Di tengah banjir politisi dengan gaya formal, retoris, dan cenderung kaku, muncul satu nama yang mampu memecah pola itu Dedi Mulyadi, atau yang lebih akrab disebut Kang Dedi.
Ia bukan sekadar politisi biasa, melainkan figur yang tahu betul bagaimana cara menampilkan diri di hadapan rakyat.
Gaya komunikasinya lugas, penuh aksi nyata, namun juga tak luput dari kontroversi. Mulai dari kebijakan ekstrem, video sinematik penuh air mata, hingga realokasi triliunan anggaran, Dedi menjadi magnet perhatian publik dalam lanskap politik Jawa Barat dan nasional.
Tak seperti banyak tokoh yang muncul karena koneksi keluarga politik atau partai besar, Dedi Mulyadi menapaki jalannya dengan kerja keras.
Lahir di Subang dari keluarga sederhana, ia mengawali kariernya sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Perjalanan politiknya terus menanjak dari DPRD, Wakil Bupati, hingga menjabat dua periode sebagai Bupati Purwakarta.
Pada masa kepemimpinannya di Purwakarta, Dedi mulai tampil beda. Ia tak ragu mengenakan pakaian adat Sunda dalam berbagai kesempatan, membangun taman kota yang mengusung nuansa budaya lokal, dan sering hadir langsung di tengah masyarakat.
Gayanya yang membumi dan penuh aksi nyata membuatnya cepat mendapatkan tempat di hati warga. Maka, ketika ia maju menjadi Gubernur Jawa Barat dan menang, banyak yang menilai ini hanyalah kelanjutan dari perjalanan panjang yang memang sudah ia siapkan.
Gubernur Konten?
Ciri paling mencolok dari Dedi adalah gaya komunikasinya yang sangat visual. Ia aktif di media sosial, tak sekadar mengunggah kegiatan formal, tapi juga menampilkan momen-momen penuh emosi membantu warga yang hidup di rumah tidak layak huni, mengurus anak-anak yang tak bisa sekolah, atau menemani orang tua yang sebatang kara.
Semua terekam dengan pengambilan gambar profesional, narasi menyentuh, dan editing yang apik. Banyak yang menyebutnya sebagai "gubernur konten".
Sebagian publik mengapresiasi pendekatan ini. Di zaman ketika politisi terasa jauh dari rakyat, Dedi justru datang ke rumah mereka, mengulurkan tangan, dan menghadirkan solusi.
Tapi tak sedikit pula yang sinis menilai bahwa semua itu hanya pencitraan. Meski begitu, faktanya adalah: masyarakat menonton, tersentuh, dan terlibat.
Apakah itu pencitraan atau bukan, Dedi sukses memanfaatkan media untuk menjangkau publik.
Bansos Syarat Vasektomi
Salah satu kebijakan paling kontroversial dari Kang Dedi adalah wacana pemberian bantuan sosial (bansos) dengan syarat "vasektomi bagi pria dari keluarga miskin".
Alasan Dedi sederhana: terlalu banyak keluarga miskin yang punya anak lebih dari kemampuan mereka.
Dalam satu kasus, ia menemukan keluarga dengan 22 anak. Baginya, ini bukan hanya soal jumlah, tapi juga tanggung jawab.
Sejumlah kepala rumah tangga bersiap mengikuti program vasektomi di Kabupaten Purwakarta(MI/REZA SUNARYA)
Vasektomi dipilih karena dianggap lebih efektif melibatkan pria dalam program keluarga berencana (KB). Namun, kritik datang bertubi-tubi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut bahwa vasektomi haram jika bersifat permanen.
Komnas HAM menilai kebijakan ini bisa melanggar hak dasar warga. Tak sedikit pula yang menyebut kebijakan ini terlalu "otoriter" terhadap tubuh warga miskin.
Dedi membantah semua itu. Ia menegaskan bahwa program ini bersifat sukarela, dan tetap memberikan pilihan alternatif KB lain. Namun publik telanjur gaduh.
Di satu sisi, ada yang menilai ia berani dan berpikir out of the box. Di sisi lain, ada pula yang khawatir bahwa pendekatan seperti ini bisa membuka celah pelanggaran hak asasi manusia.
Barak Militer untuk Remaja Nakal
Dedi juga mengangkat isu remaja sebagai perhatian serius. Fenomena tawuran pelajar, bolos sekolah, kecanduan game, dan mabuk-mabukan menjadi alasan dirinya meluncurkan program pembinaan remaja bermasalah di barak militer. Program ini bukanlah hukuman, menurutnya, tapi pembinaan.
Remaja yang dikirim ke barak akan tinggal selama enam bulan, mengikuti pelatihan kedisiplinan, bela negara, hingga bimbingan spiritual. Orang tua diwajibkan menandatangani surat persetujuan sebagai bentuk dukungan terhadap program ini.
Beberapa tokoh seperti Kak Seto dan Natalius Pigai mendukung pendekatan ini. Mereka melihatnya sebagai upaya untuk menyelamatkan generasi muda yang nyaris "hilang arah". Namun, aktivis anak dan sejumlah psikolog menganggap pendekatan ini terlalu militeristik. Mereka menekankan pentingnya pendekatan edukatif, bukan ketakutan atau tekanan fisik.
Kritik dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun bermunculan, menyebut bahwa pembinaan harus dilakukan di ruang yang ramah anak, bukan di tempat yang menyerupai militer.
Baca Juga: Kini 10 Netizen Terpilih Dapat Total Hadiah Rp1,5 Juta dari Ayobandung.id setiap Bulan
Dedi tak hanya dikenal dari kontroversinya, tapi juga dari keberanian mengambil keputusan yang menyentuh sektor fundamental: anggaran. Dalam bulan pertama kepemimpinannya sebagai Gubernur Jawa Barat, ia merelokasi lebih dari Rp5 triliun dari pos-pos anggaran yang dianggap tidak esensial.
Dampaknya? Langsung terasa. Anggaran pembangunan ruang kelas baru melonjak dari Rp60 miliar menjadi Rp1,2 triliun. Perbaikan jalan rusak yang selama ini menjadi keluhan warga diberi dana hingga Rp2,4 triliun. Program listrik untuk keluarga miskin yang sebelumnya hanya Rp20 miliar, naik drastis menjadi Rp350 miliar.
Tidak hanya itu, renovasi rumah tidak layak huni, bantuan ambulans, hingga pembangunan puskesmas juga ditingkatkan. Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun dinaikkan dari Rp19 triliun menjadi Rp21 triliun.
Langkah ini dianggap sebagai bentuk keberanian politik yang jarang dimiliki kepala daerah. Namun tentu, langkah sebesar ini tidak lepas dari tantangan birokrasi dan dinamika politik di balik layar.
Pendidikan Disiplin ala Kang Dedi: Mendidik atau Memberatkan?

Tak puas di bidang sosial dan infrastruktur, Kang Dedi juga menyentuh sektor pendidikan dengan kebijakan-kebijakan ketat. Ia melarang acara wisuda di semua jenjang karena dianggap hanya seremoni mahal. Study tour berbayar juga dilarang. Pelajar dilarang membawa ponsel dan sepeda motor ke sekolah. Bahkan jam malam pukul 21.00 pun diberlakukan untuk pelajar.
Jam masuk sekolah? Dimajukan jadi pukul 06.00 pagi.
Alasannya: membentuk generasi disiplin sejak dini. Tapi kritik datang dari banyak orang tua dan guru. Mereka menilai bahwa anak-anak, terutama yang rumahnya jauh dari sekolah, bisa merasa tertekan dan kelelahan. Tidak semua anak bisa bangun jam 4 pagi setiap hari hanya untuk tiba di sekolah tepat waktu.
Pakar pendidikan menyoroti pendekatan ini sebagai bentuk kedisiplinan yang berlebihan. Disiplin itu penting, tapi karakter anak tidak bisa dibentuk hanya dengan aturan keras.
Jejak Kontroversial
Dedi Mulyadi bukan sosok yang steril dari isu lama. Ia pernah dilaporkan karena ucapannya yang dianggap menista agama saat menyamakan Al-Qur’an dengan alat musik. Kasus itu sempat mencuat dan menyeret namanya ke ranah hukum. Namun, ia tetap melanjutkan karier politik tanpa ragu.
Di sisi lain, ia dikenal tegas dalam urusan penegakan hukum di wilayahnya. Ia mengganti nama Tol Cikapali menjadi Cipali sebagai bentuk pelestarian bahasa Sunda. Ia juga menutup tempat wisata milik BUMD yang melanggar izin dan berdampak buruk bagi lingkungan. Bahkan, ia membentuk Satgas Antipreman demi menciptakan iklim investasi yang bersih.
Semua ini menunjukkan sisi lain Dedi yang jarang terlihat di layar: pemimpin yang berani ambil risiko, bahkan jika itu melawan arus.
Kang Dedi Mulyadi adalah contoh menarik dari evolusi politisi di era digital. Ia tahu betul bahwa narasi politik tak bisa lagi hanya disampaikan lewat baliho dan pidato formal. Ia hadir dalam layar smartphone masyarakat, bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai narator dari kisah hidup orang-orang kecil.
Apakah ia terlalu dramatis? Bisa jadi. Apakah ia efektif? Dalam beberapa aspek, iya. Namun yang paling penting adalah: ia memaksa kita untuk kembali memperhatikan politik lokal dengan cara yang lebih manusiawi.
Ia bukan politisi yang hanya hadir lima tahun sekali menjelang pemilu. Ia hadir tiap hari, menyapa, mendengar, dan bertindak meskipun dalam balutan lensa kamera.
Baca Juga: Ketentuan Kirim Artikel ke Ayobandung.id, Total Hadiah Rp1,5 Juta per Bulan
Setiap kebijakan Dedi selalu menimbulkan perdebatan. Dari bansos syarat vasektomi, barak militer remaja, larangan wisuda, hingga perombakan besar-besaran anggaran semuanya menimbulkan riak di masyarakat. Tapi satu hal yang jelas: ia tidak diam.
Dalam dunia politik yang penuh basa-basi, kehadiran tokoh seperti Dedi Mulyadi adalah nafas segar. Ia menggabungkan politik aksi dan politik narasi dalam satu paket. Apakah ini strategi jitu atau sekadar pencitraan, publiklah yang menilai.
Namun jika tujuan akhirnya adalah kesejahteraan rakyat, mungkin sudah waktunya kita berhenti melihat dari sisi bentuk dan mulai menilai dari dampaknya. Politik bukan hanya soal gaya, tapi hasil. Dan dalam hal ini, Kang Dedi, suka atau tidak, telah menunjukkan bahwa gaya bisa sejalan dengan substansi asal dijalani dengan keberanian dan konsistensi. (*)