3 menit di Pukul 10 Pagi (MERAWAT CINTA YANG HAMPIR HILANG)

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah, M.Hum diterbitkan Senin 11 Agu 2025, 20:01 WIB
Menyanyikan Indonesia Raya di jam yang sama, di berbagai kota, adalah cara untuk meneguhkan perasaan “kita”. (Sumber: Pexels/Deden R)

Menyanyikan Indonesia Raya di jam yang sama, di berbagai kota, adalah cara untuk meneguhkan perasaan “kita”. (Sumber: Pexels/Deden R)

Jam menunjukkan pukul 09.58, saya sedang berbincang di salah satu ruang kantor pemerintah bersama beberapa rekan. Obrolan mengalir, membahas hal-hal teknis, sampai tiba-tiba mereka melirik jam dinding dan berkata pelan, “Sebentar ya.”

Kami semua berdiri, musik mulai mengalun, lalu menguat, lagu Indonesia Raya pun dinyanyikan. Tiga menit itu semua aktivitas berhenti, tidak ada suara printer, tidak ada ketukan keyboard, bahkan ponsel juga diletakkan.

Beberapa hari kemudian, pengalaman serupa terulang kembali, tapi di tempat yang berbeda, yaitu di SPBU Pertamina. Saya baru saja mematikan mesin kendaraan, petugas tiba-tiba menghentikan langkah, tangan yang tadinya sigap memegang nozzle kini terdiam.

Ia berdiri tegak, dan lagu Indonesia Raya kembali terdengar di jam yang sama. Saya ikut berdiri di samping motor, memperhatikan orang-orang di sekitar. Ada yang bernyanyi lantang, ada yang hanya tersenyum tipis, dan ada yang berdiri kaku sambil melirik jam.

Fenomena ini bukan kebetulan, beberapa instansi pemerintah, termasuk BUMN, kini menerapkan kebijakan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap pukul 10 pagi. Tujuannya sederhana, untuk menumbuhkan kembali rasa nasionalisme di tengah masyarakat yang kian sibuk dengan urusan masing-masing.

Dari kacamata kajian budaya, apa yang terlihat sederhana ini sebenarnya adalah ritual nasionalisme, serangkaian tindakan simbolik yang diulang secara terjadwal untuk memperkuat identitas kolektif. Kita mengenalnya dalam bentuk upacara bendera di sekolah, peringatan hari kemerdekaan, atau lagu kebangsaan yang dikumandangkan sebelum pertandingan olahraga.

Benedict Anderson, dalam bukunya Imagined Communities (1983), menyebut bangsa sebagai “komunitas terbayang”, sebuah entitas besar yang anggotanya tidak saling kenal, tapi merasa terhubung melalui simbol, bahasa, dan ritual bersama.

Menyanyikan Indonesia Raya di jam yang sama, di berbagai kota, adalah cara untuk meneguhkan perasaan “kita”. Kita mungkin tidak saling mengenal, tapi di momen itu, kita melakukan hal yang sama, untuk alasan yang sama.

Antara Ritual dan Makna

Pada realitanya, simbol tidak selalu sejalan dengan makna. Clifford Geertz (1973), dalam The Interpretation of Cultures, memandang simbol sebagai pembawa makna yang hanya hidup jika dipahami dan dihayati oleh komunitas yang menggunakannya.

Ritual seperti menyanyikan lagu kebangsaan setiap pukul 10 pagi memiliki fungsi ganda, ia adalah model of reality (cerminan nilai kebangsaan yang kita anut) dan sekaligus model for reality (alat untuk membentuk nilai itu agar terus hidup).

Namun, tanpa keterlibatan kesadaran, simbol itu bisa kehilangan daya hidupnya, yang tersisa hanyalah gerakan tubuh dan lantunan nada, sementara makna yang menyertainya memudar di balik rutinitas.

Di titik inilah muncul pertanyaan, apakah kebiasaan menyanyikan Indonesia Raya setiap pagi benar-benar memperbarui rasa cinta tanah air, ataukah ia perlahan berubah menjadi ritual yang dijalankan tanpa rasa?

Ritual yang terus diulang memang punya kekuatan membentuk identitas kolektif. Ia bisa menanamkan rasa kebersamaan dan membangun kesadaran bahwa kita bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Tetapi, tanpa keterlibatan emosi dan kesadaran makna, ritual itu berisiko berubah menjadi empty ritual (ritual kosong) yang dijalankan semata-mata untuk memenuhi kewajiban administratif. Meski begitu, dalam studi budaya kontemporer ada istilah habitual patriotism, yaitu bentuk patriotisme yang tumbuh dari kebiasaan tubuh.

Berdiri tegak, menatap bendera, dan melafalkan lirik lagu kebangsaan adalah latihan yang, ketika diulang terus-menerus, dapat menanamkan rasa kebangsaan pada tingkat hampir otomatis. Sama halnya seperti gerakan salat lima waktu yang membentuk keterhubungan spiritual, meski tingkat penghayatan setiap orang bisa berbeda-beda.

Ritual pukul 10 pagi bekerja dengan logika serupa. Tubuh dilatih untuk mengingat, bahkan saat pikiran sedang melayang entah ke mana. Dan sering kali, tubuh yang sudah terbiasa akan membantu pikiran untuk kemudian menyusul menghayati. Ada saatnya kita baru benar-benar merasakan makna ketika sudah lama melakukannya.

Dalam konteks ini, formalitas bukanlah musuh makna, ia justru bisa menjadi pintu masuk yang perlahan membawa kita pada penghayatan yang lebih dalam.

Cinta yang Hampir Hilang

Bendera Merah Putih. (Sumber: Pexels/bima)
Bendera Merah Putih. (Sumber: Pexels/bima)

Jika kita jujur, rasa nasionalisme memang kerap naik turun. Ia memuncak di momen-momen tertentu, seperti saat menonton pertandingan olahraga internasional atau ketika bencana alam membuat kita saling membantu tanpa memandang perbedaan. Tapi di luar itu, cinta ini sering memudar, tersisih oleh rutinitas hidup dan riuhnya berita politik yang melelahkan.

Ritual seperti menyanyikan Indonesia Raya setiap pagi adalah salah satu cara untuk “menyiram” cinta itu. Apakah cukup? Tentu tidak. Cinta pada bangsa tidak bisa hanya dirawat dengan tiga menit nyanyian, sama seperti hubungan pribadi tidak bisa dipelihara hanya dengan ucapan manis sesekali.

Ia butuh tindakan nyata, kepedulian pada sesama warga, kejujuran dalam bekerja, dan keberanian menjaga nilai-nilai bersama.

Namun, seperti menyiram tanaman, kita tetap perlu memulai dari hal kecil. Menyanyi di pukul 10.00 mungkin hanyalah setetes air, tapi tanpa tetes-tetes itu, tanaman akan kering. Di titik ini, tugas kita sebagai individu adalah memastikan ritual itu tidak sekadar formalitas.

Anthony Giddens (1991) dalam konsep reflexive project of the self menyebut bahwa di dunia modern, tindakan kita hanya bermakna jika disertai kesadaran dan refleksi. Menyanyikan lagu kebangsaan setiap pukul 10.00 sebenarnya bisa menjadi ruang jeda, tiga menit untuk menoleh ke dalam, mengingat siapa kita sebagai bagian dari bangsa, dan apa yang ingin kita wariskan.

Kesadaran ini tidak perlu selalu berupa renungan besar, bahkan mengucap doa singkat untuk negeri pun sudah cukup untuk mengisi ritual dengan makna. Tanpa refleksi, lagu itu hanyalah rangkaian nada yang lewat begitu saja. Dengan refleksi, ia bisa menjadi momen yang mengikat tubuh, hati, dan sejarah dalam satu tarikan napas.

Mungkin, di tengah hidup yang semakin cepat, pukul 10 pagi bisa menjadi pengingat bahwa kita bukan hanya individu yang sibuk mengejar target masing-masing, tapi bagian dari cerita yang lebih besar. Sebuah cerita yang disebut Indonesia.

Dan mungkin, cinta yang hampir hilang itu tidak benar-benar lenyap. Ia hanya butuh diingat, dirawat, dan diperbarui. Bukan hanya lewat kata, tapi juga lewat momen sederhana seperti berdiri sejenak dan menyanyikan lagu yang mengikat kita semua. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 11 Agu 2025, 20:05 WIB

Ketika Cita Rasa Timur jadi Identitas Bisnis, Perjalanan Tuturuga Menemukan Rumah di Bandung

Erick tak pernah menyangka bahwa sebuah bumbu kuno dari Manado akan menjadi jembatan antara tradisi dan selera modern di tengah kota Bandung.
Erick tak pernah menyangka bahwa sebuah bumbu kuno dari Manado akan menjadi jembatan antara tradisi dan selera modern di tengah kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 11 Agu 2025, 20:01 WIB

3 menit di Pukul 10 Pagi (MERAWAT CINTA YANG HAMPIR HILANG)

Menyanyikan Indonesia Raya di jam yang sama, di berbagai kota, adalah cara untuk meneguhkan perasaan “kita”.
Menyanyikan Indonesia Raya di jam yang sama, di berbagai kota, adalah cara untuk meneguhkan perasaan “kita”. (Sumber: Pexels/Deden R)
Ayo Biz 11 Agu 2025, 17:19 WIB

Cerita Evolusi Seliz, dari Toko Kecil ke Pusat Grosir Modern

Dari sebuah toko kecil yang berdiri di Jalan Cibadak pada 1968, Seliz kini menjelma menjadi swalayan grosir modern yang melayani ribuan reseller dari berbagai kota.
Dari sebuah toko kecil yang berdiri di Jalan Cibadak pada 1968, Seliz kini menjelma menjadi swalayan grosir modern yang melayani ribuan reseller dari berbagai kota. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 11 Agu 2025, 16:30 WIB

Sejarah Panjat Pinang, Tontonan Belanda Zaman Kolonial yang Berasal dari Tiongkok Selatan

Dari festival hantu di Tiongkok, panjat pinang tiba di Hindia Belanda dan kini jadi lagenda rutin dalam omba 17 Agustus kemerdekaan Indonesia.
Panjat pinang di Makassar tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 11 Agu 2025, 15:11 WIB

Rasman dan Misi Hunian Produktif, dari Strategi ke Realisasi

Rasman memulai Lengkong Mansion dengan visi kuat sejak lama, yakni hunian yang bukan hanya nyaman, tapi mendukung produktivitas dan gaya hidup generasi muda.
Rasman memulai Lengkong Mansion dengan visi kuat sejak lama, yakni hunian yang bukan hanya nyaman, tapi mendukung produktivitas dan gaya hidup generasi muda. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 11 Agu 2025, 14:03 WIB

Serum Jadi Rahasia Wajah Tampak Muda dan Cerah

Serum menjadi skincare yang sering digunakan saat ini. Produk ini merupakan skincare dengan konsentrasi bahan aktif tinggi.
Ilustrasi Serum Pencerah Wajah dari Wardah (Foto: Dok. Wardah)
Ayo Netizen 11 Agu 2025, 13:42 WIB

Era Digital Menjelma Apokaliptik

Perubahan zaman tidak dapat dihindari yang memunculkan karakter baru sebagai apokaliptik.
Kemajuan ilmu dan teknologi tidak berbanding lurus dengan ruang gerak masyarakat lapisan bawah. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)
Ayo Biz 11 Agu 2025, 12:41 WIB

Kisah Imas, Memulai Bisnis dari Puding Sekolah hingga Jadi 100 Varian Kuliner

Memulai usaha dari sesuatu yang sederhana ternyata bisa mendatangkan cuan. Hal ini dibuktikan oleh Imas Nurhasanah, pemilik Dapoer Inoer di Banjaran, Kabupaten Bandung.
Imas Nurhasanah, Owner Dapur Inoer (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Biz 11 Agu 2025, 11:54 WIB

Toko Icasia, dari Hobi Jadi Bisnis Pernak-Pernik Cantik

Kecintaan Haezqia Rumondang terhadap manik-manik dan perlengkapan jurnaling menjadi awal dari lahirnya ide bisnis Icasia. Sejak kecil, ia gemar membuat karya-karya kreatif, hingga akhirnya mencoba men
Toko Icasia milik Haezqia Rumondang (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Netizen 11 Agu 2025, 11:51 WIB

Di Persimpangan Teknologi dan Iman, Masihkah Kita Mengenali Arah Pulang?

Teknologi modern harus diarahkan sesuai nilai Islam, dengan maqasid syariah sebagai kompas etis.
Teknologi modern harus diarahkan sesuai nilai Islam, dengan maqasid syariah sebagai kompas etis. (Sumber: Unsplash/Masjid Pogung Dalangan)
Ayo Netizen 11 Agu 2025, 09:49 WIB

Dunia Influencer Indonesia: Saat Memeras Demi Citra Jadi Biasa

Ada apa dengan para komunikasi publik digital Indonesia kekinian?
Di tengah derasnya arus opini digital, satu narasi negatif bisa meruntuhkan kepercayaan publik dalam hitungan jam di media sosial. (Sumber: Unsplash/Prateek Katyal)
Beranda 11 Agu 2025, 08:44 WIB

Jejak Dua Seniman Eks Tahanan Politik Tersembunyi Puluhan Tahun di Hutan Maribaya

Lebih aneh lagi, keduanya ditemukan jauh di dalam hutan belantara yang sepi, seolah sengaja disembunyikan.
Pengunjung berfoto di relief adu domba jantan di Maribaya, sebelah timur Lembang tahun 1971. (Sumber: collectie.wereldculturen)
Ayo Netizen 11 Agu 2025, 08:22 WIB

Menuai Cerita Mappanre Temme Saat Mengungjungi Omah Jangan Diam Terus

Mappanre Temme sendiri merupakan tradisi dari suku Bugis yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dari aktivitas spiritual.
Acara Pembukaan Mappanre Temme (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 10 Agu 2025, 20:08 WIB

Berziarah ke Kampung Adat Mahmud: Karomah ‘Sekepal Tanah’ dari Tanah Suci Mekah

Kampung Mahmud sendiri dikenal sebagai kampung adat yang kental dengan nuansa Islami dan tradisi leluhur.
Rombongan peziarah ke Makam Mahmud. Situs ini terletak di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dudung Ridwan)
Ayo Jelajah 10 Agu 2025, 19:11 WIB

Sejarah Jaarbeurs, Cerita di Balik Kemeriahan Pameran Dagang Bandung Tempo Doeloe

Jaarbeurs Bandung, pasar malam tahunan era kolonial, jadi batu loncatan Basoeki Abdullah ke panggung seni Eropa.
Suasana Gedung Jaarbeurs, salah satu pusat keramaian Bandung tempo doeloe (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 10 Agu 2025, 16:45 WIB

Tren Sosmed, Membuka Aib Tanpa Diminta

Banyak yang fomo dengan tren S-Line tanpa tahu makna apa yang tersirat di dalamnya.
Poster film S-Line. (Sumber: Dok. IMDB)
Ayo Netizen 10 Agu 2025, 14:48 WIB

Merenungi Perubahan Iklim lewat Senja di Bandung Utara

Bagi kita, senja yang merah kelabu mungkin terasa syahdu. Tapi, di balik syahdu itu, tersimpan racun.
Salah satu sudut kawasan Bandung Utara. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Jelajah 10 Agu 2025, 11:10 WIB

Parlemen Pasundan dan Sejarah Gagalnya Siasat Federalisme Belanda di Tanah Sunda

Negara Pasundan lahir dari proyek federal Belanda, namun dibubarkan sendiri oleh tokoh Sunda demi kembalinya Jawa Barat ke NKRI.
Sidang Pertama Parlemen Pasundan.
Ayo Netizen 10 Agu 2025, 08:36 WIB

Gunung Maninjau Meletus Dahsyat 70.000 tahun yang lalu

Wisatawan yang akan ke Danau Maninjau, sudah lazim untuk singgah dan beristirahat di Bukittinggi.
Gambar Ngarai Sianok dalam lembaran uang Rp1.000,00. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T Bachtiar)
Ayo Biz 09 Agu 2025, 21:59 WIB

Cerita Ridwan, Mengubah Camilan Tradisional Jadi Makanan Kekinian

Muhammad Ridwan, warga Ciparay, Kabupaten Bandung, punya cara kreatif mengangkat camilan khas daerahnya. Setelah mengamati tren jajanan di pasaran, ia memilih mengembangkan keripik berbahan dasar sing
Muhammad Ridwan menunjukkan produk buatannya. (Foto: Dok. Ayobandung.com)