Fenomena Turisme Bandung: dari Romantika Kolonial ke Euforia Modern

Yudaningsih
Ditulis oleh Yudaningsih diterbitkan Jumat 14 Nov 2025, 18:29 WIB
Suasana di Jalan Braga, Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Reynaldo Yodia)

Suasana di Jalan Braga, Kota Bandung. (Sumber: Pexels/Reynaldo Yodia)

Sejarah mencatat, Bandung sudah menjadi destinasi wisata sejak 1920-an. Para bangsawan Belanda kala itu menjuluki kota ini sebagai “Parijs van Java”, kota sejuk dengan lanskap kolonial dan udara yang menenangkan. Lalu 1980-an menjadi masa keemasan baru, ketika pariwisata menyumbang 40 persen pendapatan kota (Agung Sutrisno, 2012).

Bandung memang selalu dirindukan. Namun, di balik citra romantisnya, tersimpan kisah panjang bagaimana kota ini tumbuh dari pesona kolonial menuju euforia pariwisata modern. Dan kini, tengah menimbang kembali arti “wisata” bagi identitasnya sendiri.

Bandung pernah menjadi simbol keindahan Hindia Belanda. Sejak awal 1900-an, para arsitek kolonial membangun vila dan taman-taman tropis di utara kota. Julukan “Parijs van Java” melekat bukan tanpa alasan: Bandung menjadi tempat pelarian kaum elit Eropa dari panasnya Batavia.

Pada masa itu, wisata bukan tentang konten, melainkan tentang ketenangan dan elegansi. Jalan Braga menjadi ikon kemewahan: butik, restoran, dan bioskop menampilkan wajah modernitas ala Eropa. Bandung hidup dalam romantika kolonial yang memikat sekaligus paradoksal karena keindahannya lahir di tengah ketimpangan sosial.

Setelah kemerdekaan, citra Bandung perlahan berubah. Ia menjadi kota pelajar, kota kreatif, dan kota perjuangan. Namun, daya tarik wisata tak pernah benar-benar pudar. Justru, ia tumbuh bersama semangat baru: wisata yang berakar pada kreativitas anak muda dan kearifan lokal.

Dua dekade terakhir, Bandung mengalami transformasi besar. Dari pusat distro dan factory outlet tahun 2000-an, kini menjadi surga kuliner, wisata tematik, hingga kafe estetik.

Kehadiran Kereta Cepat Whoosh pada 2023 menjadi katalis. Perjalanan Jakarta–Bandung yang dulunya memakan waktu tiga jam kini hanya sekitar 45 menit. Efeknya luar biasa: arus wisatawan melonjak drastis. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mencatat hingga triwulan III tahun 2025, ada lebih dari 6,5 juta wisatawan yang datang, mayoritas dari Jabodetabek.

Kawasan Lembang, Dago, dan Braga menjadi magnet utama. Namun, di balik kemeriahan itu, muncul tanda-tanda kelelahan: kemacetan panjang, peningkatan volume sampah, hingga harga properti yang melambung. Warga mulai merasa kehilangan ruang. Kota yang dulu identik dengan kesejukan kini kian panas oleh kepadatan.

“Bandung terlalu disukai,” ujar seorang warga di Ciumbuleuit dengan nada getir.
Kalimat sederhana itu merangkum paradoks kota wisata modern: antara kebanggaan dan beban.

Fenomena wisata Bandung kini tidak lepas dari budaya media sosial. Destinasi bukan lagi soal keindahan, tapi soal “instagramable.” Tempat seperti The Great Asia Africa, Lembang Park & Zoo, dan Floating Market menjadi simbol tren baru: wisata cepat saji.

Para pengunjung datang, berfoto, lalu berpindah tempat. Wisata menjadi ritual digital lebih untuk diunggah daripada dinikmati. Dalam logika semacam ini, makna “berwisata” kehilangan kedalaman. Ia berubah menjadi aktivitas konsumsi yang berputar cepat, mengikuti tren algoritma dan ekspektasi visual.

Namun, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan wisatawan. Industri pariwisata sendiri membentuk pola ini dengan menciptakan “pengalaman instan” yang mudah dijual. Akibatnya, kota menjadi semacam panggung besar, dan warga tanpa sadar menjadi figuran di rumah sendiri.

Dalam konteks kekiwarian, Dago menjadi panggung ekspresi identitas. Kawasan yang semula eksklusif, kini terbuka, namun tetap mempertahankan nuansa selektif melalui simbol-simbol gaya hidup modern. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Dalam konteks kekiwarian, Dago menjadi panggung ekspresi identitas. Kawasan yang semula eksklusif, kini terbuka, namun tetap mempertahankan nuansa selektif melalui simbol-simbol gaya hidup modern. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)

Kawasan Lembang, Dago, hingga Cihampelas kini padat hampir setiap akhir pekan. Kemacetan parah, parkir liar, pungutan tidak resmi, dan sampah menumpuk menjadi wajah lain pariwisata Bandung. Banyak warga setempat mulai merasa “asing di kota sendiri” karena ruang publik kini lebih banyak dikuasai aktivitas komersial wisata. Menurut pengamat perencanaan kota Muhammad Najih Fasya, Bandung termasuk dalam tiga destinasi di Indonesia yang sudah menunjukkan tanda-tanda overtourism, bersama Bali dan Yogyakarta.

Fenomena ini mengingatkan Bandung untuk tidak kehilangan jati dirinya.
Kota yang kreatif seharusnya tidak hanya melahirkan destinasi, tetapi juga gagasan baru tentang wisata yang berkelanjutan.

Ada tiga hal penting yang patut dipertimbangkan: Pertama, Menata ulang arah pariwisata. Wisata Bandung perlu bergeser dari konsumtif ke reflektif, mendorong pengunjung memahami sejarah, budaya, dan ekologi kota. Kedua, Memberdayakan warga lokal.  Ekonomi pariwisata harus berpihak pada warga, bukan hanya pada investor besar. Program seperti wisata komunitas, pasar kreatif, dan homestay berbasis budaya bisa menjadi solusi. Ketiga, Mengembalikan ruang hidup kota. Bandung perlu memastikan keseimbangan antara ruang komersial dan ruang publik. Taman, jalur pedestrian, dan transportasi publik harus dipulihkan agar kota kembali nyaman, bukan sekadar ramai.

***

Bandung akan selalu memesona, dari sejuknya pagi di Dago hingga senja di Braga. Tapi pesona itu tak boleh membuat kita lupa, bahwa kota bukan hanya milik mereka yang datang, melainkan juga mereka yang tinggal.

Romantika kolonial mungkin telah berganti menjadi euforia modern, tapi keduanya membawa pelajaran yang sama: bahwa keindahan sejati bukan diukur dari banyaknya wisatawan, melainkan dari kemampuan kota menjaga dirinya tetap hidup, ramah, dan bernapas.

Barangkali, sudah saatnya Bandung tidak hanya dirayakan karena keindahannya, tapi juga dijaga karena keberlanjutannya.

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Yudaningsih
Tentang Yudaningsih
Yudaningsih, akademisi Tel-U & aktivis keterbukaan informasi, Tenaga Ahli KI Jabar, eks Komisioner KPU Bandung & KI Jabar, kini S3 SAA UIN SGD.
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 21 Nov 2025, 16:13 WIB

Bukan Sekadar Gaya Hidup, Work From Cafe jadi Penunjang Produktivitas Kalangan Muda

Work from Café (WFC) menawarkan suasana baru untuk mengatasi kejenuhan dalam bekerja.
Salah satu mahasiswa sedang mengerjakan tugas di salah satu Café di Kota Bandung (30/10/2025) (Foto: Syifa Givani)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 16:04 WIB

Kisah Jajanan Sore 'Anget Sari' yang Dekat dengan Mahasiswa

Kisah Anget Sari, lapak gorengan di Sukapura yang dikenal karena mendoan hangat, bahan segar, dan pelayanan ramah.
Suasana hangat di lapak Anget Sari saat pemilik menyajikan gorengan untuk pelanggan, di Kampung Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Bandung, Selasa (28/10/2025) (Sumber: Nailah Qurratul Aini | Foto: Nailah Qurratul Aini)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 15:41 WIB

UMKM Tahura Bandung Tumbuh Bersama di Tengah Perubahan Kawasan Wisata

Mengkisahkan tentang seorang pedagang pentol kuah yang ikut tumbuh bersama dengan berkembangnya kawasan wisata alam Tahura
Seorang pedagang sedang menjaga warungnya di Kawasan wisata tahura, (25/10/25) (Foto: M. Hafidz Al Hakim)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 15:21 WIB

Fenomena Turisme Bandung: Pesona Edukatif dan Konservatif di Lembang Park & Zoo

Lembang Park & Zoo menghadirkan wisata edukatif dan konservatif di Bandung.
Siap berpetualang di Lembang Park & Zoo! Dari kampung satwa sampai istana reptil, semua seru buat dikunjungi bareng keluarga (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Adil Rafsanjani)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 15:10 WIB

Pengalaman Rasa yang Tidak Sesuai dengan Ekspektasi

Hunting kuliner memang tidak selalu berbuah dengan rasa yang lezat, beberapa di antaranya rasa yang tidak sesuai dengan review dan harga yang sangat fantastis.
Hunting kuliner memang tidak selalu berbuah dengan rasa yang lezat, beberapa di antaranya rasa yang tidak sesuai dengan review dan harga yang sangat fantastis (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 14:49 WIB

Scroll Boleh, Meniru Jangan, Waspada Memetic Violence!

Saatnya cerdas dan bijak bermedsos, karena satu unggahan kita hari ini bisa membawa pengaruh besar bagi seseorang di luar sana.
Ilustrasi asyiknya bermedia sosial. (Sumber: pixabay.com | Foto: Istimewa)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 13:02 WIB

Hangatnya Perpaduan Kopi dan Roti dari Kedai Tri Tangtu

Roti Macan dimulai dari ruang yang jauh lebih kecil dan jauh lebih sunyi, yaitu kedai kopi.
Kedai kecil itu menciptakan suasana hangat dari aroma Roti Macan pada hari Selasa (04/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Wafda Rindhiany)
Ayo Jelajah 21 Nov 2025, 11:17 WIB

Sejarah Soreang dari Tapak Pengelana hingga jadi Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung

Sejarah Soreang dari tempat persinggahan para pengelana hingga menjelma pusat pemerintahan modern Kabupaten Bandung.
Menara Sabilulunga, salah satu ikon baru Soreang. (Sumber: Wikimedia)
Ayo Jelajah 21 Nov 2025, 11:16 WIB

Sejarah Black Death, Wabah Kematian Perusak Tatanan Eropa Lama

Sejarah wabah Black Death yang menghancurkan Eropa pada awal abad ke-14, menewaskan sepertiga penduduk, dan memicu lahirnya tatanan baru.
Lukisan The Triumph of Death dari Pieter Bruegel (1562) yang terinspirasi dari Black Death. (Sumber: Wikipedia)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 10:17 WIB

History Cake Bermula dari Kos Kecil hingga Jadi Bagian 'Sejarah Manis' di Bandung

History Cake dimulai dari kos kecil pada 2016 dan berkembang lewat Instagram.
Tampilan area display dan kasir History Cake yang menampilkan beragam Korean cake dan dessert estetik di Jalan Cibadak, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung. (30/10/2025) (Sumber: Naila Husna Ramadhani)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 09:29 WIB

Dari Tiktok ke Trotoar, ‘Iseng’ Ngumpulin Orang Sekota untuk Lari Bareng

Artikel ini menjelaskan sebuah komunitas lari yang tumbuh hanya iseng dari Tiktok.
Pelari berkumpul untuk melakukan persiapan di Jl. Cilaki No.61, Cihapit, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, pada Sabtu pagi 15 November 2025 sebelum memulai sesi lari bersama. (Sumber: Rafid Afrizal Pamungkas | Foto: Rafid Afrizal Pamungkas)
Ayo Netizen 21 Nov 2025, 08:06 WIB

Giri Purwa Seni Hadirkan Kecapi Suling sebagai Pelestarian Kesenian Tradisional Sunda

Giri Purwa Seni di Cigereleng menjaga warisan kecapi suling melalui produksi, pelatihan, dan pertunjukan.
Pengrajin Giri Purwa Seni menampilkan seperangkat alat musik tradisional berwarna keemasan di ruang pamer Giri Purwa Seni, Jl. Soekarno Hatta No. 425, Desa Cigereleng, Astana Anyar, Karasak, pada Senin, 10 November 2025. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Biz 20 Nov 2025, 21:19 WIB

Desa Wisata Jawa Barat Menumbuhkan Ekonomi Kreatif dengan Komitmen dan Kolaborasi

Desa wisata di Jawa Barat bukan sekadar destinasi yang indah, namun juga ruang ekonomi kreatif yang menuntut ketekunan, komitmen, dan keberanian untuk terus berinovasi.
Upacara Tutup Tahun Kampung Cireundeu, Merawat Tradisi dan Syukur Kepada Ibu Bumi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 20:18 WIB

Ngaruat Gunung Manglayang, Tradisi Sakral Menjaga Harmoni Alam dan Manusia

Ngaruat Gunung Manglayang adalah tradisi tahunan untuk menghormati alam.
Warga adat melakukan ritual ruatan di kaki Gunung Manglayang sebagai bentuk ungkapan syukur dan doa keselamatan bagi alam serta masyarakat sekitar.di Gunung Manglayang, Cibiru, Bandung 20 Maret 2025 (Foto: Oscar Yasunari)
Ayo Biz 20 Nov 2025, 18:23 WIB

Desa Wisata, Ekonomi Kreatif yang Bertumbuh dari Akar Desa

Desa wisata, yang dulu dianggap sekadar pelengkap pariwisata, kini menjelma sebagai motor ekonomi kreatif berbasis komunitas.
Wajah baru ekonomi Jawa Barat kini tumbuh dari desa. Desa wisata, yang dulu dianggap sekadar pelengkap pariwisata, kini menjelma sebagai motor ekonomi kreatif berbasis komunitas. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 17:21 WIB

Lenggak-lenggok Jaipong di Tengah Riuh Bandung dan Pesona Tradisi

Tari Jaipong tampil memukau di West Java Festival 2025. Gerak enerjik dan musik riuh membuat penonton antusias.
Penampilan tari Jaipong menghiasi panggung West Java Festival 2025 dengan gerakan energik yang memukau penonton, Minggu (9/11/2025). (Sumber: Selly Alifa | Foto: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 17:07 WIB

Curug Pelangi Punya Keindahan Ikonik seperti di Luar Negeri

Wisata alam Bandung memiliki banyak keunikan, Curug Pelangi punya ikon baru dengan pemandangan pelangi alami.
Pelangi asli terlihat jelas di wisata air terjun Curug Pelangi, Kabupaten Bandung Barat (2/11/25) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Tazkiya Hasna Putri S)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 16:55 WIB

Wayang Golek Sindu Parwata Gaungkan Pelestarian Budaya Sunda di Manjahlega

Pagelaran Wayang Golek Sindu Parwata di Manjahlega gaungkan pelestarian budaya Sunda dan dorong generasi muda untuk mencintai budaya lokal sunda.
Suasana pagelaran Wayang Golek di Kelurahan Manjahlega, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, Jumat (5/9/2025), di halaman Karang Taruna Caturdasa RW 14. (Sumber: Dokumentasi penulis | Foto: Ayu Amanda Gabriela)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 16:30 WIB

Menyoal 'Sora' Sunda di Tengah Sorak Wisatawan

Sora Sunda tidak harus berteriak paling keras untuk tetap hidup dan bertahan. Ia cukup dimulai dari kebiasaan kecil.
Mengenalkan budaya dan nilai kesundaan bisa dilakukan lewat atraksi kaulinan barudak. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 20 Nov 2025, 16:10 WIB

Kenaikan Gaji ASN, antara Harapan Dompet dan Reformasi Birokrasi

Kenaikan gaji ASN bukan sekadar soal dompet, tapi ujian sejauh mana birokrasi mampu menukar kesejahteraan menjadi kinerja.
Ilustrasi PNS di Bandung Raya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)