Mentari pagi menembus sela dedaunan pisang, menyapa jalan kampung yang ramai oleh langkah-langkah kecil membawa rantang berisi ketupat dan opor ayam. Di tengah semerbak aroma rempah, suasana silaturahmi tampak kental di Kampung Sukabirus, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.
Lilis Sekar Sari, seorang ibu rumah tangga yang sudah dua puluh tahun tinggal di kampung itu, tersenyum sambil menata rantang di atas meja rotan di teras rumahnya. Walau Lebaran masih tiga bulan lagi, kenangan suasana hangat itu seolah belum hilang dari ingatan.
“Nganteuran ini bukan sekadar berbagi makanan, tapi berbagi kehangatan. Dari rumah ke rumah, kami bawa rasa syukur setelah sebulan berpuasa,” ujarnya sambil menyiapkan ketupat hangat.
Tradisi nganteuran adalah budaya Sunda yakni kebiasaan warga yang saling mengantar makanan khas Lebaran seperti opor ayam, rendang, dan sambal goreng kentang ke rumah tetangga, keluarga, serta orang yang dituakan. Biasanya, kegiatan ini dilakukan sehari setelah shalat Idulfitri.
Anak-anak ikut berkeliling membawa wadah berwarna cerah, sementara para ibu menukar masakan dengan tawa ringan dan ucapan doa.
Suasana penuh canda membuat gang-gang sempit kampung seolah hidup kembali. Tak ada batas antara tua dan muda, kaya dan sederhana, semua melebur dalam satu rasa kebersamaan.
“Yang paling saya tunggu itu saling mencicipi masakan. Kadang rendang tetangga lebih enak dari buatan sendiri, tapi itu justru yang bikin bahagia,” kata Lilis sambil tertawa.

Di balik kesederhanaannya, tradisi ini memiliki makna mendalam, Nganteuran menjadi simbol kepedulian sosial dan bentuk penghargaan terhadap nilai gotong royong yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Setiap langkah kecil membawa pesan besar bahwa kebahagiaan tak harus megah, cukup dari hubungan yang saling menghargai dan saling mendoakan.
Warga percaya, tradisi ini juga mempererat silaturahmi yang mungkin renggang selama setahun. Setelah lebaran, mereka saling memaafkan, memperbaiki hubungan, dan membuka lembaran baru dengan hati yang bersih.
“Dari dulu sampai sekarang, nganteuran ini seperti perekat kampung kami. Kalau tidak dilakukan, rasanya ada yang kurang,” ujar Lilis menutup percakapan dengan senyum tulus.
Kini, meskipun zaman berubah dan banyak tradisi perlahan memudar, semangat warga Kampung Sukabirus untuk menjaga warisan budaya tetap menyala.
Bagi mereka, nganteuran bukan sekadar ritual Lebaran melainkan cerminan cinta, kebersamaan, dan rasa syukur yang tak lekang oleh waktu. (*)
