AYOBANDUNG.ID - Di usia 40 tahun, Santi, kerap disangka kakak dari anak sulungnya. Bukan karena ia awet muda, melainkan karena jarak usia mereka yang begitu dekat. Anak pertamanya kini berumur 23 tahun, sedang menempuh kuliah di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung.
Senyum itu menyimpan perjalanan panjang yang penuh luka. Semuanya bermula ketika ia menikah di usia sekitar 17 tahun, tepat setelah lulus SMA. Kala itu, ia tidak berpikir panjang. Hubungan dengan pacar yang hanya terpaut dua tahun dianggap cukup menjadi alasan membangun rumah tangga.
Awal pernikahan, segalanya terlihat baik-baik saja. Santi dikaruniai dua anak, rumah tangga berjalan lancar, dan kebutuhan ekonomi tercukupi. Bahkan mereka sudah memiliki rumah di sebuah kompleks perumahan. Tetapi di balik kenyamanan materi, ada harga yang harus ia bayar: masa mudanya.
Saat teman-teman sebayanya masih bisa bersenda gurau, Santi justru sibuk mengganti popok dan menenangkan tangis bayi. Ia tak punya waktu untuk sekadar nongkrong di warung bersama sahabat atau ikut kegiatan remaja di kampung. “Memang ada rasa ingin main, tapi saya sudah punya anak yang harus dijaga,” kenangnya, Kamis, 14 Agustus 2025.
Sementara Santi beradaptasi dengan peran barunya sebagai ibu, suaminya masih sering keluar bersama teman-temannya. Semula ia berpikir itu hal wajar, sampai suatu hari ia mengetahui sang suami berselingkuh. Dunia Santi runtuh. Ia bercerai di usia awal 20-an, menjadi orang tua tunggal dengan dua anak kecil.
Perceraian itu membawanya ke titik terendah. Rasa marah, kecewa, dan kehilangan bercampur menjadi satu. Ia melampiaskan perasaannya dengan sering pergi keluar rumah, mencoba “mencuri” kembali masa mudanya yang hilang. Namun di saat yang sama, perhatian untuk anak-anak semakin berkurang. Mereka tumbuh tanpa pengasuhan penuh, bahkan kasih sayang kadang terselip di antara kekosongan.
Bertahun-tahun kondisi itu berlangsung. Sampai akhirnya, Santi tersadar ketika anak-anaknya menginjak remaja. Waktu yang telah berlalu tak bisa diulang. Ia mendapati anak sulungnya menjadi pendiam dan sering memberontak.
“Butuh waktu bertahun-tahun untuk kembali dekat dengan anak. Rasanya berdarah-darah,” ucapnya lirih.
Santi kini hanya bisa berharap pengalamannya menjadi pelajaran. Pernikahan dini, baginya, bukan sekadar soal kesiapan ekonomi, tetapi juga kesiapan mental dan emosional. “Kalau saja dulu saya tahu dampaknya, mungkin saya akan menunggu lebih lama,” katanya di rumahnya di kawasan Soreang, Kabupaten Bandung.
Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Kantor Kemenag Kabupaten Bandung, Abdul Hanan, membenarkan bahwa pernikahan di usia terlalu muda rentan berujung masalah. Aturan negara telah menetapkan usia minimal menikah adalah 19 tahun agar pasangan memiliki kematangan psikologis.
“Usia di bawah itu, ego masih tinggi, kematangan emosinya belum terbentuk. Pertengkaran kecil bisa berakhir perceraian,” jelasnya. Dampaknya panjang: anak kehilangan kasih sayang, tumbuh dengan trauma, dan hubungan keluarga terpecah.
Menurutnya, perempuan menanggung beban lebih besar ketika perceraian terjadi. Selain stigma sosial, mereka juga memikul tanggung jawab pengasuhan sendirian. Faktor pendorong pernikahan dini pun beragam, mulai dari alasan ekonomi, budaya, hingga pergaulan bebas.
Kemenag, kata Abdul, berupaya menekan angka pernikahan dini melalui program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS). Para pelajar diberikan edukasi tentang risiko pernikahan dini dan dampak pergaulan bebas. Penyuluhan juga dilakukan ke masyarakat untuk mengubah pandangan yang masih menganggap menikahkan anak di usia muda sebagai hal biasa.
Di sisi hukum, KUA tidak bisa mencatatkan pernikahan di bawah 19 tahun tanpa dispensasi Pengadilan Agama. Namun praktik di lapangan kerap berbeda. Ada keluarga yang tetap memaksakan anaknya menikah, meski tanpa pencatatan resmi.
“Pernikahan yang tidak tercatat punya konsekuensi hukum. Anak bisa kehilangan hak waris, dan pembagian harta saat bercerai jadi sulit,” tegas Abdul.
Bagi Santi, semua itu kini sudah terlanjur menjadi bagian dari masa lalunya. Yang tersisa adalah usaha memperbaiki hubungan dengan anak-anak, menebus waktu yang dulu hilang, dan membagikan kisahnya agar orang lain tidak mengulang kesalahan yang sama. (*)