AYOBANDUNG.ID - Deru mesin-mesin baja itu terdengar duluan sebelum wujudnya kelihatan di tikungan. Pagi 9 Desember 1945, dari arah Cicurug, suara tank Stuart, panser, dan brencarrier bercampur derap roda truk boks yang sarat pasukan Inggris. Jalan raya Sukabumi–Cianjur yang biasanya cuma dilewati pedati dan sepeda onthel kini jadi panggung iring-iringan militer pemenang Perang Dunia II. Mereka tak tahu, di sebuah desa bernama Bojongkokosan, jalur ini sudah berubah jadi lorong maut.
Bojongkokosan, desa kecil di Kecamatan Parungkuda, Sukabumi, sudah siap menyambut. Bukan dengan kalungan bunga atau jamuan sarapan kupat sayur, tapi dengan suara letusan senapan dan ledakan granat. Jalan di sini seperti botol leher sempit: aspalnya hanya cukup untuk dua truk berpapasan, diapit tebing tanah merah di kiri-kanan yang ditumbuhi pohon kelapa dan rumpun bambu. Siapa pun yang masuk terlalu dalam ke leher botol ini akan sulit keluar kalau ada yang menutup kedua ujungnya.
Dalam Palagan Bojongkokosan, Heroisme di Sukabumi yang Menyulut Lautan Api di Bandung terbitan Kementerian Kebudayaan, disebutkan bahwa Mayor Yahya B. Rangkuti, komandan Batalyon I TKR, menempatkan pasukannya di titik ini. Tiga batalyon lain — di bawah Mayor Harry Soekardi, Kapten Anwar, dan Mayor Abdulrachman — tersebar di titik-titik sepanjang 80-an kilometer jalur menuju Cianjur.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Gedung Sate, 4 Jam Jahanam di Jantung Bandung
Penduduk kampung sudah diberi tahu untuk mengungsi sebelum fajar. Beberapa orang tua tetap bertahan, bersembunyi di balik dinding bambu atau di kebun singkong, menyaksikan dari jauh. “Kami dengar deru mesin-mesin besar dari arah Cicurug. Tanah bergetar,” kenang seorang warga.
Begitu kepala konvoi masuk ke “lorong maut” itu, rentetan tembakan memecah pagi. Ledakan granat menghantam tank Stuart, asap hitam membubung. Ekor konvoi yang masih di Cicurug dihajar gelombang serangan kedua. “Tiga tank berhasil dilumpuhkan, beberapa truk hangus, dan puluhan tentara Inggris tewas,” begitu catatan para pejuang.
TKR memanfaatkan medan: tebing jadi perlindungan, pohon kelapa dan bambu rimbun menutupi posisi penembak. Serangan singkat, lalu mundur ke kampung atau hutan. Teknik hit and run ini membuat lawan frustrasi.
Pasukan Sekutu panik. Mereka membalas tembakan ke arah suara, bukan ke arah sasaran pasti. Beberapa peluru menghantam rumah penduduk, sebagian terbakar. Bagi warga yang bertahan, siang itu adalah neraka.
Keesokan paginya, 10 Desember 1945, Sekutu mengerahkan Royal Air Force. Mulai pagi hingga pukul empat sore, pesawat tempur mengebom Cibadak dan desa-desa sekitar. Kompa dan Cibadak nyaris rata dengan tanah. “Serangan udara paling dahsyat di Pulau Jawa,” kenang para saksi. Namun, bukannya membuat gentar, pemboman ini justru membuat perlawanan kian sengit.
Batalyon II di bawah Mayor Harry Soekardi menyerang dari Cibadak menuju Sukabumi barat. Batalyon III pimpinan Kapten Anwar berjaga di Gekbrong hingga Ciranjang, dan Batalyon IV di bawah Mayor Abdulrachman menutup jalur Sukabumi timur.
Pada 11 Desember, Markas Sekutu di Cimahi mengirim bala bantuan: Batalyon 3/3 Gurkha Rifles. Pasukan Nepal ini terkenal ulet, tapi kali ini perjalanan mereka tidak mulus. Di sepanjang jalur Cianjur, Batalyon III TKR menyergap mereka berulang kali. Malam baru jatuh ketika mereka bisa mencapai Sukabumi. Di sana, Mayor Rawin Singh memohon agar perjalanan menuju Bandung tidak lagi diganggu. Permohonan ini menunjukkan bahwa, setidaknya kali ini, Sekutu tidak punya banyak pilihan.

Berita ini sampai ke London. Di Parlemen Inggris, suara-suara kritis mulai terdengar. Keluarga tentara dan pers internasional mengecam. Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) akhirnya mengakui bahwa mereka tak sanggup menyelesaikan misi tanpa bantuan pihak Republik. Urusan pemulangan tawanan perang pun resmi diserahkan kepada TKR. Ini bukan sekadar pergantian tugas — secara diplomatik, ini adalah pengakuan de facto atas eksistensi Republik Indonesia.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Rawayan 1946, Gugurnya 43 Pemuda saat Bandung Terbelah Dua
Perang Konvoi Kedua, Sekutu Kembali Dibombardir
Kemenangan itu membuat Belanda — lewat NICA — semakin gerah. Mereka membujuk AFNEI memindahkan pusat kekuatan militer ke Bandung. Kota ini memang sejak lama disiapkan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Logikanya sederhana: kuasai Bandung, kuasai Jawa Barat, lalu kuasai Indonesia.
Pada 10 Maret 1946, Sekutu kembali mengerahkan konvoi lewat jalur Sukabumi. Kali ini mereka membawa Batalyon Patiala, pasukan India sewaan. Mereka mungkin mengira jalur ini sudah aman. Dugaan itu terbukti keliru.
Batalyon II Resimen III TKR — yang sejak Januari sudah berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat — menghantam konvoi di Cipelang. Ekor konvoi dihajar Batalyon I. Begitu memasuki Sukabumi, Batalyon IV memberi sambutan serupa. Serangan dilakukan dalam gelombang-gelombang cepat. “Kirikumi” — taktik serang-hilang — diterapkan hingga membuat lawan sulit mengatur formasi.
Pada malam 11 Maret, gabungan Batalyon I, II, dan IV mengurung pasukan Patiala di tengah kota Sukabumi. Warga kota yang bersembunyi di rumah bisa mendengar dentuman granat bercampur suara komando dalam bahasa asing. Beberapa laskar rakyat membantu membawa amunisi lewat gang-gang sempit.
Sekutu lalu mengirim bantuan dari Bogor: tank Squadron 13 Lancer dan pasukan Grenadier. Tapi di Cikukulu, bantuan ini justru jadi sasaran TKR. Dari Bandung, dikirim pula pasukan Rajputana Rifles. Di Cianjur, mereka diadang Batalyon III, lalu kembali diganggu di Sukabumi.
Situasi ini memaksa Sekutu mengerahkan kekuatan besar. Pada 13 Maret, Brigade I di bawah Brigadier N.D. Wingrove bergerak dari Bandung. Rombongan 400 kendaraan ini membawa artileri berat dan 2.500 personel Inggris serta India. Tapi di jembatan Cisokan, Batalyon IV sudah menunggu.
Baru pada pukul 20.00 malam hari, empat kesatuan Sekutu berhasil berkumpul di Sukabumi. Tapi kirikumi kembali menghantam mereka. Dini hari 14 Maret, mereka mulai bergerak lagi ke Bandung, terus diganggu penembak jitu TKR di sepanjang jalan.
Baca Juga: Pemberontakan APRA Westerling di Bandung, Kudeta yang Percepat Keruntuhan RIS
Empat hari empat malam jalur Sukabumi–Cianjur kembali jadi neraka bagi Sekutu. Pasukan pemenang Perang Dunia II ini, lengkap dengan tank dan dukungan RAF, dibuat kalang kabut oleh tentara republik yang hanya bersenjatakan senapan dan granat seadanya.
Ketika kekuatan Sekutu dan Belanda akhirnya terkonsentrasi di Bandung, bara perlawanan itu meledak jadi Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946. Api itu punya sumber jelas: Bojongkokosan, dan perang konvoi dua gelombang yang membuktikan, bagi republik yang baru lahir, jalan ke Bandung tak pernah gratis bagi penjajah.