Dulu, identitas kita berpijar dari ruang-ruang fisik, seperti kantor, sekolah, atau komunitas.
Kini, media sosial menjadi panggung global, tempat siapa pun bisa menampilkan diri, membentuk citra, dan menarik perhatian. Setiap unggahan terasa seperti bagian dari pertunjukan yang terus berlangsung tanpa akhir.
Misalnya, Maudy Ayunda bukan sekadar aktris; lewat Instagram, YouTube, dan podcast, ia membangun citra sebagai sosok intelektual yang menyuarakan pentingnya pendidikan, keberlanjutan, dan self-growth.
Begitu pula Najwa Shihab, jurnalis yang memanfaatkan Instagram dan YouTube untuk mengedukasi publik soal isu sosial-politik. keautentikan mereka memang terlihat, tetapi bukan tanpa arahan.
Setiap gestur, pilihan kata, hingga citra yang dibentuk di ruang digital merupakan bagian dari narasi yang dikonstruksi secara sadar, seluruhnya merupakan hasil dari strategi personal branding yang dirancang dengan cermat dan konsisten.
Begitupun dengan mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Sebelum berbagai isu mencuat dan jadi perbincangan publik belakangan ini, ia dikenal luas bukan hanya sebagai pemimpin yang kreatif dan dekat dengan rakyat, tapi juga sebagai sosok suami yang romantis dan penuh cinta.
Di media sosial, ia kerap membagikan potret hangat kebersamaan dengan istrinya, Atalia Praratya, yang akrab ia sapa dengan penuh manja: Si Cinta. Postingannya tak jarang dipenuhi dengan kalimat puitis, lelucon khas "bapak-bapak bucin", atau momen-momen kecil yang membuktikan rasa hormat dan kasih sayang pada sang istri.
Namun di balik narasi tersebut, ada lapisan citra yang secara sadar dibentuk: citra pejabat yang hangat, jenaka, humanis, dan paling penting tak berjarak dari rakyat. Romantisme yang ia tampilkan bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan bagian dari strategi komunikasi politik.
Ia tidak hanya menjual gagasan kepemimpinan yang modern dan kreatif, tetapi juga menampilkan paket lengkap “laki-laki ideal” versi publik urban: berdaya, religius, tapi juga lembut dan penuh cinta.
Kini, ketika sorotan publik bergeser pada isu yang lebih kompleks, narasi tersebut diuji. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai keotentikan mulai dilihat ulang: seberapa tulus, seberapa strategis, dan di mana batas antara citra dan realitas.
Dalam era politik digital, personal branding bukan hanya tentang apa yang ditampilkan, tetapi juga tentang bagaimana publik menafsirkan ulang ketika kenyataan mulai berbicara lain.
Identitas sebagai Proyek (Melalui Teori Stuart Hall)
Stuart Hall (1990) mengatakan bahwa identitas bukan “apa adanya”, identitas bukanlah sesuatu yang tetap atau bawaan sejak lahir, tapi konstruksi sosial yang terus berubah melalui representasi media. Artinya, di era digital identitas adalah proyek yang terus direvisi, dikurasi, dan ditampilkan.
Influencer seperti Ria Ricis adalah contoh yang menarik. Di Instagram, ia dikenal sebagai pribadi yang ceria, spontan, menyenangkan, dan personal yang terasa dekat dengan pengikutnya.
Namun, sebuah studi dari Universitas Indonesia (2020) menemukan bahwa, citra tersebut dibangun secara sadar dan professional, sebagai bagian dari strategi personal branding yang matang. Ricis tidak sekadar tampil spontan atau apa adanya di depan kamera.
Setiap unggahan, gaya bicara, hingga topik yang ia pilih merupakan bagian dari citra yang dirancang dengan tujuan tertentu. Ia secara aktif mengatur bagaimana dirinya ingin dilihat.
Konsep dramaturgi dari Erving Goffman (1956) menjelaskan bahwa kehidupan sosial dibagi menjadi dua wilayah: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).
Di panggung depan, individu menampilkan diri sesuai peran sosial yang diharapkan; sementara di panggung belakang, mereka bisa melepaskan topeng sosial itu.
Dalam konteks influencer, media sosial adalah panggung depan yang dikurasi dengan seksama, sementara kehidupan pribadi tetap berada di balik tirai backstage, jarang terlihat, dan jika pun muncul, tetap dalam kontrol narasi.
Dengan demikian, keautentikan yang kita lihat di media sosial bukan berarti tidak nyata, tapi itu adalah “keautentikan yang dirancang”.
Persona digital hari ini adalah hasil dari pengelolaan identitas yang cermat, di mana batas antara ekspresi personal dan strategi komunikasi makin kabur.
Mediatisasi dan Kapitalisme Diri

Menurut Nick Couldry dan Andreas Hepp, mediatisasi (mediatization) adalah proses ketika media tidak lagi hanya menjadi saluran komunikasi, tapi berubah menjadi struktur utama yang membentuk cara kita berpikir, bersikap, dan berinteraksi dalam kehidupan sosial budaya.
Media kini menyusun logika sosial kita: bagaimana kita membangun relasi, menilai sesuatu, bahkan memahami diri sendiri.
Dalam konteks ini, personal branding tidak bisa dipahami hanya sebagai citra diri atau kesan yang ingin ditampilkan. Ia telah menjadi aset ekonomi. Setiap unggahan, bio Instagram, atau gaya berbicara di YouTube adalah bagian dari "portofolio kehidupan" yang ditawarkan kepada publik.
Kita menjual impresi, dan berharap dari sana muncul engagement yang bisa dikonversi menjadi peluang nyata, seperti endorsement, kerja sama brand, kursus online, hingga undangan untuk berbicara di publik.
Fenomena ini selaras dengan konsep “enterprising selves” dari Paul du Gay, di mana individu dilihat dan diperlakukan sebagai perusahaan mikro. Diri menjadi sesuatu yang bisa dikemas, dipasarkan, dan disesuaikan dengan selera pasar digital.
Kita tidak hanya mengekspresikan diri, tapi juga memilah apa yang layak ditampilkan, mengeditnya agar menarik, lalu menyesuaikan gaya dan konten dengan tuntutan audiens, seperti seorang brand manager mengelola produk.
Dengan kata lain, dalam budaya digital hari ini, identitas bukan hanya soal siapa kita, tapi juga bagaimana kita menjual versi terbaik dari diri kita dan bagaimana versi itu diterima kemudian dihargai oleh pasar.
Algoritma sebagai Mandor Budaya
Media sosial sering dianggap ruang bebas berekspresi, padahal platform ini tidak pernah netral. Siapa yang muncul di linimasa, siapa yang mendapat sorotan, bukan semata mata ditentukan oleh kualitas konten, melainkan oleh algoritma.
Algoritma bekerja seperti kurator tak terlihat: ia memilih, menyaring, dan mempromosikan konten berdasarkan pola klik, komentar, dan kecenderungan pasar data.
Di sinilah letak kendali tersembunyi, personal branding digital bukan lagi sepenuhnya milik si pembuat konten, tapi juga tunduk pada aturan sistem yang tak terlihat dan sering kali tak adil.
Studi Nugroho dkk. (2025) menyoroti strategi personal branding: konsistensi visual, interaksi audiens, dan adaptasi algoritma platform adalah “kunci menang”.
Tanpa menyesuaikan strategi posting terhadap algoritma (misalnya jam optimal posting, hashtag, format video pendek), peluang untuk dilihat sangat kecil, meski kualitasnya baik.
Ambiguitas dalam Panggung Mediatisasi
Personal branding di era digital sering diasosiasikan dengan kontrol atas citra diri, membangun kesan yang kuat, konsisten, dan menarik. Tapi kenyataannya, personal branding tidak selalu berarti positif. Ia adalah arena tarik-menarik antara emansipasi dan eksploitasi.
Di satu sisi, personal branding bisa menjadi bentuk emansipasi. Ketika seseorang secara sadar merancang bagaimana dirinya ingin dikenal, ia mengambil alih kendali atas narasi hidupnya.
Inilah bentuk agensi dalam budaya digital: seseorang menjadi “wirausaha diri,” menentukan panggungnya sendiri, membangun jejaring, bahkan membuka peluang karier dan pengaruh sosial. Kita bisa lihat ini, misalnya, pada tenaga kesehatan yang membagikan edukasi melalui YouTube.
Mereka tak hanya memperluas kredibilitas profesional, tapi juga berkontribusi pada literasi public, sebuah bentuk personal branding yang berdaya.
Namun di sisi lain, ada dimensi eksploitatif yang sering luput dibahas. Tekanan untuk terus hadir secara online, memproduksi konten yang relevan, menjaga engagement agar tak “ditinggal algoritma”, semua itu menciptakan beban psikologis.
Waktu terasa tak pernah cukup, ruang privat makin kabur, dan rasa lelah tak lagi sekadar fisik, tapi juga emosional dan identitas. Burnout, kecemasan performa, hingga kebingungan antara mana yang autentik dan mana yang sekadar pencitraan jadi persoalan yang nyata.
Dalam dunia di mana identitas dilihat, dinilai, dan diperhitungkan lewat likes, views, dan followers, personal branding bisa menjadi alat pemberdayaan atau jebakan tak kasat mata.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Personal branding di era digital adalah keseimbangan antara mengekspresikan diri dan menyesuaikan diri dengan media.
Media tidak lagi hanya tempat berbagi, tapi ikut mengatur bagaimana kita tampil—mulai dari cara bicara, jenis konten, sampai siapa yang muncul di linimasa dan siapa yang tenggelam. Semua itu diatur oleh sistem yang bekerja diam-diam: algoritma, tren, dan format-platform.
Tapi, meski banyak hal terasa dikendalikan, kita tetap punya ruang untuk memilih. Kita bisa menentukan: apakah ingin tampil di panggung yang kita bangun sendiri, atau hanya ikut-ikutan arus demi viral dan validasi?
Otentisitas bukan hal mustahil—asal kita sadar akan peran media dalam hidup kita, dan tetap bertanggung jawab atas apa yang kita tampilkan.
Jadi, yang penting bukan hanya “tampil”, tapi mengapa dan bagaimana kita memilih untuk tampil. (*)
Tonton Video Terbaru Ayobandung: