Berdasarkan hasil riset dari Litbang Kompas 30 Juni 2025 menunjukkan bahwa publik menyoroti kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan tajam. Lebih dari 50 persen responden menilai ASN masih dekat dengan persoalan suap, pungli, tidak profesional, dan lamban dalam pelayanan.
Bahkan, pungli disebut sebagai masalah terbanyak dalam pelayanan publik (44 persen). Citra positif ASN pun hanya mencapai 61,9 persen. Meskipun begitu, harapan masyarakat tetap tinggi: 74,1 persen responden yakin kinerja ASN akan membaik di masa depan.
Paradoks
Fenomena ini menampakkan paradoks menarik. Di satu sisi, pelatihan ASN dilakukan secara masif melalui berbagai program pengembangan kompetensi.
Namun di sisi lain, publik belum merasakan dampak nyata dari investasi pelatihan tersebut. Banyak instansi masih mengukur keberhasilan pelatihan berdasarkan indikator administratif seperti kehadiran, tingkat kepuasan peserta, atau jumlah peserta yang lulus. Aspek pembelajaran bermakna seperti perubahan perilaku dan kontribusi terhadap kinerja, belum menjadi fokus evaluasi.
Padahal, pembelajaran yang berdampak sejatinya mencakup dua aspek: perolehan pengetahuan dan penggunaan pengetahuan dalam pekerjaan.
Keduanya menjadi fondasi peningkatan produktivitas, baik dari sisi efisiensi maupun efektivitas. Ketika pelatihan hanya berakhir sebagai kegiatan tanpa pengaruh nyata, maka wajar jika publik patut mempertanyakan efektivitas reformasi birorkasi.
Tantangan
Kondisi ini kontras dengan semangat kebijakan yang tengah digulirkan. Presiden Prabowo melalui Asta Cita menekankan pentingnya peningkatan kualitas SDM, yang menjadi salah satu misi utama pemerintah. Dalam konteks ASN, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Pasal 49 mengamanatkan bahwa setiap ASN wajib melakukan pengembangan kompetensi secara berkelanjutan, terintegrasi, dan sesuai kebutuhan organisasi.
Mandat ini diperkuat oleh Peraturan LAN Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sistem Pembelajaran Pengembangan Kompetensi Secara Terintegrasi atau Corporate University (Corpu).
Corpu merupakan wahana pengembangan kompetensi SDM agar mampu menjawab arah dan tujuan strategis organisasi (Meister, 1998). Corpu hadir sebagai respons keterbatasan pendekatan learning, training, & development yang lebih menekankan pada rutinitas daripada dampak pembelajaran.
Konsep Corpu tersebut dimaksudkan bukan sekadar metode teknis pelatihan, tetapi pendekatan strategis untuk mendukung manajemen talenta, pencapaian tujuan organisasi, dan pembangunan nasional. Dalam peraturan tersebut, evaluasi menjadi bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan Corpu. Setiap instansi penyelenggara diwajibkan menunjukkan bahwa pembelajaran berdampak pada kinerja, baik individu maupun organisasi.

Namun, pelaksanaan evaluasi dampak pembelajaran ASN Corpu belum sepenuhnya mencerminkan semangat itu. Evaluasi masih didominasi survei sebagai satu-satunya instrumen.
Meskipun survei memiliki kelebihan dari segi kemudahan distribusi dan jangkauan responden, metode ini juga memiliki keterbatasan mendasar: bersifat subjektif, rentan terhadap bias, tidak dapat memverifikasi perubahan nyata, dan tidak menggambarkan konteks perubahan perilaku di lapangan.
Dalam evaluasi pelatihan yang serius, survei seharusnya menjadi bagian dari pendekatan multi-metode.
Evaluasi yang kuat seharusnya dilengkapi dengan metode lainnya observasi langsung, wawancara dengan atasan atau rekan kerja, studi kasus, portofolio kerja, 360-degree feedback, dan mekanisme tindak lanjut yang terdokumentasi.
Hanya dengan pendekatan holistik kita dapat mengukur secara valid apakah hasil pelatihan benar-benar berdampak.
Dampak yang dimaksud bukan sekadar angka, tetapi transformasi nyata. ASN yang mengikuti pelatihan seharusnya menunjukkan perubahan dalam kinerja, sikap, dan kontribusi pada tujuan organisasi.
Di level organisasi, pembelajaran semestinya mendorong inovasi, meningkatkan kualitas pelayanan publik, memperkuat budaya kerja, dan bahkan memberikan nilai tambah bagi investasi negara. Beberapa program pelatihan seharusnya sudah dapat dihitung nilai Return on Investment (ROI) secara konkret.
Kegagalan dalam membangun sistem evaluasi berbasis hasil akan berdampak serius. Akuntabilitas pelatihan menjadi lemah. Keterkaitan antara pelatihan dan peningkatan kinerja ASN menjadi kabur. Akhirnya, pengambilan keputusan organisasi pun tidak didasarkan pada data pembelajaran, tetapi pada kebiasaan, kebijakan politis, atau persepsi semata.
Tindak Lanjut
Untuk itu, LAN RI bersama Dewan Pengarah ASN Corpu Instansi perlu mendorong reformasi sistem evaluasi pelatihan. Lemahnya sistem evaluasi meski lambat tapi pasti akan menggerus kepercayaan publik, menghambat jalannya reformasi birokrasi, dan berpotensi menyia-nyiakan anggaran pengembangan Aparatur.
Corpu tidak cukup hanya dijalankan, tetapi harus dipertanggungjawabkan dampaknya. Ini membutuhkan penetapan indikator yang terukur, metode evaluasi yang kredibel, dan penggunaan hasil evaluasi dalam siklus manajemen SDM di instansi.
Baca Juga: Sudah Kirim Artikel ke Ayobandung.id, tapi Belum Terbit? Pastikan 'Send to REVIEW'
Paradoks publik yang masih berharap pada perbaikan ASN meski citranya tercoreng, harus dijawab dengan langkah nyata. Momentum reformasi birokrasi jangan berhenti di tataran regulasi dan tuntutan administratif. ASN Corpu harus menjadi motor penggerak perubahan menjawab tuntutan masyarakat, bukan hanya memenuhi kewajiban pelatihan.
Jika kita ingin meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mengembalikan kepercayaan terhadap ASN, maka tidak ada jalan lain selain menjadikan pembelajaran sebagai investasi yang berdampak. Karena pada akhirnya, birokrasi yang belajar adalah birokrasi yang berubah. (*)