Ditulis oleh Djoko Subinarto
AYOBANDUNG.ID – Sabtu (26/4/2025) siang, saya tengah melaju dengan sepeda gunung dari arah Puncak Pas menuju Padalarang, Jawa Barat. Perjalanan saya sedikit tersendat saat memasuki Cipanas. Di depan Pasar Cipanas, di sisi utara, sebuah angkot kuning berhenti untuk menurunkan penumpang.
Namun, usai penumpang turun, angkot itu memilih tetap berhenti. Sang supir tampaknya berharap ada penumpang yang bakal naik. Di belakang angkot, sebuah truk Fuso membunyikan klakson meminta jalan. Angkot kuning itu kemudian bergeser ke kiri sedikit untuk memberinya jalan.
Sementara itu, di sisi selatan, persis di depan Bangunan Pasar Cipanas, beberapa angkot kuning lainnya berjejer. Di masing-masing punggung angkot itu tertera rute dari masing-masing angkot, sehingga membantu calon penumpang memastikan dengan tepat rute yang harus diambil.
Di sisi selatan Pasar Cipanas, yang bertingkat itu, saya melihat tak ada trotoar. Warga terpaksa berjalan di bahu jalan, berebut dengan kendaraan yang hilir mudik.
Adapun di sisi utara terlihat ada trotoar. Namun, tidak benar-benar steril. Sebagian di antaranya diokupasi oleh para pedagang, membuat pejalan kaki kurang leluasa berjalan di atasnya.
Di bagian atas bangunan Pasar Cipanas tampak membentang beberapa poster iklan dan spanduk. Salah satu tulisan yang tertera di salah satu spanduk berbunyi: "Pasar Rakyat Cipanas Ber-SNI 2020 Hadir di GrabMart".
Baca Juga: Nilai Penting Pembakuan Eksonim Negara
Istana Cipanas yang terawat

Saya lajukan sepeda perlahan menuju ke arah timur. Lepas dari Pasar Cipanas, saya melihat sebuah plang. Tertulis di plang itu: “Istana Cipanas”. Saya berhenti beberapa meter sebelum plang tersebut.
Dari atas trotoar yang mulus, pandangan saya arahkan ke arah istana. Berbeda dengan Pasar Cipanas, Istana Cipanas tampak kinclong, jauh lebih terawat, dan seolah menjadi penanda status sosial yang berbeda di antara keduanya. Tidak ada spanduk atau poster yang terbentang atau menempel di sekeliling istana.
Saya berdiri di atas trotoar, mengamati kompleks istana. Pagar besi berwarna hitam yang terlihat kokoh mengelilingi istana. Saya langsung teringat pada lagu The Beatles, A Day in the Life, yang mengajak kita untuk merefleksikan kehidupan sehari-hari dengan segala kontradiksi yang ada.
Bait-bait lagu karya Lennon-MCCartney itu membuat saya sadar bahwa kehidupan kita sering kali terpisah oleh garis-garis status sosial yang tampak jelas. Istana dengan kebersihan dan ketertibannya dan pasar dengan keramaian dan keriuhannya.
Saya lantas menyeberangi jalan raya untuk melihat lebih dekat Istana Cipanas. Namun, tak mungkin masuk ke halaman istana karena untuk bisa melakukan hal tersebut, saya memerlukan izin khusus. Saya hanya bisa berdiri dari balik pagar.
Saya keluarkan ponsel. Saya julurkan tangan ke balik pagar untuk mengambil beberapa gambar Istana Cipanas – lengkap dengan air mancur yang sedang menyala di depannya.
Baca Juga: Bicara tentang Disrupsi AI, Ayobandung.id Rangkul Mahasiswa Unpad Menulis Otentik
Perut tiba-tiba menjerit

Beres mengambil gambar, saya lanjutkan perjalanan. Sekitar beberapa ratus meter ke arah timur dari istana, saya melihat sejumlah kedai makan dan restoran mewah berjejer. Mobil-mobil mengkilap berplat luar kota parkir berderet-deret di salah satu restoran yang halamannya cukup luas. Dua petugas parkir berseragam terlihat sibuk mengatur kedatangan dan kepulangan tamu restoran. Cipanas memang menjadi tujuan wisata, terutama bagi mereka yang datang dari Jakarta, yang ingin menikmati suasana pegunungan dan udara segar sembari menikmati aneka suguhan kuliner.
Melintas di depan restoran itu, perut saya langsung menjerit. Waktu makan siang memang sudah tiba. Saya memeriksa tas pinggang, hanya ada satu lembaran Rp 50.000. Di saku celana, saya menemukan Rp16.000. Cukup sih untuk makan siang, namun tentu tidak di restoran mewah dengan menu berlimpah, yang siap menggoyang lidah.
Maka, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga menuju Kota Cianjur ketimbang berhenti makan siang di Cipanas. Sambil melaju melahap turunan, saya merenung ihwal nilai-nilai yang saya lihat sepanjang perjalanan siang itu. Pasar Cipanas dengan kehidupan yang sibuk dan dinamis, dan Istana Cipanas yang tenang dan terawat. Keduanya adalah gambaran nyata dari dualitas sosial yang berjauhan.
Di lorong-lorong pasar, hidup adalah soal bertahan, sementara di lingkungan istana, hidup boleh jadi hanya soal memilih ihwal kenyamanan seperti apa yang hendak direngkuh. Saya menyadari bahwa gelinding roda kehidupan seringkali membawa kita ke tempat-tempat yang memperlihatkan betapa timpangnya nasib manusia, betapa tak adil peta rezeki digoreskan di atas tanah yang sama. Ada yang berjuang dengan segenap tenaga demi secuil harapan, ada pula yang mengarungi hari-hari dengan limpahan yang bahkan tak sempat mereka syukuri.
Namun, saya juga sadar bahwa setiap gelinding roda kehidupan bakal membawa kita pada pemahaman baru. Maka, saya pun teringat pada lirik lagu Imagine dari John Lennon, yang mengajak kita untuk senantiasa membayangkan dunia yang lebih damai dan lebih sederhana, di mana tidak ada batasan yang membedakan kita semua.
Baca Juga: Ledakan Amunisi di Garut dan Sistem Logistik Militer
Dunia ini penuh kontras

Saya percaya bahwa kehidupan ini memiliki nilai yang sama bagi setiap orang. Baik mereka yang hidup di lingkungan pasar maupun di lingkungan istana, semua pada dasarnya berusaha mencari tempat yang nyaman dan aman untuk melakoni hidup.
Dan pemikiran itu kembali terlintas ketika saya akhirnya singgah di sebuah warung nasi sederhana di kawasan Rawabango, Cianjur – sebelum meneruskan perjalanan ke Padalarang. Di sana, saya menikmati makan siang yang sederhana namun sarat makna. Bagi saya, warung nasi di Rawabango itu bukan sekadar tempat makan, melainkan juga pengingat bahwa hidup kerap menawarkan pilihan-pilihan yang sederhana namun berarti. Sambil duduk menikmati nasi putih hangat, oseng kacang panjang, dan telur dadar, saya merasakan kehangatan lain yakni rasa syukur atas perjalanan hari itu.
Perjalanan bersepeda dari Puncak Pas menuju Padalarang siang itu agaknya bukan hanya menyangkut perjalanan fisik, tetapi juga menyangkut soal refleksi sosial dan ekonomi.
Dari momen melintas sekejap antara Pasar Cipanas yang sibuk hingga Istana Cipanas yang megah serta asri, saya melihat bahwa dunia ini selalu penuh kontras. Namun, seperti dalam bait-bait lagu Hey Jude dari The Beatles, toh kita harus senantiasa belajar untuk menghadapi dunia yang penuh kontras ini dengan hati yang selalu terbuka dan menerima kenyataan dengan penuh pengertian.
Setiap tempat, setiap orang, memiliki peran dan cerita mereka sendiri-sendiri. Dan kita hanya perlu menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari kehidupan yang terus berjalan, yang perlu dilakoni, dinikmati serta disyukuri. (*)