AYOBANDUNG.ID -- Di tengah arus globalisasi, ada satu nama tetap setia menjaga warisan leluhur, yaitu Toto Hadiyanto. Lelaki berusia 60 tahun asal Mandalajati, Bandung Timur ini, telah lebih dari tiga dekade mengabdikan hidupnya sebagai pengrajin wayang golek.
Wayang golek yang menjadi ikon budaya Sunda, memang kian terpinggirkan oleh gempuran konten digital dan karakter fiksi dari luar negeri. Namun, bagi Toto, ukiran kayu yang membentuk karakter waang bukan sekadar pekerjaan, melainkan bentuk kecintaan dan perlawanan halus terhadap lunturnya budaya lokal.
“Dulu saya belajar sendiri, cuma dari hobi. Karena sulit cari kerja, akhirnya saya tekuni membuat wayang,” ujarnya saat ditemui di rumah produksi sekaligus tempat tinggalnyadi Karang Pamulang, Mandalajati, Kota Bandung.
Setiap hari, Toto memahat kayu untuk menciptakan tokoh-tokoh klasik seperti Pandawa Lima dan Panakawan. Karakter Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng yang merupakan bagian dari Panakawan, menjadi favorit para pembeli karena nilai filosofis dan ekspresi jenakanya.
Produksi dilakukan secara mandiri bersama sang istri, yang bertugas menjahit pakaian untuk wayang-wayang golek tersebut. Toto dan istri melayani berbagai pesanan, dari koleksi galeri, cinderamata, hingga gantungan kunci.

Harga pun bervariasi, mulai dari Rp30.000 untuk ukuran kecil hingga Rp300.000 untuk wayang berukuran 50 cm. "Dalam seminggu bisa jadi sekitar 30 sampai 40 wayang. Tapi tergantung pesanan juga, kadang sepi,” tutur Toto.
Saat ini, karyanya telah menjangkau berbagai kota seperti Karawang, Banten, dan bahkan hingga ke luar pulau Jawa. Meski demikian, ada tantangan besar yang harus dihadapi Toto, yaitu minimnya regenerasi pengrajin.
“Anak saya sudah mulai ikut membuat wayang. Tapi umumnya, anak muda sulit bertahan. Membentuk karakter itu tidak mudah. Banyak yang menyerah sebelum bisa,” ungkapnya.
Toto berharap ada lebih banyak generasi muda yang mau belajar menggeluti kerajinan ini. Baginya, mempertahankan tradisi bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya konkret menjaga identitas budaya di tengah dunia yang terus berubah.