Bandung siang itu dipenuhi lalu-lalang mahasiswa yang memenuhi area Integrated Careers Days ITB. Di antara booth perusahaan, deretan stan inovasi, dan percakapan tentang masa depan karier, tiba-tiba terdengar denting gamelan yang terasa asing namun memikat. Suara itu mengalun halus, memecah keramaian, membawa suasana yang berbeda ke jantung kampus teknologi ternama di Bumi Pasundan.
Dari ujung panggung, sekelompok mahasiswa berjalan perlahan dengan songket berkilau dan aesan gede yang memantulkan cahaya. Mereka bukan bagian dari panitia resmi, bukan pula pengisi acara komersial, tetapi hadir dengan misi yang lebih dalam yakni membawa sepotong Palembang ke Bandung, memperkenalkan identitas mereka di tengah ruang akademik yang serba modern.
Mereka adalah mahasiswa perantau asal Palembang dari Telkom University, UIN Bandung, dan UNPAS. Berbeda kampus, berbeda aktivitas harian, namun mereka dipertemukan oleh keinginan yang sama melestarikan Gending Sriwijaya di mana pun mereka berada. Undangan untuk tampil di panggung ITB mereka anggap sebagai peluang langka, kesempatan menunjukkan bahwa budaya tidak mengenal tembok fakultas ataupun batas geografis.
“Rasanya seperti bicara dengan masa lalu di tengah masa depan,” ujar Nia, salah satu penari dari UNPAS, sambil membetulkan songketnya sebelum naik panggung.
Ia mengaku bangga sekaligus gugup. Di acara sebesar ini, orang-orang datang membawa CV dan portofolio. Siapa sangka mereka akan disuguhkan tarian tradisi yang berasal ratusan kilometer dari Bandung?
Ketika musik mulai mengalun, suasana berubah drastis. Keramaian mereda. Para pengunjung berhenti sejenak, untuk melihat barisan penari. Gerakan tangan yang lembut, langkah kaki yang teratur, serta senyum ramah khas penyambutan Gending Sriwijaya membuat mereka terhipnotis. Di panggung ITB yang biasanya dipenuhi presentasi teknologi, kini hadir kehormatan budaya yang dipentaskan dengan penuh penghayatan.
Bagi para penari, tampil di acara Integrated Careers Days bukan sekadar pertunjukan. Ini adalah ruang untuk menegaskan bahwa generasi muda Palembang tidak hanya mengejar pendidikan di tanah orang, tetapi juga menjaga warisan yang mereka bawa dari rumah. Latihan yang mereka jalani pun tidak mudah. Mereka harus berbagi waktu di antara jadwal kuliah, menyewa ruang latihan seadanya, dan saling meminjam perlengkapan. Namun setiap kesulitan terlihat sepadan ketika mereka melihat wajah-wajah penonton yang terpukau.
Penampilan itu menjadi salah satu momen paling hangat di tengah acara karier yang serba formal. Banyak pengunjung mendekat setelah pementasan, bertanya tentang makna gerakan, simbol pada kostum, hingga sejarah Sriwijaya itu sendiri. Beberapa mahasiswa Sunda mengatakan mereka baru pertama kali menyaksikan Gending Sriwijaya secara langsung. Ada rasa ingin tahu, rasa kagum, dan rasa hormat yang muncul begitu alami.
Di tanah perantauan, tarian ini menemukan fungsinya yang baru. Ia bukan lagi sekadar penyambutan tamu istimewa, tetapi menjadi penghubung antara budaya, menjadi pengingat bahwa identitas tidak pernah benar-benar jauh meski para pemiliknya menjejak tanah yang berbeda. Integrated Careers Days ITB mewadahi banyak mimpi masa depan, dan di antara mimpi-mimpi itu, Gending Sriwijaya hadir sebagai pengingat bahwa masa depan yang kuat selalu berakar pada masa lalu yang dijaga.
Dan sore itu, ketika panggung kembali dipenuhi agenda presentasi dan diskusi karier, kilau songket para penari perlahan meredup di balik tirai. Tapi kehangatan yang mereka tinggalkan bertahan lebih lama sebuah bukti bahwa budaya dapat hidup di mana pun, selama ada generasi muda yang bersedia membawanya pulang lewat setiap gerakan. (*)
