AYOBANDUNG.ID - Setiap 17 Agustus, negeri ini mendadak jadi panggung gladiator kampung. Bedanya, yang dipanjat bukan benteng batu, melainkan sebatang pohon pinang licin berlumur oliâmirip tiang bendera, tapi tanpa hormat. Di puncaknya bergelantungan hadiah: mulai dari ember plastik, sandal jepit, sampai sepeda mini yang entah muat atau tidak dibawa pulang lewat gang sempit.
Lomba panjat pinang sudah seperti menu wajib perayaan kemerdekaan. Bahkan kalau ada 17-an tanpa panjat pinang, rasanya seperti makan bakso tanpa kuah: hambar. Tapi ternyata, permainan ini bukan murni âciptaan asliâ Indonesia. Menurut Fandy Hutari dalam Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal, akar sejarahnya menjalar sampai ke Tiongkok Selatan.
âPanjat pinang populer di Tiongkok Selatan, terutama daerah Fukien, Guangdong, dan Taiwan. Acara ini berkaitan dengan Festival Hantu,â tulisnya, mengutip Rianto Jiang, pengamat sejarah dan budaya Tionghoa. Nama aslinya di sana adalah giang gu, dan sudah ada sejak zaman Dinasti Ming (1368â1644).
Pengamat sejarah Rianto Jiang mencatat, âPanjat pinang populer di Tiongkok Selatan, terutama daerah Fukien, Guangdong, dan Taiwan. Acara ini berkaitan dengan Festival Hantu.â Di sana, permainan ini dikenal dengan nama giang gu sejak zaman Dinasti Ming (1368â1644).
Bedanya, versi Tiongkok ini bukan sekadar memanjat sebatang pinang delapan meter. Mereka membangun menara dari pinang dan kayu setara gedung empat lantai. Tim peserta harus memanjat untuk meraih gulungan kain merah di puncak. Tentu risikonya bukan cuma terpeleset, tapi bisa jadi masuk festival hantu secara harfiah. Tak heran, pada era Dinasti Qing permainan ini dilarang karena âbanyak menimbulkan jatuhnya korban jiwaâ.
Baca Juga: Parlemen Pasundan dan Sejarah Gagalnya Siasat Federalisme Belanda di Tanah Sunda
Saat Taiwan dijajah Jepang, giang gu hidup lagi, masih dalam konteks festival. Dari sinilah, entah lewat jalur perdagangan atau perantau Tionghoa, permainan ini berlabuh di tanah Nusantara. Perlahan ia berasimilasi, seperti bakmi yang jadi mie ayam, dan akhirnya masuk kategori âtradisi lokalâ tanpa terlalu banyak protes.
Di Hindia Belanda, Fandy menyebut panjat pinang mulai populer sekitar 1930-an. Tapi waktu itu, ia bukan simbol kemerdekaanâjelas saja, belum merdekaâmelainkan hiburan pesta orang Belanda. Mereka mengadakannya saat menikah, naik jabatan, atau sekadar ulang tahun.

Hadiah yang digantung sering kali barang mewah di mata pribumi: keju impor, gula, kain bagus, atau kemeja. Cukup untuk bikin lelaki kampung rela jadi tangga hidup demi membawa pulang âkemewahanâ itu. Tiang pinang dilumuri oli, dan para peserta harus saling injak, bahu-membahu, sambil menerima tawa terbahak-bahak dari para meneer dan nyonya di bawah.
Peserta? Hanya orang pribumi. Orang Belanda jelas tidak mau memanjatâmereka lebih suka duduk sambil menyeruput bir, menonton âaksi komediâ gratis. Kadang keluarga pribumi kaya antek kolonial juga ikut-ikutan mengadakan lomba, mungkin supaya terlihat modern di mata tuan besar.
Tak heran jika ada yang menganggap panjat pinang itu warisan jahil penjajah. Kata sebagian orang, ini cuma cara Belanda menghibur diri sambil menertawakan rakyat yang jatuh bangun. Kalau diibaratkan zaman sekarang, mirip reality show penuh adegan dramatis, tapi tanpa hadiah uang tunai miliaran.
Tapi, pendukung panjat pinang melihatnya dari sisi lain. Mereka bilang, lomba ini mengajarkan kerja keras, kekompakan, dan strategi tim. Hadiah di puncak adalah simbol kemerdekaan; untuk mencapainya butuh cerdik, saling menopang, dan menyingkirkan ego pribadi. Bahkan setelah hadiah diraih, biasanya hasil dibagi rata. Filosofinya jelas: kemerdekaan itu hasil kerja kolektif, bukan solo karier.
Baca Juga: Serdadu Cicalengka di Teluk Tokyo, Saksi Sejarah Kekalahan Jepang di Perang Dunia II
Dari giang gu di Fujian hingga tiang oli di Batavia, panjat pinang berubah fungsi: dari festival hantu, jadi hiburan pesta kolonial, hingga simbol keriangan 17 Agustusan. Bedanya, sekarang yang menonton ikut tertawa bukan karena merendahkan, tapi karena sama-sama menikmati. Meskipun, kalau peserta jatuh dari setengah tiang, ya tawa penonton kadang terdengar mirip juga.