BAYANGKAN tinggal di Bandung di mana semua kebutuhan sehari-hari bisa dijangkau dalam rentang 15 menit. Perjalananan ke kantor cukup 15 menit. Begitu juga ke sekolah, ke pasar, ke klinik kesehatan, dan ke fasilitas lainnya. Mungkinkah?
Faktanya, kiwari, warga Bandung kerap terjebak macet puluhan menit. Bahkan, ada kalanya berjam-jam. Sekadar menempuh jarak 10 kilometer saja bisa menghabiskan hampir lebih dari 30-40 menit.
Menurut catatan TomTom Traffic Index 2024, Bandung dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia, mengalahkan kota besar lainnya seperti Jakarta dan Surabaya. Warga Bandung diperkirakan kehilangan sekitar 108 jam per tahun gara-gara macet.
Nah, andai semua kebutuhan sehari-hari warga Bandung bisa dijangkau dalam waktu 15 menit, maka itu berarti bisa mengembalikan waktu 108 jam yang hilang buntut dari macet selama ini.
Waktu yang biasanya dihabiskan di jalan kemudian bisa dipakai untuk hal yang lebih berharga, lebih bermanfaat. Misalnya, ngobrol sambil minum teh di teras rumah, atau berkumpul dengan keluarga maupun mengerjakan hal-hal produktif lainnya.
Ketika jarak dan waktu tak lagi jadi masalah, maka pilihan kegiatan berkualitas pun otomatis menjadi lebih banyak. Ini tentu saja menciptakan suasana kota yang lebih manusiawi dan lebih bersahabat.
Kota 15 menit
Carlos Moreno, profesor dari Universitas Sorbonne, Prancis, pernah menggagas konsep kota 15 menit. Konsep ini Ia menekankan bahwa kota harus dirancang agar kebutuhan dasar -- rumah, kerja, pendidikan, belanja, rekreasi, dan layanan kesehatan -- bisa dijangkau dalam radius dekat.
Gagasan Moreno tersebut bukan hanya soal efisiensi, tapi soal meningkatkan kualitas hidup. Bandung bisa mengupayakan menerapkan gagasan ini untuk mendekatkan warganya satu sama lain.
Dalam kacamata Moreno, desain kota harus mengutamakan kedekatan fungsional, bukan hanya mempermudah mobilitas. Apabila semua aktivitas harian tersedia di sekitar rumah, warga bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk hal-hal penting: keluarga, komunitas, dan kreativitas bersama.
Jika konsep kota 15 menit mampu diaplikasikan di Kota Bandung, maka ini pasti bakal mengubah wajah Bandung secara mendasar.
Sejumlah sumber menyebut, saat ini jumlah kendaraan pribadi di Bandung hampir menyamai jumlah penduduk, sekitar 2,5 juta kendaraan. Kondisi ini menjadikan Bandung macet luar biasa, hampir saban hari. Dengan mengupayakan desain kota yang mendukung Bandung 15 menit, diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi secara drastis.
Kota untuk manusia
Keberadaan kota sendiri bukan untuk kendaraan, melainkan untuk manusianya. Bandung 15 menit, jika berhasil diwujudkan, bisa men jadi contoh kota yang memberikan ruang kepada warganya, bukan semata mengakomodasi kendaraan.
Jika fasilitas umum tersebar merata, warga bisa berjalan kaki atau cukup naik sepeda ke kantor, sekolah, atau pasar. Suasana kota pasti terasa lebih ramah.
Seperti disinggung di muka, waktu perjalanan yang singkat berarti lebih banyak waktu untuk keluarga. Contohnya, ibu bisa menemani anak sarapan tanpa diburu-buru tenggat waktu, bapak bisa pulang lebih awal untuk ngobrol di teras. Artinya, Bandung 15 menit membantu menyuburkan ikatan emosional keluarga.
Anak-anak bisa lebih sering bermain bersama orang tua mereka, bukan hanya berlama-lama di jalan karena macet. Jadi, ikatan antara orang tua dan anak bisa tumbuh tanpa tergesa. Suasana rumah pun mejadi kian hangat dan penuh cerita.
Pada gilirannya, hubungan keluarga yang harmonis bisa tumbuh karena anggota keluarga tidak lelah dan stres terjebak macet di jalan. Saat energi tidak terkuras karena macet, kualitas interaksi jadi lebih tinggi. Pembicaraan ringan, cerita harian, atau sekadar mendengarkan satu sama lain bisa lebih sering terjadi. Ini membentuk fondasi sosial yang kuat di level keluarga.
Koneksi antartetangga

Komunitas lokal pun bisa lebih aktif. Orang-orang punya waktu untuk ikut arisan, ronda, kegiatan RW, atau sekadar ngobrol di petang hari. Koneksi antar tetangga bisa semakin hidup. Ketika setiap sudut lingkungan terasa dekat, partisipasi sosial tumbuh organik.
Warga mungkin pula bisa lebih sering melakukan kegiatan bersama: olahraga pagi, gotong royong, atau diskusi ringan di warung. Semua bisa dicapai tanpa dibelenggu stres macet. Interaksi antar warga jadi lebih intens dan berarti.
Percakapan kecil di warung kopi dekat rumah bisa jadi lebih hangat, karena orang semangat mampir daripada buru-buru pulang. Momen semacam itulah yang turut membangun solidaritas sosial.
Ketika waktu perjalanan pendek, ada ruang untuk berhenti, menyapa, dan merekatkan hati dan jiwa. Bandung humanis dapat dimulai dari hal-hal sederhana seperti itu.
Solidaritas sosial bisa tumbuh lebih kuat, lantaran kita bertemu lebih sering dan tanpa dirundung kepenatan. Kesadaran berbagi dan tenggang rasa pun diharapkan meningkat. Kota jadi lebih enak ditinggali, karena antar warga lebih saling mengenal dan peduli.
Kota yang lebih sehat
Bandung 15 menit juga berarti kota yang lebih sehat untuk warganya. Ketika fasilitas kebugaran, taman, dan pusat kesehatan tersedia dekat rumah, warga terdorong untuk bergerak. Jalan-jalan santai atau olahraga sore bisa menjadi aktifitas reguler. Ini membantu menciptakan masyarakat yang lebih bugar dan hidup lebih berkualitas.
Kalau fasilitas olahraga dan ruang hijau mudah dicapai, lebih banyak warga akan memilih berjalan kaki atau bersepeda. Tidak ada alasan malas karena semua dekat. Kesehatan fisik dan mental pun terjaga. Lingkungan kota juga menjadi lebih segar dan nyaman.
Bandung 15 menit bakal pula memberi kesempatan bagi lansia dan anak-anak untuk keluar rumah dengan aman. Warga yang lebih rentan mendapat akses mudah ke taman, klinik, dengan mudah, aman, dan cepat. Rasa aman ini tumbuh dari keterjangkauan fasilitas. Ujungnya, Bandung menjadi kota yang inklusif dan memperhatikan semua lapisan warga.
The Beatles pernah menyanyikan lagu bertema cinta bertajuk All you need is love. Dalam konteks kota 15 menit, cinta bisa hadir bukan hanya di lingkungan keluarga, tapi juga di interaksi sosial sehari-hari.
Hubungan hangat di jalanan, senyum di sudut pasar, perhatian antar warga, semuanya sarat makna cinta. Bandung yang humanis memungkinkan cinta itu tumbuh dalam keseharian warganya.
Ketika kota berhasil mendekatkan manusia, cinta tumbuh di mana saja. Bandung bisa jadi kota di mana cinta itu nyata dirasakan oleh segenap warganya. Maka, bisa dikatakan pula bahwa Bandung 15 menit adalah cinta dalam tindakan.
Tentu saja, tantangan untuk mewujudkan Bandung 15 menit tidak sedikit. Infrastruktur perlu dirancang ulang, seperti trotoar yang ramah pejalan kaki dan jalur sepeda yang aman. Transportasi publik -- seperti BRT Metro Jabar Trans -- harus diperluas dan terintegrasi. Selain itu, budaya mobil pribadi juga harus diubah. Semua elemen kota perlu bersinergi untuk mewujudkan konsep ini.
Lebih layak manusia
Pada akhirnya, Bandung 15 adalah visi tentang bagaimana kota bisa menjadi ruang hidup yang lebih layak bagi manusia. Dengan desain yang berpihak pada kedekatan, warga bukan hanya bergerak lebih cepat, tapi juga kehidupan bakal lebih penuh makna. Bandung bisa menunjukkan bahwa kota besar tak harus identik dengan penat dan kemacetan.
Jika gagasan Bandung 15 menit terwujudkan, Bandung bukan hanya menjadi kota yang efisien, tetapi juga kota yang membahagiakan. Bandung menjadi kota yang membebaskan warganya dari belenggu macet, sekaligus memberi mereka kesempatan untuk saling terhubung, saling peduli, dan melakoni hidup secara lebih sehat.
Bandung 15 menit adalah mimpi yang mungkin, asalkan kita bersama-sama berani mengubah cara pandang terhadap kota dan kehidupan di dalamnya. (*)