Setiap pagi, sebelum matahari naik ke permukaan, suara roda gerobak kayu milik Pak Ocid menjadi tanda bahwa hari baru telah dimulai. Aroma surabi tak pernah absen menyapa jalanan yang masih basah oleh embun.
Seperangkat alat untuk berdagang sudah rapih berjajar, ia dengan sang istri menyiapkan adonan seperti terigu, telur dan aneka minuman hangat yang menandakan siap melayani pembeli. Baginya, pekerjaan itu mungkin sederhana, tetapi setiap langkah adalah bentuk syukur dan setiap uang yang ia dapat adalah tanda cinta dari Sang Maha Kuasa.
Pak Ocid memutuskan untuk memulai usahanya pada tahun 1981. 55 tahun berjualan, surabi bukan menjadi langkah awal perjalanan, begitu banyak sekali jenis dagangan dimulai dari bubur kacang dan gorengan yang dijual menggunakan gerobak keliling, berpindah dari satu kampung ke kampung lain. Meskipun banyak pedagang lain yang berjualan serupa, ia tidak menganggap mereka sebagai sebuah saingan.
”Awalnya bapak jualan bubur kacang banyak yang beli neng, alhamdulillah. Tapi pas besok-besokannya orang-orang juga jadi jualan bubur kacang, sama kayak bapak. Namanya usaha mah gimana ya neng, gabisa gitu kita pengen laku terus, gabisa ngelarang orang buat jualin yang beda sama yang kita jual oge kan. Yang penting mah jangan putus asa”, Ujarnya sambil tertawa kecil.
Perjalanan hidupnya bukan tanpa cobaan. Aneka ragam jenis dagangan telah diusahakan, memulai kembali dari nol tidak menjadi penghilang semangat juang. Kini usianya menginjak 81 tahun, langkahnya tetap tegap. Ia masih turun ke jalan setiap hari, ditemani sang istri yang setia menemani.
Di balik gerobak sederhana itu, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan, kesetiaan dan rasa syukur. Tak ada iklan besar, tak ada promosi digital, tapi pelanggan selalu datang dari berbagai kalangan usia.
Dalam setiap adonan surabi yang ia tuang, terselip doa agar anak cucunya hidup lebih baik. Dalam setiap langkah yang ia ayunkan, tersimpan harapan bahwa rezeki hari ini cukup untuk esok. Dan dalam senyum yang ia berikan pada pembeli, terpancar kebaikan hati yang selalu tahu cara untuk bersyukur.
”Masih muda manfaatkeun kemampuan berpikir, tapi tong sagala dipikiran. Udah aja, kalau memang jalannya begitu, berarti eta teh jalan dari Allah, maksudnya teh jangan diambil pusing. Berpikirnya yang baik-baik aja, Allah bersama prasangka hamba-Nya teh bener neng. Banyak husnudzon, kerasa sama bapak, sekarang walaupun penghasilan teh cuma dari jualan surabi, tapi da kebutuhan bapak sama ibu tercukupi, alhamdulillah bahkan bisa ngasih ke anak cucu”, katanya, sambil mengolah adonan sambil tersenyum hangat.
Dari kisah hidup Pak Ocid, kita belajar bahwa jatuh bukanlah akhir dan bangkit adalah satu-satunya pilihan. Keteguhan hati menunjukkan bahwa keberhasilan tidak diukur dari seberapa untuk yang didapat, melainkan dari seberapa tulus seseorang dalam menikmati setiap prosesnya. Bahwa semangat tidak mengenal usia dan rasa syukur menjadi kunci utama kehidupan. (*)
