Dago dan 'Mata di Jalan'

Djoko Subinarto
Ditulis oleh Djoko Subinarto diterbitkan Sabtu 24 Mei 2025, 19:43 WIB
Warga melakukan aktivitas lari pagi di kawasan Dago, Bandung. Foto: Djoko Subinarto.

Warga melakukan aktivitas lari pagi di kawasan Dago, Bandung. Foto: Djoko Subinarto.

DAGO bukan sekadar jalan atau nama kawasan. Dago adalah lanskap. Ia juga bukan cuma sebuah titik koordinat di peta Kota Bandung, melainkan simpul sejarah, budaya, dan ekologis yang terus bertransformasi.

Di zaman baheula, kala masa Walanda, Dago dikenal sebagai kawasan hunian eksklusif bagi kalangan kaum Eropa. Letaknya yang berada di ketinggian dan berhawa sejuk dianggap ideal untuk beristirahat.

Bangunan bergaya art deco dan vila-vila kolonial di sekitarnya menjadi penanda masa lampau Dago. Dulu sekali, Dago bukan ruang publik, melainkan sebuah enclave kelas atas yang sulit diakses warga lokal.

Kini, gulir roda zaman telah mengubah wajah Dago. Siapa pun bisa mengakses Dago untuk beragam aktivitas. Entah itu cuma lelarian di pagi hari, berswafoto, atau hanya menikmati rimbunnya pepohonan, atau -- bagi yang punya kapital -- berbisnis demi meraup cuan.

Dalam konteks kekiwarian, Dago menjadi panggung ekspresi identitas. Kawasan yang semula eksklusif, kini terbuka, namun tetap mempertahankan nuansa selektif melalui simbol-simbol gaya hidup modern.

Namun, di balik pusaran perubahan yang terus bergulir, satu tanya mengapung: siapa yang harus merawat Dago? Siapa yang seharusnya menjaganya dari kepungan beton dan kerakusan kapital?

Sekadar sasapu jalan

Merawat Dago bukan hanya sekadar sasapu jalan atau menanam kembang warna-warni di sepanjang Dago. Tapi, perlu pula dibarengi dengan keberpihakan terhadap lingkungan dan warga sekitar. Perawatan sejati menuntut keberanian menolak proyek yang merusak ruang hidup bersama.

Kita sama-sama tahu Dago semakin sesak. Bangunan komersial kian mengokupasi kawasan Dago. Taman-taman kecil yang tersisa di Dago kian terdesak. Di balik jargon eco-lifestyle, banyak properti baru dibangun dengan jargon hijau yang kadang sekadar tempelan.

Padahal, Dago -- terutama kawasan Dago atas -- menyimpan kerentanan ekologis yang mungkin luput dari perhatian. Letaknya yang berada di perbukitan menjadikannya rentan terhadap longsor dan banjir, terutama bila prinsip-prinsip tata ruang diabaikan demi kepentingan jangka pendek.

Kita sama-sama paham, setiap batang pohon yang ditebang bukan hanya mengubah lanskap visual, tetapi juga menghapus jejak biologis yang telah tertanam selama puluhan, bahkan ratusan tahun, sebuah jejak yang tak mungkin dikembalikan begitu saja.

Namun, Dago bukan hanya terkait dengan kawasan hijau yang perlu dijaga. Ia juga merupakan ruang ilmu yang tumbuh dari akar sejarah kota ini. Di kawasan ini berdiri kampus-kampus, sekolah, dan ruang diskusi yang menjadi nadi dari semangat progresif Bandung. Ruang belajar ini tumbuh berdampingan dengan lanskap alamnya, sebuah harmoni yang semakin langka di kota-kota besar kiwari.

Ada yang bilang bahwa kota tanpa ruang publik yang sehat adalah kota yang kehilangan ruh. Dan Dago bisa menjadi contoh terbaik atau kegagalan paling kentara dalam soal ini.

Ketika ruang-ruang di Dago hanya didefinisikan oleh fungsi ekonomi -- kafe, hotel, dan properti mewah -- maka makna kebersamaan, kesetaraan, dan inklusi pelan-pelan tergerus. Padahal, ruang publik bukan sekadar tempat berkumpul, tetapi juga ruang ekspresi, kontestasi gagasan, dan pertemuan antarwarga tanpa sekat kelas sosial.

Laboratorium kota

Dalam konteks kekiwarian, Dago menjadi panggung ekspresi identitas. Kawasan yang semula eksklusif, kini terbuka, namun tetap mempertahankan nuansa selektif melalui simbol-simbol gaya hidup modern. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Dalam konteks kekiwarian, Dago menjadi panggung ekspresi identitas. Kawasan yang semula eksklusif, kini terbuka, namun tetap mempertahankan nuansa selektif melalui simbol-simbol gaya hidup modern. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Jika Dago dikelola dengan visi ekologis dan sosial yang berimbang, ia bisa menjadi laboratorium kota yang manusiawi. Bayangkan Dago sebagai ruang yang bukan hanya ramah bagi turis berkantong tebal, tapi juga menyambut para lansia, anak-anak, balita, kaum difabel, pelaku seni, pesepeda, maupun mereka yang nikreuh.

Kota yang sehat bukan kota yang sekadar tampil cantik campernik di media sosial, melainkan kota yang menyediakan ruang tumbuh secara nyata bagi semua warganya -- ruang untuk bernapas, berdialog, dan merajut mimpi bersama.

Hingga kini, banyak yang datang ke Dago untuk mencari udara segar. Tapi, ironisnya, kemacetan dan polusi kendaraan justru meningkat saban akhir pekan. Jalanan yang seharusnya menjadi koridor hijau justru berubah menjadi lorong berisik yang penuh emisi.

Maka, alih-alih menenangkan, suasana Dago malah kerap memicu stres baru bagi mereka yang datang dengan maksud “melarikan diri” dari kepenatan kota.

Dalam teori Henri Lefebvre, kota adalah ruang produksi sosial. Dago tidak lepas dari hal ini. Ruangnya kini diproduksi ulang terus-menerus oleh beragam aktivitas dan relasi kekuasaan.

Oleh sebab itu, merawat Dago juga berarti mempertanyakan ihwa siapa yang punya kuasa atas ruang. Apakah warga bisa berpartisipasi penuh atau hanya jadi penonton?

Sekadar ilustrasi, ketika sebuah proyek properti skala besar dibangun di Dago, kira-kira suara siapa yang paling didengar? Apakah warga setempat, atau hanya investor dan pemegang izin? Bukankah seharusnya ruang kota dirancang untuk hidup bersama, bukan hanya untuk keuntungan segelintir pihak?

Dalam konteks ini, merawat Dago bukanlah nostalgia romantik mengenang masa-masa silam semata. Ini soal keberlanjutan hidup kota secara keseluruhan. Merawat Dago berarti pula memastikan bahwa generasi mendatang masih dapat merasakan udara segar, ruang terbuka, dan kekayaan budaya yang selama ini menjadi identitas Bandung.

Itu semua adalah tanggung jawab kolektif untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.

Baca Juga: Cara Baru Menulis di Ayobandung.id, Tak Perlu Kirim Tulisan ke Email

Aktivis urban seperti Jane Jacobs mengajarkan pentingnya ihwal apa yang diistilahkan sebagai "mata di jalan", yakni pengawasan kolektif dari warga sebagai penjaga alami ruang publik.

Dan di Dago, "mata di jalan" itu bisa datang dari komunitas sepeda, pejalan kaki, pelari yang rutin lelarian di Dago, atau bahkan dari seorang juru parkir yang paham betul ihwal perubahan lingkungan sekitar.

Akan tetapi, keterlibatan warga hanya bisa tumbuh jika ada akses informasi dan ruang partisipasi yang nyata. Tanpa transparansi dalam pengambilan keputusan, warga akan merasa dijauhkan dari proses yang menentukan masa depan lingkungan mereka sendiri.

Ruang partisipasi yang terbuka memungkinkan beragam suara -- dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi -- untuk didengar dan diperhitungkan. Hanya dengan demikian, perawatan Dago dapat menjadi ikhtiar bersama yang bermakna dan berkelanjutan.

Baca Juga: Ketentuan Kirim Artikel ke Ayobandung.id, Total Hadiah Rp1,5 Juta per Bulan

Sebagai aset ekonomi

Pemerintah Kota Bandung seyogianya tidak melihat Dago hanya sebagai aset ekonomi belaka, tetapi juga melihatnya sebagai ruang ekosistem sosial dan ekologis. Penataan Dago harus berbasis prinsip keadilan spasial, bukan semata logika investasi.

Konsep kota spons yang menyerap air dan menjaga keseimbangan tanah bisa diterapkan untuk menghindari bencana ekologi di Dago.

Program penghijauan harus mengutamakan vegetasi lokal, bukan sekadar pohon hias eksotis yang fotogenik tapi tidak ekologis. Lebih dari itu, Dago selalu perlu forum warga yang aktif dan diberi ruang untuk ikut memutuskan arah pembangunan kawasan.

Dago yang dirawat bukan Dago yang dikurung pagar mewah, tapi Dago yang hidup lewat interaksi dan rasa memiliki bersama. Kampanye cinta lingkungan tidak akan berarti jika ruang hijau terus dijual. Komitmen ekologis harus diuji lewat kebijakan yang konsisten.

Pemerintah tidak cukup hanya menanam pohon seremonial. Perlu ada audit ekologis menyeluruh dan rutin terhadap dampak pembangunan di kawasan Dago. Karena Dago bukan sekadar koridor bisnis maupun koridor wisata, tapi ruang identitas kota Bandung yang terus berproses.

Kita tak bisa terus-menerus menjadi generasi yang hanya mewarisi keindahan, tapi juga mewariskan kehancuran. Merawat Dago sejatinya adalah bentuk cinta yang utuh kepada Bandung -- sebuah cinta yang tidak sekadar mengagumi, tetapi juga bertanggung jawab dengan menjaga dan melindunginya.

Karena sejatinya, kota yang baik bukanlah yang paling modern atau canggih, melainkan yang mampu merawat warisan budaya dan alamnya sekaligus mengayomi seluruh warganya dengan adil dan berkelanjutan. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Djoko Subinarto
Penulis lepas, blogger
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Beranda 13 Des 2025, 20:36 WIB

Arif Budianto dari Ayobandung.id Raih Juara 1 Nasional AJP 2025, Bukti Kualitas Jurnalisme Lokal

Arif Budianto, jurnalis dari Ayobandung.id, tampil gemilang dengan meraih Juara 1 Nasional Kategori Tulis Bisnis sekaligus Juara 1 Regional Jawa Bagian Barat dalam AJP 2025.
Arif Budianto, jurnalis dari Ayobandung.id, tampil gemilang dengan meraih Juara 1 Nasional Kategori Tulis Bisnis sekaligus Juara 1 Regional Jawa Bagian Barat dalam AJP 2025. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Biz 13 Des 2025, 17:34 WIB

Jawa Barat Siapkan Distribusi BBM dan LPG Hadapi Lonjakan Libur Nataru

Mobilitas tinggi, arus mudik, serta destinasi wisata yang ramai menjadi faktor utama meningkatnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Ilustrasi. Mobilitas tinggi, arus mudik, serta destinasi wisata yang ramai menjadi faktor utama meningkatnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 13 Des 2025, 14:22 WIB

Di Balik Gemerlap Belanja Akhir Tahun, Seberapa Siap Mall Bandung Hadapi Bencana?

Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya.
Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 21:18 WIB

Menjaga Martabat Kebudayaan di Tengah Krisis Moral

Kebudayaan Bandung harus kembali menjadi ruang etika publik--bukan pelengkap seremonial kekuasaan.
Kegiatan rampak gitar akustik Revolution Is..di Taman Cikapayang
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:31 WIB

Krisis Tempat Parkir di Kota Bandung Memicu Maraknya Parkir Liar

Krisis parkir Kota Bandung makin parah, banyak kendaraan parkir liar hingga sebabkan macet.
Rambu dilarang parkir jelas terpampang, tapi kendaraan masih berhenti seenaknya. Parkir liar bukan hanya melanggar aturan, tapi merampas hak pengguna jalan, Rabu (3/12/25) Alun-Alun Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ishanna Nagi)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:20 WIB

Gelaran Pasar Kreatif Jawa Barat dan Tantangan Layanan Publik Kota Bandung

Pasar Kreatif Jawa Barat menjadi pengingat bahwa Bandung memiliki potensi luar biasa, namun masih membutuhkan peningkatan kualitas layanan publik.
Sejumlah pengunjung memadati area Pasar Kreatif Jawa Barat di Jalan Pahlawan No.70 Kota Bandung, Rabu (03/12/2025). (Foto: Rangga Dwi Rizky)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 19:08 WIB

Hikayat Paseh Bandung, Jejak Priangan Lama yang Diam-diam Punya Sejarah Panjang

Sejarah Paseh sejak masa kolonial, desa-desa tua, catatan wisata kolonial, hingga transformasinya menjadi kawasan industri tekstil.
Desa Drawati di Kecamatan Paseh. (Sumber: YouTube Desa Drawati)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 18:57 WIB

Kota untuk Siapa: Gemerlap Bandung dan Sunyi Warga Tanpa Rumah

Bandung sibuk mempercantik wajah kota, tapi lupa menata nasib warganya yang tidur di trotoar.
Seorang tunawisma menyusuri lorong Pasar pada malam hari (29/10/25) dengan memanggul karung besar di Jln. ABC, Braga, Sumur Bandung, Kota Bandung. (Foto: Rajwaa Munggarana)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 17:53 WIB

Hubungan Diam-Diam antara Matematika dan Menulis

Penjelasan akan matematika dan penulisan memiliki hubungan yang menarik.
Matematika pun memerlukan penulisan sebagai jawaban formal di perkuliahan. (Sumber: Dok. Penulis | Foto: Caroline Jessie Winata)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:44 WIB

Banjir Orderan Cucian Tarif Murah, Omzet Tembus Jutaan Sehari

Laundrypedia di Kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, tumbuh cepat dengan layanan antar-jemput tepat waktu dan omzet harian lebih dari Rp3 juta.
Laundrypedia hadir diperumahan padat menjadi andalan mahasiswa, di kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, Kamis 06 November 2025. (Sumber: Fadya Rahma Syifa | Foto: Fadya Rahma Syifa)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:29 WIB

Kedai Kekinian yang Menjadi Tempat Favorit Anak Sekolah dan Mahasiswa Telkom University

MirukiWay, UMKM kuliner Bandung sejak 2019, tumbuh lewat inovasi dan kedekatan dengan konsumen muda.
Suasana depan toko MirukiWay di Jl. Sukapura No.14 Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Selasa, (28/10/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nasywa Hanifah Alya' Al-Muchlisin)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:53 WIB

Bandung Kehilangan Arah Kepemimpinan yang Progresif

Bandung kehilangan kepemimpinan yang progresif yang dapat mengarahkan dan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang kompleks.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, meninjau lokasi banjir di kawasan Rancanumpang. (Sumber: Humas Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:31 WIB

Tren Olahraga Padel Memicu Pembangunan Cepat Tanpa Menperhitungkan Aspek Keselamatan Jangka Panjang?

Fenomena maraknya pembangunan lapangan padel yang tumbuh dengan cepat di berbagai kota khususnya Bandung.
Olahraga padel muncul sebagai magnet baru yang menjanjikan, bukan hanya bagi penggiat olahraga, tapi juga bagi pelaku bisnis dan investor. (Sumber: The Grand Central Court)
Beranda 12 Des 2025, 13:56 WIB

Tekanan Biological Clock dan Ancaman Sosial bagi Generasi Mendatang

Istilah biological clock ini digunakan untuk menggambarkan tekanan waktu yang dialami individu, berkaitan dengan usia dan kemampuan biologis tubuh.
Perempuan seringkali dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan pada tekanan sosial yang ada di masyarakat. (Sumber: Unsplash | Foto: Alex Jones)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 13:39 WIB

Jalan Kota yang Redup, Area Gelap Bandung Dibiarkan sampai Kapan?

Gelapnya beberapa jalan di Kota Bandung kembali menjadi perhatian pengendara yang berkendara di malam hari.
Kurangnya Pencahayaan di Jalan Terusan Buah Batu, Kota Bandung, pada Senin, 1 Desember 2025 (Sumber: Dok. Penulis| Foto: Zaki)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 12:56 WIB

Kegiatan Literasi Kok Bisa Jadi Petualangan, Apa yang Terjadi?

Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum.
Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 10:28 WIB

Bandung Punya Banyak Panti Asuhan, Mulailah Berbagi dari yang Terdekat

Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga.
Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:20 WIB

Menikmati Bandung Malam Bersama Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse

Seporsi Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse Bandung menghadirkan kehangatan, aroma, dan rasa yang merayakan Bandung.
Ribeye Meltique, salah satu menu favorit di Justus Steakhouse. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Seli Siti Amaliah Putri)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:12 WIB

Seboeah Tjinta: Surga Coquette di Bandung

Jelajahi Seboeah Tjinta, kafe hidden gem di Cihapit yang viral karena estetika coquette yang manis, spot instagramable hingga dessert yang comforting.
Suasana Seboeah Tjinta Cafe yang identik dengan gaya coquette yang manis. (Foto: Nabella Putri Sanrissa)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 07:14 WIB

Hikayat Situ Cileunca, Danau Buatan yang Bikin Wisatawan Eropa Terpesona

Kisah Situ Cileunca, danau buatan yang dibangun Belanda pada 1920-an, berperan penting bagi PLTA, dan kini menjadi ikon wisata Pangalengan.
Potret zaman baheula Situ Cileunca, Pangalengan, Kabupaten Bandung. (Sumber: KITLV)