Personal Branding di Panggung Virtual

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah, M.Hum diterbitkan Selasa 15 Jul 2025, 10:05 WIB
Kini, media sosial menjadi panggung global, tempat siapa pun bisa menampilkan diri, membentuk citra, dan menarik perhatian. (Sumber: Pexels/PNW Production)

Kini, media sosial menjadi panggung global, tempat siapa pun bisa menampilkan diri, membentuk citra, dan menarik perhatian. (Sumber: Pexels/PNW Production)

Dulu, identitas kita berpijar dari ruang-ruang fisik, seperti kantor, sekolah, atau komunitas.

Kini, media sosial menjadi panggung global, tempat siapa pun bisa menampilkan diri, membentuk citra, dan menarik perhatian. Setiap unggahan terasa seperti bagian dari pertunjukan yang terus berlangsung tanpa akhir.

Misalnya, Maudy Ayunda bukan sekadar aktris; lewat Instagram, YouTube, dan podcast, ia membangun citra sebagai sosok intelektual yang menyuarakan pentingnya pendidikan, keberlanjutan, dan self-growth.

Begitu pula Najwa Shihab, jurnalis yang memanfaatkan Instagram dan YouTube untuk mengedukasi publik soal isu sosial-politik. keautentikan mereka memang terlihat, tetapi bukan tanpa arahan.

Setiap gestur, pilihan kata, hingga citra yang dibentuk di ruang digital merupakan bagian dari narasi yang dikonstruksi secara sadar, seluruhnya merupakan hasil dari strategi personal branding yang dirancang dengan cermat dan konsisten.

Begitupun dengan mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Sebelum berbagai isu mencuat dan jadi perbincangan publik belakangan ini, ia dikenal luas bukan hanya sebagai pemimpin yang kreatif dan dekat dengan rakyat, tapi juga sebagai sosok suami yang romantis dan penuh cinta.

Di media sosial, ia kerap membagikan potret hangat kebersamaan dengan istrinya, Atalia Praratya, yang akrab ia sapa dengan penuh manja: Si Cinta. Postingannya tak jarang dipenuhi dengan kalimat puitis, lelucon khas "bapak-bapak bucin", atau momen-momen kecil yang membuktikan rasa hormat dan kasih sayang pada sang istri.

Namun di balik narasi tersebut, ada lapisan citra yang secara sadar dibentuk: citra pejabat yang hangat, jenaka, humanis, dan paling penting tak berjarak dari rakyat. Romantisme yang ia tampilkan bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan bagian dari strategi komunikasi politik.

Ia tidak hanya menjual gagasan kepemimpinan yang modern dan kreatif, tetapi juga menampilkan paket lengkap “laki-laki ideal” versi publik urban: berdaya, religius, tapi juga lembut dan penuh cinta.

Kini, ketika sorotan publik bergeser pada isu yang lebih kompleks, narasi tersebut diuji. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai keotentikan mulai dilihat ulang: seberapa tulus, seberapa strategis, dan di mana batas antara citra dan realitas.

Dalam era politik digital, personal branding bukan hanya tentang apa yang ditampilkan, tetapi juga tentang bagaimana publik menafsirkan ulang ketika kenyataan mulai berbicara lain.

Identitas sebagai Proyek (Melalui Teori Stuart Hall)

Stuart Hall (1990) mengatakan bahwa identitas bukan “apa adanya”, identitas bukanlah sesuatu yang tetap atau bawaan sejak lahir, tapi konstruksi sosial yang terus berubah melalui representasi media. Artinya, di era digital identitas adalah proyek yang terus direvisi, dikurasi, dan ditampilkan.

Influencer seperti Ria Ricis adalah contoh yang menarik. Di Instagram, ia dikenal sebagai pribadi yang ceria, spontan, menyenangkan, dan personal yang terasa dekat dengan pengikutnya.

Namun, sebuah studi dari Universitas Indonesia (2020) menemukan bahwa, citra tersebut dibangun secara sadar dan professional, sebagai bagian dari strategi personal branding yang matang. Ricis tidak sekadar tampil spontan atau apa adanya di depan kamera.

Setiap unggahan, gaya bicara, hingga topik yang ia pilih merupakan bagian dari citra yang dirancang dengan tujuan tertentu. Ia secara aktif mengatur bagaimana dirinya ingin dilihat.

Konsep dramaturgi dari Erving Goffman (1956) menjelaskan bahwa kehidupan sosial dibagi menjadi dua wilayah: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).

Di panggung depan, individu menampilkan diri sesuai peran sosial yang diharapkan; sementara di panggung belakang, mereka bisa melepaskan topeng sosial itu.

Dalam konteks influencer, media sosial adalah panggung depan yang dikurasi dengan seksama, sementara kehidupan pribadi tetap berada di balik tirai backstage, jarang terlihat, dan jika pun muncul, tetap dalam kontrol narasi.

Dengan demikian, keautentikan yang kita lihat di media sosial bukan berarti tidak nyata, tapi itu adalah “keautentikan yang dirancang”.

Persona digital hari ini adalah hasil dari pengelolaan identitas yang cermat, di mana batas antara ekspresi personal dan strategi komunikasi makin kabur.

Mediatisasi dan Kapitalisme Diri

Kini, media sosial menjadi panggung global, tempat siapa pun bisa menampilkan diri, membentuk citra, dan menarik perhatian. (Sumber: Pexels/RDNE Stock project)
Kini, media sosial menjadi panggung global, tempat siapa pun bisa menampilkan diri, membentuk citra, dan menarik perhatian. (Sumber: Pexels/RDNE Stock project)

Menurut Nick Couldry dan Andreas Hepp, mediatisasi (mediatization) adalah proses ketika media tidak lagi hanya menjadi saluran komunikasi, tapi berubah menjadi struktur utama yang membentuk cara kita berpikir, bersikap, dan berinteraksi dalam kehidupan sosial budaya.

Media kini menyusun logika sosial kita: bagaimana kita membangun relasi, menilai sesuatu, bahkan memahami diri sendiri.

Dalam konteks ini, personal branding tidak bisa dipahami hanya sebagai citra diri atau kesan yang ingin ditampilkan. Ia telah menjadi aset ekonomi. Setiap unggahan, bio Instagram, atau gaya berbicara di YouTube adalah bagian dari "portofolio kehidupan" yang ditawarkan kepada publik.

Kita menjual impresi, dan berharap dari sana muncul engagement yang bisa dikonversi menjadi peluang nyata, seperti endorsement, kerja sama brand, kursus online, hingga undangan untuk berbicara di publik.

Fenomena ini selaras dengan konsep “enterprising selves” dari Paul du Gay, di mana individu dilihat dan diperlakukan sebagai perusahaan mikro. Diri menjadi sesuatu yang bisa dikemas, dipasarkan, dan disesuaikan dengan selera pasar digital.

Kita tidak hanya mengekspresikan diri, tapi juga memilah apa yang layak ditampilkan, mengeditnya agar menarik, lalu menyesuaikan gaya dan konten dengan tuntutan audiens, seperti seorang brand manager mengelola produk.

Dengan kata lain, dalam budaya digital hari ini, identitas bukan hanya soal siapa kita, tapi juga bagaimana kita menjual versi terbaik dari diri kita dan bagaimana versi itu diterima kemudian dihargai oleh pasar.

Algoritma sebagai Mandor Budaya

Media sosial sering dianggap ruang bebas berekspresi, padahal platform ini tidak pernah netral. Siapa yang muncul di linimasa, siapa yang mendapat sorotan, bukan semata mata ditentukan oleh kualitas konten, melainkan oleh algoritma.

Algoritma bekerja seperti kurator tak terlihat: ia memilih, menyaring, dan mempromosikan konten berdasarkan pola klik, komentar, dan kecenderungan pasar data.

Di sinilah letak kendali tersembunyi, personal branding digital bukan lagi sepenuhnya milik si pembuat konten, tapi juga tunduk pada aturan sistem yang tak terlihat dan sering kali tak adil.

Studi Nugroho dkk. (2025) menyoroti strategi personal branding: konsistensi visual, interaksi audiens, dan adaptasi algoritma platform adalah “kunci menang”.

Tanpa menyesuaikan strategi posting terhadap algoritma (misalnya jam optimal posting, hashtag, format video pendek), peluang untuk dilihat sangat kecil, meski kualitasnya baik.

Ambiguitas dalam Panggung Mediatisasi

Personal branding di era digital sering diasosiasikan dengan kontrol atas citra diri, membangun kesan yang kuat, konsisten, dan menarik. Tapi kenyataannya, personal branding tidak selalu berarti positif. Ia adalah arena tarik-menarik antara emansipasi dan eksploitasi.

Di satu sisi, personal branding bisa menjadi bentuk emansipasi. Ketika seseorang secara sadar merancang bagaimana dirinya ingin dikenal, ia mengambil alih kendali atas narasi hidupnya.

Inilah bentuk agensi dalam budaya digital: seseorang menjadi “wirausaha diri,” menentukan panggungnya sendiri, membangun jejaring, bahkan membuka peluang karier dan pengaruh sosial. Kita bisa lihat ini, misalnya, pada tenaga kesehatan yang membagikan edukasi melalui YouTube.

Mereka tak hanya memperluas kredibilitas profesional, tapi juga berkontribusi pada literasi public, sebuah bentuk personal branding yang berdaya.

Namun di sisi lain, ada dimensi eksploitatif yang sering luput dibahas. Tekanan untuk terus hadir secara online, memproduksi konten yang relevan, menjaga engagement agar tak “ditinggal algoritma”, semua itu menciptakan beban psikologis.

Waktu terasa tak pernah cukup, ruang privat makin kabur, dan rasa lelah tak lagi sekadar fisik, tapi juga emosional dan identitas. Burnout, kecemasan performa, hingga kebingungan antara mana yang autentik dan mana yang sekadar pencitraan jadi persoalan yang nyata.

Dalam dunia di mana identitas dilihat, dinilai, dan diperhitungkan lewat likes, views, dan followers, personal branding bisa menjadi alat pemberdayaan atau jebakan tak kasat mata.

Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta

Personal branding di era digital adalah keseimbangan antara mengekspresikan diri dan menyesuaikan diri dengan media.

Media tidak lagi hanya tempat berbagi, tapi ikut mengatur bagaimana kita tampil—mulai dari cara bicara, jenis konten, sampai siapa yang muncul di linimasa dan siapa yang tenggelam. Semua itu diatur oleh sistem yang bekerja diam-diam: algoritma, tren, dan format-platform.

Tapi, meski banyak hal terasa dikendalikan, kita tetap punya ruang untuk memilih. Kita bisa menentukan: apakah ingin tampil di panggung yang kita bangun sendiri, atau hanya ikut-ikutan arus demi viral dan validasi?

Otentisitas bukan hal mustahil—asal kita sadar akan peran media dalam hidup kita, dan tetap bertanggung jawab atas apa yang kita tampilkan.

Jadi, yang penting bukan hanya “tampil”, tapi mengapa dan bagaimana kita memilih untuk tampil. (*)

Tonton Video Terbaru Ayobandung:

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 10 Des 2025, 21:09 WIB

Minat Baca Warga Bandung Masih Rendah meski Fasilitas Mencukupi, Catatan untuk Wali Kota

Menyoroti masalah rendahnya minat baca di Bandung meski fasilitas memadai.
Sebuah Street Library tampak lengang dengan buku-buku yang mulai berdebu di samping Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jumat (05/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Adellia Ramadhani)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:16 WIB

Bubur Mang Amir, Bubur Ayam Termurah se-Dunia Seporsi Cuma Rp5.000

Pengakuan Mang Amir, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun.
Pengakuan Mang Amir, penjual bubur seporsi Rp5.000, ia sudah berjualan bubur ayama selama 25 tahun. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 20:02 WIB

Bandung untuk Mobil Pribadi atau Bandung untuk Warga?

Kota yang terlalu banyak bergantung pada kendaraan adalah kota yang rentan.
Warga bersepeda di kawasan Alun-alun Bandung. (Sumber: Arsip pribadi | Foto: Djoko Subinarto)
Ayo Biz 10 Des 2025, 20:02 WIB

Ketika Pekerja Kehilangan Rasa Aman: PHK Menguak Luka Sosial yang Jarang Terlihat

Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial.
Fenomena pemutusan hubungan kerja atau PHK semakin menjadi sorotan publik karena dampaknya yang luas terhadap kehidupan pekerja, pencari kerja, dan dinamika hubungan industrial. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 19:51 WIB

Karya Anak Muda Bandung yang Hadirkan Identitas dalam Brand Fashion Berjiwa Bebas

Brand lokal ini membawa semangat bebas dan berani, mewakili suara anak muda Bandung lewat desain streetwear yang penuh karakter.
Tim urbodycount menata koleksi kaos edisi terbaru di atas mobil sebagai bagian dari proses pemotretan produk di Buahbatu Square Jl.Apel 1 NO.18, Bandung, Jawa Barat, Selasa (4/11/2025) (Sumber: Rahma Dewi | Foto: Rahma Dewi)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 18:19 WIB

Soerat Imadjiner oentoek Maurenbrecher

Sebuah inspirasi unutk Wali Kota Bandung dan wakilnya, demi kemajuan Bandung.
Suasana Jalan Asia Afrika (Groote Postweg) Kota Bandung zaman kolonial Belanda. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 17:34 WIB

Sibuk Romantisasi Tak Kunjung Revitalisasi, Angkot Kota Bandung 'Setengah Buntung'

Kritik dan Saran terhadap Wali Kota Bandung terkait revitalisasi angkot Bandung.
Angkot Kota Bandung yang mulai sepi peminat di Dipatiukur, (7/12/2025). (Foto: Andrea Keira)
Ayo Jelajah 10 Des 2025, 17:03 WIB

Hikayat Terminal Cicaheum, Gerbang Perantau Bandung yang jadi Sarang Preman Pensiun

Sejarah Terminal Cicaheum sebagai pintu perantau Bandung. Terminal ini hidup abadi lewat budaya populer Preman Pensiun saat fungsi aslinya perlahan menyusut.
Suasana Terminal Cicaheum, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 16:26 WIB

Untuk Siapa Sebenarnya Sidewalk Diperuntukkan?

Keberadaan trotoar yang layak dan aman dapat mendorong masyarakat untuk lebih banyak berjalan kaki serta mengurangi kemacetan dan polusi.
Trotoar di Jalan Braga yang dipenuhi PKL. (Foto: Author)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 14:30 WIB

Sarana Bus Trans Metro Jabar Terus Meningkat, Halte Terbengkalai Tak Diperhatikan Wali Kota Bandung?

Di balik itu Metro Jabar Trans banyak disukai warga, beberapa halte malah dibiarkan terbengkalai.
Prasarana halte di daerah Mohamad Toha yang terlihat banyak coretan dan kerusakan tak terurus menyebabkan ketidaknyamanan bagi penumpang, pada 30 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nufairi Shabrina)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 14:13 WIB

Penumpukan Sampah di Ujung Berung Sudah Tidak Terkendali, Warga Mulai Kewalahan

Artikel ini membahas tentang kondisi kebersihan yang ada di Kota Bandung terutama di Ujung Berung.
Penumpukan sampah terlihat berserakan di di Jalan Cilengkrang, Kawasan Ujung Berung, pada Senin, 1 Desember 2025 pukul 07.30 WIB. (Foto: Sumber Muhamad Paisal). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Muhamad Paisal)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 12:37 WIB

Masa Depan Bandung Antara Julukan Kota Kreatif dan Problematika Urban

Kota Bandung telah lama dikenal sebagai kota kreatif atau dengan julukan Prestisius (Unesco City of Design).
Bandung bukan hanya kota dengan udara sejuk tapi juga ruang hidup yang terus berdenyut dengan  semangat pluralisme dan kreativitas. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Titania Zalsyabila Hidayatullah)
Beranda 10 Des 2025, 12:37 WIB

Belasan Jurnalis Dalami Fungsi AI untuk Mendukung Kerja Redaksi

Inisiatif ini ditujukan untuk memperkuat kemampuan jurnalis Indonesia, khususnya dalam verifikasi digital lanjutan, investigasi, serta pemanfaatan berbagai teknologi AI generatif.
Training of Trainers (ToT) "AI for Journalists".
di Hotel Mercure Cikini, Jakarta.
Ayo Netizen 10 Des 2025, 12:22 WIB

Cager, Bager, Bener: Filosofi Sopir Online Bandung di Jalanan Kota

Mengutamakan profesionalisme serta nilai-nilai saling menghormati agar perjalanan tetap nyaman dan aman setiap hari.
Seorang driver online tengah tersenyum ramah menunggu penumpangnya di tengah keramaian jalanan, menerapkan nilai cageur, bager, bener dalam layanan transportasi – Bandung, Sabtu (01/11/2025) (Foto: Bunga Kemuning A.D)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 10:29 WIB

Batagor dan Baso Cuankie Serayu, Kuliner Sederhana yang Selalu Ramai di Cihapit

Batagor dan Cuankie Serayu masih mempertahankan daya tariknya hingga kini.
Suasana Antre Batagor dan Baso Cuankie Serayu (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Miya Siti Nurimah)
Beranda 10 Des 2025, 09:42 WIB

Jomlo Menggugat: Saat Urusan Personal Berubah Jadi Persoalan Sosial

Di berbagai fase hidupnya, perempuan tetap saja berhadapan dengan ekspektasi sosial yang meminta mereka mengikuti nilai-nilai yang sudah lama tertanam.
Ilustrasi (Sumber: Pixabay | Foto: congerdesign)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 08:44 WIB

Akhir Pekan di Bandung Bukan Wisata, tetapi Ujian Kesabaran di Tengah Arus Padat

Kota Bandung kini dikenal sebagai kota yang kaya akan destinasi wisata. Namun, kemacetan yang parah menjadi masalah di setiap akhir pekan
Kota Bandung kini dikenal sebagai kota yang kaya akan destinasi wisata. Namun, kemacetan yang parah menjadi masalah di setiap akhir pekan. (Dok. Penulis)
Ayo Netizen 10 Des 2025, 07:41 WIB

Knalpot Bising: Dari Keluhan Masyarakat hingga Harapan Kota Tenang

Knalpot bising masih mengganggu warga Bandung. Razia yang tidak konsisten membuat pelanggar mudah lolos.
Suara bising nan kencang memantul di jalanan hingga membuat kita tak terasa tenang. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 09 Des 2025, 20:00 WIB

Beban Hidup Mencekik dan Tingginya Pengangguran Bukti Kegagalan Wali Kota Bandung?

Kenaikan biaya hidup dan syarat kerja tidak masuk akal memperparah 100 ribu pengangguran di Bandung.
Tingginya angka pengangguran memaksa warga Bandung beralih menjadi pekerja serabutan. (Sabtu, 06 Desember 2025). (Sumber: Penulis | Foto: Vishia Afiath)
Ayo Netizen 09 Des 2025, 19:53 WIB

Tanggapan Wisatawan tentang Kualitas Fasilitas Bandros di Bandung

Kritik serta saran mengenai fasilitas bandros yang ada di Kota Bandung.
Bandros di Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis)