dan kerakusan kapital?
Sekadar sasapu jalan
Merawat Dago bukan hanya sekadar sasapu jalan atau menanam kembang warna-warni di sepanjang Dago. Tapi, perlu pula dibarengi dengan keberpihakan terhadap lingkungan dan warga sekitar. Perawatan sejati menuntut keberanian menolak proyek yang merusak ruang hidup bersama.
Kita sama-sama tahu Dago semakin sesak. Bangunan komersial kian mengokupasi kawasan Dago. Taman-taman kecil yang tersisa di Dago kian terdesak. Di balik jargon eco-lifestyle, banyak properti baru dibangun dengan jargon hijau yang kadang sekadar tempelan.
Padahal, Dago -- terutama kawasan Dago atas -- menyimpan kerentanan ekologis yang mungkin luput dari perhatian. Letaknya yang berada di perbukitan menjadikannya rentan terhadap longsor dan banjir, terutama bila prinsip-prinsip tata ruang diabaikan demi kepentingan jangka pendek.
Kita sama-sama paham, setiap batang pohon yang ditebang bukan hanya mengubah lanskap visual, tetapi juga menghapus jejak biologis yang telah tertanam selama puluhan, bahkan ratusan tahun, sebuah jejak yang tak mungkin dikembalikan begitu saja.
Namun, Dago bukan hanya terkait dengan kawasan hijau yang perlu dijaga. Ia juga merupakan ruang ilmu yang tumbuh dari akar sejarah kota ini. Di kawasan ini berdiri kampus-kampus, sekolah, dan ruang diskusi yang menjadi nadi dari semangat progresif Bandung. Ruang belajar ini tumbuh berdampingan dengan lanskap alamnya, sebuah harmoni yang semakin langka di kota-kota besar kiwari.
Ada yang bilang bahwa kota tanpa ruang publik yang sehat adalah kota yang kehilangan ruh. Dan Dago bisa menjadi contoh terbaik atau kegagalan paling kentara dalam soal ini.
Ketika ruang-ruang di Dago hanya didefinisikan oleh fungsi ekonomi -- kafe, hotel, dan properti mewah -- maka makna kebersamaan, kesetaraan, dan inklusi pelan-pelan tergerus. Padahal, ruang publik bukan sekadar tempat berkumpul, tetapi juga ruang ekspresi, kontestasi gagasan, dan pertemuan antarwarga tanpa sekat kelas sosial.
Laboratorium kota

Jika Dago dikelola dengan visi ekologis dan sosial yang berimbang, ia bisa menjadi laboratorium kota yang manusiawi. Bayangkan Dago sebagai ruang yang bukan hanya ramah bagi turis berkantong tebal, tapi juga menyambut para lansia, anak-anak, balita, kaum difabel, pelaku seni, pesepeda, maupun mereka yang nikreuh.
Kota yang sehat bukan kota yang sekadar tampil cantik campernik di media sosial, melainkan kota yang menyediakan ruang tumbuh secara nyata bagi semua warganya -- ruang untuk bernapas, berdialog, dan merajut mimpi bersama.
Hingga kini, banyak yang datang ke Dago untuk mencari udara segar. Tapi, ironisnya, kemacetan dan polusi kendaraan justru meningkat saban akhir pekan. Jalanan yang seharusnya menjadi koridor hijau justru berubah menjadi lorong berisik yang penuh emisi.
Maka, alih-alih menenangkan, suasana Dago malah kerap memicu stres baru bagi mereka yang datang dengan maksud “melarikan diri” dari kepenatan kota.
Dalam teori Henri Lefebvre, kota adalah ruang produksi sosial. Dago tidak lepas dari hal ini. Ruangnya kini diproduksi ulang terus-menerus oleh beragam aktivitas dan relasi kekuasaan.
Oleh sebab itu, merawat Dago juga berarti mempertanyakan ihwa siapa yang punya kuasa atas ruang. Apakah warga bisa berpartisipasi penuh atau hanya jadi penonton?
Sekadar ilustrasi, ketika sebuah proyek properti skala besar dibangun di Dago, kira-kira suara siapa yang paling didengar? Apakah warga setempat, atau hanya investor dan pemegang izin? Bukankah seharusnya ruang kota dirancang untuk hidup bersama, bukan hanya untuk keuntungan segelintir pihak?
Dalam konteks ini, merawat Dago bukanlah nostalgia romantik mengenang masa-masa silam semata. Ini soal keberlanjutan hidup kota secara keseluruhan. Merawat Dago berarti pula memastikan bahwa generasi mendatang masih dapat merasakan udara segar, ruang terbuka, dan kekayaan budaya yang selama ini menjadi identitas Bandung.
Itu semua adalah tanggung jawab kolektif untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.
Baca Juga: Cara Baru Menulis di Ayobandung.id, Tak Perlu Kirim Tulisan ke Email
Aktivis urban seperti Jane Jacobs mengajarkan pentingnya ihwal apa yang diistilahkan sebagai "mata di jalan", yakni pengawasan kolektif dari warga sebagai penjaga alami ruang publik.
Dan di Dago, "mata di jalan" itu bisa datang dari komunitas sepeda, pejalan kaki, pelari yang rutin lelarian di Dago, atau bahkan dari seorang juru parkir yang paham betul ihwal perubahan lingkungan sekitar.
Akan tetapi, keterlibatan warga hanya bisa tumbuh jika ada akses informasi dan ruang partisipasi yang nyata. Tanpa transparansi dalam pengambilan keputusan, warga akan merasa dijauhkan dari proses yang menentukan masa depan lingkungan mereka sendiri.
Ruang partisipasi yang terbuka memungkinkan beragam suara -- dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi -- untuk didengar dan diperhitungkan. Hanya dengan demikian, perawatan Dago dapat menjadi ikhtiar bersama yang bermakna dan berkelanjutan.
Baca Juga: Ketentuan Kirim Artikel ke Ayobandung.id, Total Hadiah Rp1,5 Juta per Bulan
Sebagai aset ekonomi
Pemerintah Kota Bandung seyogianya tidak melihat Dago hanya sebagai aset ekonomi belaka, tetapi juga melihatnya sebagai ruang ekosistem sosial dan ekologis. Penataan Dago harus berbasis prinsip keadilan spasial, bukan semata logika investasi.
Konsep kota spons yang menyerap air dan menjaga keseimbangan tanah bisa diterapkan untuk menghindari bencana ekologi di Dago.
Program penghijauan harus mengutamakan vegetasi lokal, bukan sekadar pohon hias eksotis yang fotogenik tapi tidak ekologis. Lebih dari itu, Dago selalu perlu forum warga yang aktif dan diberi ruang untuk ikut memutuskan arah pembangunan kawasan.
Dago yang dirawat bukan Dago yang dikurung pagar mewah, tapi Dago yang hidup lewat interaksi dan rasa memiliki bersama. Kampanye cinta lingkungan tidak akan berarti jika ruang hijau terus dijual. Komitmen ekologis harus diuji lewat kebijakan yang konsisten.
Pemerintah tidak cukup hanya menanam pohon seremonial. Perlu ada audit ekologis menyeluruh dan rutin terhadap dampak pembangunan di kawasan Dago. Karena Dago bukan sekadar koridor bisnis maupun koridor wisata, tapi ruang identitas kota Bandung yang terus berproses.
Kita tak bisa terus-menerus menjadi generasi yang hanya mewarisi keindahan, tapi juga mewariskan kehancuran. Merawat Dago sejatinya adalah bentuk cinta yang utuh kepada Bandung -- sebuah cinta yang tidak sekadar mengagumi, tetapi juga bertanggung jawab dengan menjaga dan melindunginya.
Karena sejatinya, kota yang baik bukanlah yang paling modern atau canggih, melainkan yang mampu merawat warisan budaya dan alamnya sekaligus mengayomi seluruh warganya dengan adil dan berkelanjutan. (*)