Jam menunjukkan pukul 09.58, saya sedang berbincang di salah satu ruang kantor pemerintah bersama beberapa rekan. Obrolan mengalir, membahas hal-hal teknis, sampai tiba-tiba mereka melirik jam dinding dan berkata pelan, “Sebentar ya.”
Kami semua berdiri, musik mulai mengalun, lalu menguat, lagu Indonesia Raya pun dinyanyikan. Tiga menit itu semua aktivitas berhenti, tidak ada suara printer, tidak ada ketukan keyboard, bahkan ponsel juga diletakkan.
Beberapa hari kemudian, pengalaman serupa terulang kembali, tapi di tempat yang berbeda, yaitu di SPBU Pertamina. Saya baru saja mematikan mesin kendaraan, petugas tiba-tiba menghentikan langkah, tangan yang tadinya sigap memegang nozzle kini terdiam.
Ia berdiri tegak, dan lagu Indonesia Raya kembali terdengar di jam yang sama. Saya ikut berdiri di samping motor, memperhatikan orang-orang di sekitar. Ada yang bernyanyi lantang, ada yang hanya tersenyum tipis, dan ada yang berdiri kaku sambil melirik jam.
Fenomena ini bukan kebetulan, beberapa instansi pemerintah, termasuk BUMN, kini menerapkan kebijakan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap pukul 10 pagi. Tujuannya sederhana, untuk menumbuhkan kembali rasa nasionalisme di tengah masyarakat yang kian sibuk dengan urusan masing-masing.
Dari kacamata kajian budaya, apa yang terlihat sederhana ini sebenarnya adalah ritual nasionalisme, serangkaian tindakan simbolik yang diulang secara terjadwal untuk memperkuat identitas kolektif. Kita mengenalnya dalam bentuk upacara bendera di sekolah, peringatan hari kemerdekaan, atau lagu kebangsaan yang dikumandangkan sebelum pertandingan olahraga.
Benedict Anderson, dalam bukunya Imagined Communities (1983), menyebut bangsa sebagai “komunitas terbayang”, sebuah entitas besar yang anggotanya tidak saling kenal, tapi merasa terhubung melalui simbol, bahasa, dan ritual bersama.
Menyanyikan Indonesia Raya di jam yang sama, di berbagai kota, adalah cara untuk meneguhkan perasaan “kita”. Kita mungkin tidak saling mengenal, tapi di momen itu, kita melakukan hal yang sama, untuk alasan yang sama.
Antara Ritual dan Makna
Pada realitanya, simbol tidak selalu sejalan dengan makna. Clifford Geertz (1973), dalam The Interpretation of Cultures, memandang simbol sebagai pembawa makna yang hanya hidup jika dipahami dan dihayati oleh komunitas yang menggunakannya.
Ritual seperti menyanyikan lagu kebangsaan setiap pukul 10 pagi memiliki fungsi ganda, ia adalah model of reality (cerminan nilai kebangsaan yang kita anut) dan sekaligus model for reality (alat untuk membentuk nilai itu agar terus hidup).
Namun, tanpa keterlibatan kesadaran, simbol itu bisa kehilangan daya hidupnya, yang tersisa hanyalah gerakan tubuh dan lantunan nada, sementara makna yang menyertainya memudar di balik rutinitas.
Di titik inilah muncul pertanyaan, apakah kebiasaan menyanyikan Indonesia Raya setiap pagi benar-benar memperbarui rasa cinta tanah air, ataukah ia perlahan berubah menjadi ritual yang dijalankan tanpa rasa?
Ritual yang terus diulang memang punya kekuatan membentuk identitas kolektif. Ia bisa menanamkan rasa kebersamaan dan membangun kesadaran bahwa kita bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Tetapi, tanpa keterlibatan emosi dan kesadaran makna, ritual itu berisiko berubah menjadi empty ritual (ritual kosong) yang dijalankan semata-mata untuk memenuhi kewajiban administratif. Meski begitu, dalam studi budaya kontemporer ada istilah habitual patriotism, yaitu bentuk patriotisme yang tumbuh dari kebiasaan tubuh.
Berdiri tegak, menatap bendera, dan melafalkan lirik lagu kebangsaan adalah latihan yang, ketika diulang terus-menerus, dapat menanamkan rasa kebangsaan pada tingkat hampir otomatis. Sama halnya seperti gerakan salat lima waktu yang membentuk keterhubungan spiritual, meski tingkat penghayatan setiap orang bisa berbeda-beda.
Ritual pukul 10 pagi bekerja dengan logika serupa. Tubuh dilatih untuk mengingat, bahkan saat pikiran sedang melayang entah ke mana. Dan sering kali, tubuh yang sudah terbiasa akan membantu pikiran untuk kemudian menyusul menghayati. Ada saatnya kita baru benar-benar merasakan makna ketika sudah lama melakukannya.
Dalam konteks ini, formalitas bukanlah musuh makna, ia justru bisa menjadi pintu masuk yang perlahan membawa kita pada penghayatan yang lebih dalam.
Cinta yang Hampir Hilang

Jika kita jujur, rasa nasionalisme memang kerap naik turun. Ia memuncak di momen-momen tertentu, seperti saat menonton pertandingan olahraga internasional atau ketika bencana alam membuat kita saling membantu tanpa memandang perbedaan. Tapi di luar itu, cinta ini sering memudar, tersisih oleh rutinitas hidup dan riuhnya berita politik yang melelahkan.
Ritual seperti menyanyikan Indonesia Raya setiap pagi adalah salah satu cara untuk “menyiram” cinta itu. Apakah cukup? Tentu tidak. Cinta pada bangsa tidak bisa hanya dirawat dengan tiga menit nyanyian, sama seperti hubungan pribadi tidak bisa dipelihara hanya dengan ucapan manis sesekali.
Ia butuh tindakan nyata, kepedulian pada sesama warga, kejujuran dalam bekerja, dan keberanian menjaga nilai-nilai bersama.
Namun, seperti menyiram tanaman, kita tetap perlu memulai dari hal kecil. Menyanyi di pukul 10.00 mungkin hanyalah setetes air, tapi tanpa tetes-tetes itu, tanaman akan kering. Di titik ini, tugas kita sebagai individu adalah memastikan ritual itu tidak sekadar formalitas.
Anthony Giddens (1991) dalam konsep reflexive project of the self menyebut bahwa di dunia modern, tindakan kita hanya bermakna jika disertai kesadaran dan refleksi. Menyanyikan lagu kebangsaan setiap pukul 10.00 sebenarnya bisa menjadi ruang jeda, tiga menit untuk menoleh ke dalam, mengingat siapa kita sebagai bagian dari bangsa, dan apa yang ingin kita wariskan.
Kesadaran ini tidak perlu selalu berupa renungan besar, bahkan mengucap doa singkat untuk negeri pun sudah cukup untuk mengisi ritual dengan makna. Tanpa refleksi, lagu itu hanyalah rangkaian nada yang lewat begitu saja. Dengan refleksi, ia bisa menjadi momen yang mengikat tubuh, hati, dan sejarah dalam satu tarikan napas.
Mungkin, di tengah hidup yang semakin cepat, pukul 10 pagi bisa menjadi pengingat bahwa kita bukan hanya individu yang sibuk mengejar target masing-masing, tapi bagian dari cerita yang lebih besar. Sebuah cerita yang disebut Indonesia.
Dan mungkin, cinta yang hampir hilang itu tidak benar-benar lenyap. Ia hanya butuh diingat, dirawat, dan diperbarui. Bukan hanya lewat kata, tapi juga lewat momen sederhana seperti berdiri sejenak dan menyanyikan lagu yang mengikat kita semua. (*)