Beberapa minggu terakhir, media sosial, surat kabar, maupun berbagai platform elektronik dipenuhi oleh kabar duka dari berbagai penjuru Indonesia. Banjir dan tanah longsor terjadi hampir di sebagian besar wilayah negeri ini. Hujan deras yang turun nyaris tanpa jeda sejak akhir November hingga awal Desember menjadi awal dari rangkaian bencana yang menguji kesabaran banyak orang.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebagaimana dilansir Detik.com. sebelumnya telah mengingatkan bahwa pada periode Desember, Januari, dan Februari (DJF), aktivitas cuaca di wilayah Indonesia, terutama di laut, akan semakin intens. Berbagai fenomena angin membuat perairan menjadi lebih bergelora, sementara di daratan, curah hujan meningkat secara signifikan. Secara klimatologis, tinggi gelombang laut maupun intensitas hujan pada periode ini memang lebih tinggi dibanding bulan-bulan lainnya.
Selain itu, menurut laporan Tempo.co, kondisi tersebut turut dirasakan di banyak wilayah Jawa Barat. BMKG memprediksi peningkatan curah hujan dengan intensitas menengah hingga sangat tinggi, mencapai 150–300 milimeter, bahkan di atas 300 milimeter per dasarian di beberapa daerah. Hujan lebat yang disertai petir dan angin kencang berpotensi memicu berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan pohon tumbang, terutama di wilayah yang secara geografis rentan.
Wilayah Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, serta Kota dan Kabupaten Bandung termasuk dalam zona dengan curah hujan tinggi. Salah satu kawasan yang merasakan dampaknya adalah Perumahan Parahyangan Kencana, yang berada di Desa Pananjung, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung.
Dalam kurun waktu dua minggu, sejak akhir November hingga awal Desember, kawasan ini telah mengalami tiga kali limpahan air yang cukup besar dari Sungai Cikambuy. Air sungai meluap, memasuki beberapa rumah yang berada di sepanjang tepian sungai. Peristiwa paling terasa terjadi pada tanggal 1 dan 3 Desember, ketika jalan di wilayah RT 02 dan RT 03 tergenang air. Aliran yang biasanya terkendali, tiba-tiba berubah menjadi arus yang tidak lagi mengenal batas.
Padahal, secara kasat mata, kedalaman Sungai Cikambuy tergolong cukup dalam. Namun curah hujan yang sangat tinggi di wilayah hulu, ditambah dengan pendangkalan akibat sedimentasi, membuat kapasitas sungai menurun drastis. Tanah dan lumpur yang terbawa arus mengendap di dasar sungai, menyempitkan alur, hingga akhirnya air mencari jalannya sendiri ke darat—ke halaman, ke jalan, bahkan ke ruang-ruang keluarga.
Pertambahan jumlah penduduk, baik karena kelahiran maupun arus perpindahan dari luar Kecamatan Cangkuang, turut membawa konsekuensi besar terhadap kebutuhan lahan pemukiman dan pertanian. Pembukaan lahan di wilayah selatan yang berbukit-bukit diduga menjadi salah satu penyebab berkurangnya daya serap tanah terhadap air hujan. Hutan dan pepohonan yang seharusnya menjadi penyangga, perlahan berganti dengan bangunan, kebun, dan tanah terbuka. Akibatnya, hujan deras yang turun tidak lagi terserap optimal, melainkan langsung mengalir ke sungai dalam volume yang jauh lebih besar.
Seorang warga setempat mengenang masa lalu dengan nada prihatin.
“Dulu meskipun hujan lebat, air sungai tidak pernah sekotor ini,” ujarnya sambil menunjuk aliran air yang berwarna cokelat pekat. Warna itu menjadi penanda jelas bahwa lapisan tanah permukaan dan tanah di pinggiran sungai kini mudah tergerus, karena tidak lagi ditahan oleh akar-akar tanaman yang dahulu kokoh menahan erosi.

Setiap musim hujan tiba dengan curah yang tinggi dan durasi panjang, pertemuan beberapa sungai yang melewati Desa Cangkuang dan Desa Bandasari—yakni Sungai Cisangkuy, Cijalupang, dan Cikambuy—seolah menjadi jam alarm bagi warga sekitar. Banjir hampir bisa dipastikan datang. Dampaknya bukan hanya dirasakan di Perumahan Parahyangan Kencana, tetapi juga di Kampung Citaliktik, Kampung Bojong Sayang, bahkan hingga gerbang Polresta Bandung dan ruas Jalan Soreang–Banjaran yang kerap terendam air. Akses jalan terputus, dan warga terpaksa memutar ke jalur yang lebih tinggi seperti melalui Cibako atau Gading Tutuka 2.
Di tengah keterbatasan, warga tidak tinggal diam. Upaya-upaya sederhana namun penuh semangat dilakukan sebagai bentuk ikhtiar bersama. Aliran sungai dibersihkan dari rumput liar yang tumbuh di atas tumpukan sedimen. Tepian sungai diperkuat dengan karung berisi tanah dan dipagari potongan bambu agar lebih kokoh menahan arus. Kegiatan ini dilakukan secara gotong royong oleh warga RT 02 yang dikomandoi oleh Pak RT Agus Wahyu pada pekan lalu. Sebuah pemandangan yang menghangatkan hati di tengah ancaman bencana.
Namun, sekuat apa pun usaha manusia, alam memiliki dayanya sendiri. Hujan yang turun tanpa henti selama dua minggu terakhir tetap membuat Sungai Cikambuy meluap, menggenangi jalan dan rumah-rumah penduduk. Meski demikian, tidak ada usaha yang sia-sia. Sekurang-kurangnya, manusia telah berikhtiar, telah menjaga sebisanya, dan sisanya diserahkan kepada Sang Pemilik Alam Semesta.
Semoga peristiwa demi peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa alam tidak untuk ditaklukkan, melainkan dijaga dan dihormati. Bahwa pembangunan harus berjalan seiring dengan kearifan. Dan bahwa dari setiap bencana, manusia dipanggil untuk menjadi lebih arif, lebih bijaksana, dan lebih bertanggung jawab terhadap bumi yang menjadi rumah bersama—hari ini dan di masa yang akan datang. (*)
