Sejarah Pramuka Indonesia Berawal dari Padvinders Hindia Belanda era Kolonial

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Kamis 14 Agu 2025, 06:10 WIB
Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima penghargaan tertinggi Pramuka Dunia Bronze Wolf (Serigala Perunggu) dari Presiden World Scout Conference dalam sebuah upacara di Silang Monas, Jakarta, 1 Juni 1974. (Sumber: Pramuka DIY)

Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima penghargaan tertinggi Pramuka Dunia Bronze Wolf (Serigala Perunggu) dari Presiden World Scout Conference dalam sebuah upacara di Silang Monas, Jakarta, 1 Juni 1974. (Sumber: Pramuka DIY)

AYOBANDUNG.ID - Sejarah Pramuka Indonesia bukanlah kisah yang lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari benih kepanduan yang ditanam orang Belanda di tanah jajahan, disiram oleh semangat pemuda bumiputera, lalu berkembang menjadi ratusan organisasi sebelum akhirnya dilebur dalam satu nama: Gerakan Pramuka. Perjalanannya panjang, kadang penuh kebanggaan, kadang juga riuh oleh perpecahan.

Di balik perjalanannya, lambang Pramuka—tunas kelapa—menjadi simbol yang tak lekang waktu, merepresentasikan keteguhan dan kesiapan generasi muda dalam menghadapi tantangan hidup. Bagi banyak orang, memahami makna Pramuka berarti memahami semangat persatuan, kemandirian, dan pengabdian pada bangsa.

Dalam risalah Kepanduan Indonesia di laman Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonsia, Untung Widyanto menulis gerakan kepanduan tanah air bermula pada pada 1912. Ketika itu, sekelompok pemuda berlatih ala pandu di Batavia—kota yang kini dikenal sebagai Jakarta. Mereka adalah cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie, organisasi kepanduan di negeri Belanda. Dua tahun berselang, cabang ini berdiri sendiri dengan nama Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging, atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda. Saat itu, sebagian besar anggotanya adalah keturunan Eropa yang hidup di kota-kota besar.

Baru pada 1916, untuk pertama kalinya berdiri organisasi kepanduan yang seluruhnya terdiri dari pemuda bumiputera. Javaansche Padvinders Organisatie itu lahir di bawah tangan Mangkunegara VII, penguasa Keraton Solo. Dari situ, model kepanduan menyebar ke berbagai kelompok berbasis agama, etnis, dan organisasi massa: Hizbul Wathan dari Muhammadiyah, Nationale Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Pandu Indonesia, hingga Padvinders Organisatie Pasundan.

Bahkan kerajaan-kerajaan lokal punya kepanduannya sendiri—Kepanduan Kesultanan, Pandu Ansor, Al Wathoni. Umat Kristen punya Tri Darma dan Kepanduan Masehi Indonesia, sementara Katolik membentuk Kepanduan Asas Katolik Indonesia.

Baca Juga: Sejarah Panjat Pinang, Tontonan Belanda Zaman Kolonial yang Berasal dari Tiongkok Selatan

Gerakan ini berkembang pesat. Awal Desember 1934, Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell, datang langsung bersama istrinya, Lady Baden-Powell, serta anak-anak mereka. Mereka mengunjungi Batavia, Semarang, dan Surabaya. Kehadiran tokoh legendaris itu memberi semacam restu internasional bagi kepanduan Hindia-Belanda.

Kepanduan lokal mulai tampil di panggung dunia. Pada Jambore Sedunia 1933 di Hungaria, Hindia-Belanda hanya mengirim delegasi kecil untuk menonton. Namun, pada Jambore 1937 di Belanda, kontingen yang datang jauh lebih beragam. Ada pandu keturunan Belanda, bumiputera dari Batavia dan Bandung, Pandu Mangkunegaran, pandu dari Ambon, serta anggota keturunan Tionghoa dan Arab.

Di tanah air, semangat ini diwujudkan lewat perkemahan besar. Salah satunya All Indonesian Jamboree di Yogyakarta, 19 sampai 23 Juli 1941, yang dikenal dengan nama “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem”. Perkemahan ini menjadi panggung persatuan, meski bayang-bayang perang dunia sudah menggelayut.

Pendudukan Jepang mengubah segalanya. Banyak kegiatan kepanduan dibekukan atau diarahkan untuk mendukung kepentingan militer pendudukan. Setelah kemerdekaan, barulah semangat itu bangkit kembali. Pada 27–29 Desember 1945, di Surakarta, digelar Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia yang melahirkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepanduan di republik yang baru lahir.

Tapi, pada 1948, ketika Belanda melancarkan agresi militer, Pandu Rakyat dilarang di wilayah yang mereka kuasai. Dari larangan ini, lahirlah lagi organisasi-organisasi baru seperti Kepanduan Putera Indonesia, Pandu Puteri Indonesia, dan Kepanduan Indonesia Muda. Kepanduan Indonesia pun kembali terpecah.

Pada satu titik, jumlah organisasi mencapai seratus, tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia atau Perkindo. Ironisnya, jumlah perkumpulan jauh lebih banyak daripada jumlah anggota yang sesungguhnya aktif. Masih ada rasa golongan yang kental, yang membuat Perkindo rapuh. Presiden Soekarno, yang tidak suka melihat rakyatnya terpecah belah, mulai memikirkan jalan keluarnya.

Pada awal Oktober 1959, saat berkunjung ke Perkemahan Besar Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia di Desa Semanggi, Ciputat, Bung Karno melemparkan gagasan untuk menyatukan semua kepanduan dalam satu wadah. Ia kemudian mengumpulkan para tokoh kepanduan, menunjuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prijono, Azis Saleh, Achmadi, dan Muljadi Djojo Martono untuk membentuk panitia peleburan.

Gagasan ini kemudian bergulir cepat. Pada 9 Maret 1961, nama “Pramuka” diresmikan dan hari itu dikenang sebagai Hari Tunas Gerakan Pramuka. Lalu, 20 Mei 1961, terbit Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 yang dikenal sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja. Pada 20 Juli 1961, para wakil organisasi kepanduan menyatakan ikrar melebur menjadi Gerakan Pramuka dalam sebuah acara di Istana Olahraga Senayan. Dan pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat lewat upacara di halaman Istana Negara.

Baca Juga: Parlemen Pasundan dan Sejarah Gagalnya Siasat Federalisme Belanda di Tanah Sunda

Hari itu, Presiden Soekarno menyerahkan Panji Gerakan Pramuka kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang menjadi Ketua pertama Kwartir Nasional. Panji itu kemudian dibawa defile Pramuka keliling Jakarta, menandai babak baru sejarah kepanduan di Indonesia. Sejak saat itu, setiap 14 Agustus diperingati sebagai Hari Pramuka.

Lord Baden-Powell dan Sejarah Pramuka Dunia

Dalam artikel Kepanduan Dunia yang juga terbit di laman resmi Pramuka Idonesia, diuraika ahwa akar sejarah Pramuka Indonesia menembus jauh ke luar negeri, menuju Inggris di akhir abad ke-19. Di sana, seorang perwira muda bernama Robert Stephenson Smyth Baden-Powell, kelak bergelar Lord Baden-Powell of Gilwell, menjalani karier militer yang membawanya ke India, Afganistan, Zulu, Ashanti, dan Afrika Selatan.

Bapak Pramuka Dunia, Lord Baden-Powell of Gilwell. (Sumber: pramuka.or.id)
Bapak Pramuka Dunia, Lord Baden-Powell of Gilwell. (Sumber: pramuka.or.id)

Pengalaman paling terkenalnya adalah saat terkepung bangsa Boer di Mafeking selama 127 hari. Dalam situasi itu, ia memanfaatkan segala keterampilan lapangan, mulai dari mengintai musuh hingga bertahan hidup dengan sumber terbatas. Pengalaman ini ia tuangkan dalam buku Aids to Scouting, yang awalnya dimaksudkan sebagai panduan bagi tentara. Buku itu memuat teknik membaca jejak, mengenali tanaman yang aman dimakan, mencari air bersih, dan menentukan arah tanpa melihat matahari.

Pada 1907, dua puluh satu pemuda dari kelompok Boys Brigade mengundangnya untuk menguji isi buku itu lewat perkemahan di Pulau Brownsea. Perkemahan berlangsung delapan hari, penuh dengan petualangan dan latihan keterampilan hidup di alam. Dari pengalaman itu lahirlah Scouting for Boys pada 1908, buku panduan yang menjadi fondasi gerakan Boy Scouts.

Gerakan ini segera menyebar ke berbagai negara. Untuk anak perempuan, Baden-Powell bersama adiknya Agnes dan kemudian istrinya Olave, mendirikan Girl Guides. Cub Scouts lahir untuk anak usia siaga, terinspirasi dari kisah The Jungle Book karya Rudyard Kipling. Bagi remaja yang sudah lewat usia penggalang, dibentuk Rover Scouts dengan buku Rovering to Success.

Pada Jambore Dunia pertama di London tahun 1920, Baden-Powell diangkat sebagai Chief Scout of the World. Gelar kebangsawanan “Lord” ia terima pada 1929. Ia berkeliling dunia, termasuk mengunjungi Batavia pada 3 Desember 1934, sebelum menghabiskan masa tuanya di Nyeri, Kenya. Di sanalah ia wafat pada 8 Januari 1941.

Baca Juga: Serdadu Cicalengka di Teluk Tokyo, Saksi Sejarah Kekalahan Jepang di Perang Dunia II

Warisan Baden-Powell melintasi zaman. Di Indonesia, ia menyatu dengan semangat kebangsaan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional. Dari Padvinders Hindia-Belanda, Pandu Rakyat Indonesia, hingga Gerakan Pramuka, jejak pemikiran Baden-Powell tetap hadir. Pramuka Indonesia mungkin telah berkembang dengan ciri khas sendiri, namun semangat dasarnya tak berubah: mendidik generasi muda untuk tangguh, mandiri, dan mengabdi kepada bangsa.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 19 Des 2025, 12:57 WIB

Twig Café Maribaya: Tempat Singgah Tenang dengan Pemandangan Air Terjun yang Menyegarkan Mata

Suasana Cafe yang sangat memanjakan mata dan pikiran lewat pemandangan nyata air terjun yang langsung hadir di depan mata.
Air terjun yang langsung terlihat dari kafe. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 11:46 WIB

Program CSR sebagai Alat Penembusan dosa

CSR harus dikembalikan ke inti, yaitu komitmen moral untuk mencegah kerusakan ekosistem sejak awal
Ilustrasi kayu hasil penebangan. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 10:21 WIB

Keberlangsungan Suatu Negara dalam Bayang-Bayang Deformasi Kekuasaan

Sering kali ada pengaruh buruk dalam jalannya suatu pemerintahan yang dikenal dengan istilah deformasi kekuasaan.
 (Sumber: Gemini AI)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:24 WIB

Kota Bandung: Hak Trotoar, Pejalan Kaki, dan PKL

Antara hak pejalan kaki dan pedagang kaki lima yang harus diseimbangkan pemerintah Kota Bandung
Pejalan kaki harus melintas di jalan yang diisi oleh para pedagang di trotoar Lengkong Street Food, Kamis, 4 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto: Taqiyya Tamrin Tamam)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:13 WIB

Cibaduyut: Sentra Sepatu yang Berubah Menjadi Sentra Kemacetan

Cibaduyut tidak hanya menjadi pusat penjualan sepatu di Kota Bandung, tapi juga sebagai salah satu pusat kemacetan di kota ini.
Tampak jalanan yang dipenuhi kendaraan di Jln. Cibaduyut, Kota Bandung (04/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yudhistira Rangga Eka Putra)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 21:16 WIB

Sambel Pecel Braga: Rumah bagi Lidah Nusantara

Sejak berdiri pada 2019, Sambel Pecel Braga telah menjadi destinasi kuliner yang berbeda dari hiruk- pikuk kota.
Sambel Pecel Braga di tengah hiruk pikuk perkotaan Bandung. (Foto: Fathiya Salsabila)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:42 WIB

Strategi Bersaing Membangun Bisnis Dessert di Tengah Tren yang Beragam

Di Tengah banyaknya tren yang cepat sekali berganti, hal ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi pengusaha dessert untuk terus mengikuti tren dan terus mengembangkan kreatifitas.
Dubai Truffle Mochi dan Pistabite Cookies. Menu favorite yang merupakan kreasi dari owner Bonsy Bites. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:08 WIB

Harapan Baru untuk Taman Tegallega sebagai Ruang Publik di Kota Bandung

Taman Tegallega makin ramai usai revitalisasi, namun kerusakan fasilitas,keamanan,dan pungli masih terjadi.
Area tribun Taman Tegalega terlihat sunyi pada Jumat, 5 Desember 2025, berlokasi di Jalan Otto Iskandardinata, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ruth Sestovia Purba)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 19:38 WIB

Mengenal Gedung Sate, Ikon Arsitektur dan Sejarah Kota Bandung

Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat.
Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 18:30 WIB

Kondisi Kebersihan Pasar Induk Caringin makin Parah, Pencemaran Lingkungan di Depan Mata

Pasar Induk Caringin sangat kotor, banyak sampah menumpuk, bau menyengat, dan saluran air yang tidak terawat, penyebab pencemaran lingkungan.
Pasar Induk Caringin mengalami penumpukan sampah pada area saluran air yang berlokasi di Jln. Soekarno-Hatta, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung, pada awal Desember 2025 (Foto : Ratu Ghurofiljp)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:53 WIB

100 Tahun Pram, Apakah Sastra Masih Relevan?

Karya sastra Pramoedya yang akan selalu relevan dengan kondisi Indonesia yang kian memburuk.
Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Lontar Foundation)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 17:42 WIB

Hikayat Jejak Kopi Jawa di Balik Bahasa Pemrograman Java

Bahasa pemrograman Java lahir dari budaya kopi dan kerja insinyur Sun Microsystems dengan jejak tak langsung Pulau Jawa.
Proses pemilahan bijih kopi dengan mulut di Priangan tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:21 WIB

Komunikasi Lintas Agama di Arcamanik: Merawat Harmoni di Tengah Tantangan

Komunikasi lintas agama menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan sosial di kawasan ini.
Monitoring para stakeholder di Kecamatan Arcamanik (Foto: Deni)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 16:40 WIB

Eksotisme Gunung Papandayan dalam Imajinasi Wisata Kolonial

Bagi pelancong Eropa Papandayan bukan gunung keramat melainkan pengalaman visual tanjakan berat dan kawah beracun yang memesona
Gunung Papandayan tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 15:16 WIB

Warisan Gerak Sunda yang Tetap Hidup di Era Modern

Jaipong merupakan jati diri perempuan Sunda yang kuat namun tetap lembut.
Gambar 1.2 Lima penari Jaipong, termasuk Yosi Anisa Basnurullah, menampilkan formasi tari dengan busana tradisional Sunda berwarna cerah dalam pertunjukan budaya di Bandung, (08/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Satria)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 14:59 WIB

Warga Cicadas Ingin Wali Kota Bandung Pindahkan TPS ke Lokasi Lebih Layak

Warga Cicadas menghadapi masalah lingkungan akibat TPS Pasar Cicadas yang penuh dan tidak tertata.
Kondisi tumpukan sampah menutupi badan jalan di kawasan Pasar Cicadas pada siang hari, (30/11/2025), sehingga mengganggu aktivitas warga dan pedagang di sekitar lokasi. (Foto: Adinda Jenny A)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 13:31 WIB

Kebijakan Kenaikan Pajak: Kebutuhan Negara Vs Beban Masyarakat

Mengulas kebijakan kenaikan pajak di Indonesia dari sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakat Indonesianya sendiri.
Ilustrasi kebutuhan negara vs beban rakyat (Sumber: gemini.ai)
Beranda 18 Des 2025, 12:57 WIB

Upaya Kreator Lokal Menjaga Alam Lewat Garis Animasi

Ketiga film animasi tersebut membangun kesadaran kolektif penonton terhadap isu eksploitasi alam serta gambaran budaya, yang dikemas melalui pendekatan visual dan narasi yang berbeda dari kebiasaan.
Screening Film Animasi dan Diskusi Bersama di ITB Press (17/12/2025). (Sumber: ayobandung.id | Foto: Halwa Raudhatul)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 12:53 WIB

Dari Ciwidey Menembus India; Menaman dan Menjaga Kualitas Kopi Robusta

Seorang petani kopi asal Ciwidey berhasil menghasilkan kopi robusta berkualitas yang mampu menembus pasar India.
Mang Yaya, petani kopi tangguh dari Desa Lebak Muncang, Ciwidey—penjaga kualitas dan tradisi kopi terbaik yang menembus hingga mancanegara. (Sumber: Cantika Putri S.)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 12:12 WIB

Merawat Kampung Toleransi tanpa Basa-basi

Kehadiran Kampung Toleransi bukan sekadar retorika, basa-basi, melainkan wujud aksi nyata dan berkelanjutan untuk merawat (merayakan) keberagaman.
Seorang warga saat akan menjalankan ibadah salat di Masjid Al Amanah, Gang Ruhana, Jalan Lengkong Kecil, Bandung. (Sumber: AyoBandung.com | Foto: Ramdhani)