Ditulis oleh T. Bachtiar
AYOBANDUNG.ID – Sesungguhnya, masyarakat di suatu daerah ada yang sudah mempunyai sebutan untuk Negara asing (eksonim), terutama yang mempunyai kedekatan sosial.
Seperti nama Negara asing yang biasa disebutkan oleh masyarakat di Desa Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa ini jaraknya sekitar 84 km dari Kota Garut, dan 150 km dari Kota Kota Bandung.
Setidaknya sampai tahun 1970-an, masyarakat di sana sudah terbiasa menyebut Nagri Walanda atau Walanda untuk Koninkrijk der Nederlanden.
Oleh orang Inggris, nama itu diterjemahkan menjadi The Kingdom of the Netherlands yang disingkat menjadi The Netherlands. Menyebut Nipong atau Jepang untuk Nihhon, menyebut Mekah, Saudi, Tanah Suci, atau Harom untuk Uni Emirat Arab, dan menyebut Ostrali atau Ustrali untuk Australia.
Sangat mungkin, nama-nama Negara asing itu terdengar (bunyinya) berbeda dengan ejaan yang sulit dilafalkan oleh penutur bahasa di luar Negara itu.
Inilah yang menyebabkan banyak nama Negara yang disebut oleh penutur bahasa lain (eksonim), yang berbeda dengan nama di Negaranya (endonim).
Secara sederhana, eksonim itu nama geografis, seperti nama Negara, yang tidak digunakan oleh orang yang berada di Negara itu, tetapi digunakan oleh orang lain di luar Negara itu.
Jauh sebelum itu, antara abad ke-16 sampai abad ke-17, nama geografis, seperti nama Negara yang digunakan dalam bahasa Sunda (kuno) di Kerajaan Sunda yang terletak di luar kawasan tempat bahasa tersebut digunakan (eksonim), yang bisa jadi berbeda dengan nama yang digunakan dalam bahasa resmi di suatu kawasan atau di suatu Negara (endonim).
Kerajaan Sunda mempunyai sebutan resmi untuk nama-nama Negara asing (eksonim) yang banyak berhubungan dengan Kerajaan Sunda untuk beragaman kepentingan, seperti perdagangan, politik, dan diplomasi.
Nama-nama Negara asing itu terdapat dalam naskah Sunda kuno, seperti yang ditulis dalam naskah Sewaka Darma, naskah Sanghyang Siksakandang, dan naskah Amanat Galunggung, yang ditranskripsi dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa (1987).
Naskah Sewaka Darma menuliskan nama barang, kain, nama tumbuhan, nama binatang, yang berasal dari Negara lain, seperti dari Cina, dari Cempa, dan dari Keling. Naskah Sanghyang Siksakandang menuliskan nama-nama Negara asing Cina, Keling, Parsi, Banggala, Pahang, Kelantan, Nagara Dekan, Madinah, dan Cempa. Dan dalam naskah Amanat Galunggung dituliskan nama Cina.
Eksonim yang ada dalam naskah Bujangga Manik dan naskah Pendakian Sri Ajnyana, terdapat dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna karya J Noorduyn – A Teeuw (2009). Dalam naskah Bujangga Manik, kata Cina dituliskan beberapa kali untuk menyebutkan Negara, orang, dan barang yang didatangkan dari Cina, seperti: nusa (Negeri) Cina, urang (orang) Cina, sutera Cina, ebun (kotak) Cina, kenur (tali) Cina, kaca Cina, omas (emas) Cina, dan parada (prada) Cina. Begitu pun Keling, ditulis beberapa kali, seperti: kamudi (kemudi) Keling (India), nusa Keling (Negara India), dan sutra Keling, Jambudipa untuk menyebut India, dan Malaka untuk menyebut Malaka.
Baca Juga: Ledakan Amunisi di Garut dan Sistem Logistik Militer
Ada lima kata Cina yang ditulis dalam naskah Pendakian Sri Ajnyana, yang menunjukkan nama-nama barang yang didatangkan dari Cina, seperti: pirak (perak) Cina, omas (emas Cina), beusi (besi) Cina), laka (kain) Cina, dan tambaga (tembaga) Cina.
Nama barang dan nama tumbuhan yang berasal dari Negara Keling yaitu: beusi (besi) Keling, laka (kain) Keling, omas (emas) Keling, salaka (perak) Keling, dan nama-nama bunga: pacar Keling, sarunang/saruni (seruni) Keling.
Dalam naskah Kawih Pangeuyeukan, diteliti oleh Mamat Ruhimat, Aditia Gunawan, dan Tien Wartini (2014), dituliskan kata Cina untuk Negeri Cina. Demikian juga dalam naskah Carita Ratu Pakuan (Atja, 1970), terdapat nama barang yang berasal dari Cina, seperti kaca Cina.

Pascakemerdekaan, Negara Republik Indonesia sudah meletakkan dasar membakukan eksonim untuk beberapa Negara, seperti Papua Nugini, Belanda, Maladewa, dan lain. Namun belum semua Negara dibakukan secara resmi Negara.
Pada tahun 2025, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, menyelenggarakan Sidang Pembakuan Eksonim Negara yang dilaksanakan di Cisarua, Kabupaten Bogor (5-9 Mei 2025). Dalam sidang itu diusulkan eksonim untuk 194 nama Negara dan kaidah pembentukan eksonimnya. Dengan harapan ke depan, dapat dibakukan juga eksonim nama-nama Ibu Kota Negara, dan nama-nama kota penting lainnya.
Pembakuan eksonim ini dapat meningkatkan kualitas data informasi geografis, terjaminnya konsistensi, keseragaman, dan efisiensi administrasi dalam penulisan eksonim Negara yang baku dan tunggal, tertib administrasi dalam penulisan ekonomi Negara di dalam pangkalan data, untuk mempermudah komunikasi dan kerjasama.
Baca Juga: Merawat Tradisi Roda Perdamaian
Pembakuan eksonim Negara asing itu tidak sekedar membakukan nama Negara asing menurut Negara Indonesia, tetapi untuk menunjukkan kedaulatan, martabat, dan kemandirian bahasa Indonesia.
Walaupun begitu, dalam pembakuan eksonim Negara masih ada pertimbangan-pertimbangan khusus di luar kebahasaan, sejarah, dan sudah lazim diucapkan oleh masyarakat, tapi ada pertimbangan politik, yang biasanya jauh lebih kuat.
Mengingat pentingnya eksonim Negara itu, sangat beralasan bila semua yang sudah dibakukan itu dimasukan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) - daring, sehingga masyarakat yang sedang mengadakan pencarian nama Negara dapat dengan mudah mendapatkan layanan yang benar.
Selain masuk ke dalam KBBI, sangat penting artinya, terutama bagi dunia pendidikan dan masyarakat umum, eksonim Negara yang sudah baku itu dituliskan dalam peta, dalam atlas, sehingga pembakuan itu mendapatkan penguatan karena sudah ditulis dalam peta dalam atlas dunia yang diterbitkan di Indonesia.
Eksonim Negara yang sudah menjadi dokumen Negara, sudah masuk ke dalam KBBI, dan ditulis dalam peta dan atlas, akan menjadi pedoman utama dalam penulisan dokumen Pemerintahan, perdagangan, ekspor, impor, kerjasama, bantuan kemanusiaan, media massa, berita, film, media sosial, pendidikan, buku, pembelajaran, pariwisata dan perjalanan, ibadah, iklan pariwisata, dan dokumen keseharian. Semoga terwujud. (*)
T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Nasional Indonesia