Pikiran pemimpin bangsa dan buku ibarat dua pasang kaki kuda yang saling memacu kemajuan. Kita bisa melihat betapa hebatnya kadar intelektual para perintis dan pendiri Indonesia. Mereka memiliki konsepsi dan pemikiran yang hebat, runtun dan kontennya melesat ke depan.
Para pemimpin tempo dulu dalam keseharian adalah sosok bangsawan pikiran yang berperan sebagai intelektual publik. Menurut definisi New York Times tentang intelektual publik (public intellectual).Intelektual publik adalah seseorang yang memiliki pengetahuan (knowledge), otoritas (authority), tentang isu-isu aktual (issues of the day), dan memiliki kemampuan menyampaikannya kepada publik.
Tahun lalu saya bersama kawan-kawan Ikatan Alumni Program BJ Habibie (IABIE) diundang berdiskusi oleh Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto. Setelah berdiskusi kami semua diberi tiga buah buku karya Presiden ke-8 yang berjudul Paradoks Indonesia dan Solusinya, Kepemimpinan Militer, Catatan dari Pengalaman Prabowo Subianto. Dan buku ketiga berjudul Membangun Kembali Indonesia Raya: Strategi Besar Transformasi Bangsa.
Diskusi dengan Prabowo Subianto sangat mengesankan. Dalam diskusi tersebut tampak buah pikiran atau sederet gagasan besar untuk memajukan bangsa oleh Presiden ke-8 itu sungguh luar biasa. Berpengetahuan luas, bahasanya lugas, kalimat-kalimatnya mengalir jernih. Tampak sekali kalau Prabowo gemar membaca buku-buku berkelas dunia.
Presiden Prabowo memiliki PR yang berat untuk mendongkrak indeks literasi bangsa Indonesia yang selama ini masih terpuruk di antara bangsa lain. Kita juga sangat prihatin bahwa budaya membaca buku-buku berkualitas dari masyarakat Indonesia semakin memprihatinkan.
Masyarakat sekarang ini semakin jarang membaca buku namun terlalu keranjingan dengan gawai untuk sekedar berceloteh di jagat sosial media. Mereka semakin teraleniasi dengan buku.
Pemerintah diharapkan serius membenahi usaha percetakan dan penerbitan buku di Indonesia yang bersifat mendasar serta sesuai dengan perkembangan zaman. Tentunya usaha itu memerlukan transformasi proses bisnis agar bisa bersaing menghadapi era digital.
Revitalisasi usaha percetakan dan penerbitan buku di negeri ini harus dilakukan secepatnya, hal itu terkait dengan terjadinya tragedi nol buku di negeri ini. Seperti ditunjukkan oleh kajian internasional, yaitu Programme for International Student Assessment.
Betapa menyedihkan aktivitas warga Indonesia dalam berinteraksi dengan buku. Menurut survei lembaga tersebut dalam setahun warga bangsa ini rata-rata hanya membaca 27 halaman buku atau tidak sampai satu buku alias nol. Dengan kata lain, untuk membaca satu halaman saja memerlukan waktu dua pekan.
Sebagai perbandingan masyarakat Jepang mencapai 15 buku per tahun. Inilah mengapa tradisi intelektual dan jiwa negarawan di negeri ini merosot. Hal ini ditandai dengan semakin turbulensinya opini dan degradasi pemikiran strategis dalam proses berbangsa dewasa ini. Untuk membangun modal intelektual bangsa yang terpuruk saat ini dibutuhkan pemimpin bangsa yang memiliki perhatian besar terhadap buku dan mampu mewujudkan budaya membaca, ekosistem perpustakaan dan penerbitan yang modern.
Urgensi membenahi sistem perbukuan nasional dan meningkatkan aktivitas membaca masyarakat. Optimasi layanan pendidikan nasional juga bisa berhasil dengan baik jika menerapkan sistem buku teks terbuka dan menyempurnakan buku elektronik lalu membagikan secara gratis untuk masyarakat.
Selain program makan siang gratis dan susu gratis, Presiden Prabowo Subianto diharapkan menggratiskan buku-buku bermutu kepada masyarakat luas lewat platform digital. Sehingga usaha untuk mencerdaskan bangsa bisa segera terwujud.
Pikiran kita melayang membayangkan betapa hebatnya kualitas kepemimpinan para perintis dan pendiri Republik Indonesia. Mereka memiliki konsepsi dan buah pikir yang jenius, runtut dan kontennya melesat ke depan. Begitu pula opini publik pada era tersebut mengalir jernih. Itu pertanda bahwa pada era itu indeks literasi cukup bagus.
Sejarah mencatat, dalam usia yang masih muda belia, Soekarno menulis buku Indonesia Menggugat yang pernah mendapat perhatian dunia. Kemudian Mohammad Natsir sangat produktif menulis artikel ideologis yang dibukukan dengan judul Capita Selecta, buku yang mencerahkan kehidupan demokrasi. Mohammad Hatta menulis buku Indonesia Merdeka dan sederet buku lainnya. Sjahrir menulis Renungan dalam Tahanan. Dan demikianlah para pejuang lainnya. Mereka semua sangat piawai dalam memimpin wacana karena giat menulis sekaligus kutu buku.
Program berkelanjutan UNESCO terkait dengan buku juga untuk menghormati sastrawan dan pengarang besar seperti Shakespeare, Cervantes, Inca Garcilaso de la Vega dan Josep Pla, Maurice Druon, Vladimir Nabokov, Manuel Mejía Vallejo and Halldór Laxness.
Badan PBB itu juga menekankan perlunya sinergi antara pemangku kepentingan, yakni pengarang, penerbit, distributor, perpustakaan, organisasi perbukuan serta berbagai komunitas yang semuanya bekerja sama mempromosikan buku dan literasi sebagai aktivitas untuk menguatkan nilai–nilai sosial, mencerahkan kebudayaan dan meneguhkan kemanusiaan. Usaha untuk mencerdaskan bangsa sesuai dengan konstitusi tidak bisa lepas dari sejauh mana usaha penerbitan dan aktivitas membaca buku bagi warga negara.
Baca Juga: Ketentuan Kirim Artikel ke Ayobandung.id, Total Hadiah Rp1,5 Juta per Bulan

Perlu membangkitkan PT Balai Pustaka. Kini perseroan itu telah menjadi network company yang mampu mencetak keuntungan cukup besar. Balai Pustaka (BP) didirikan dengan nama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau komisi untuk bacaan rakyat oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1908.
Ada blessing in disguise bagi bangsa Indonesia dengan pendirian BP oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendirian itu pada awalnya bertujuan untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap gerakan politik bumiputera. Program pertama BP adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa untuk dijadikan bacaan rakyat. Program tersebut dibarengi pendirian perpustakaan di setiap sekolah dan membangun taman bacaan. Juga menerbitkan majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu, Jawa, dan majalah Parahyangan dalam bahasa Sunda.
Dimasa mendatang PT Balai Pustaka hendaknya semakin memperbanyak diversifikasi usaha dengan berperan aktif menciptakan layanan sistem pendidikan nasional dan perpustakaan umum. Pembenahan usaha percetakan dan penerbitan buku yang tengah dilakukan oleh pemerintah sebaiknya bersifat mendasar serta sesuai dengan perkembangan zaman. Usaha itu memerlukan transformasi proses bisnis agar bisa bersaing menghadapi era digital. (TS)