Selepas azan magrib mereda, terdengar suara hentakan kaki di atas matras dari seorang murid yang tengah berlatih pencak silat. Di sudut ruangan, Ana Apriana mengamati murid-muridnya berlatih dengan serius, ia tersenyum tipis sambil menata ide content digital untuk Perguruan Panglipur Kopo Parahyangan, Margahayu, Kabupaten Bandung, Senin (3/11/2025).
Ana Apriana, penggagas Panglipur Kopo Parahyangan, mengatakan bahwa perbedaan utama perguruannya dengan perguruan Panglipur lainnya terletak pada keaktifan di media sosial.
“Yang membedakan Panglipur lain dengan Panglipur Kopo Parahyangan adalah keaktifan di social media,” katanya.
Ia kerap mendokumentasikan proses latihan murid-murid dan mengunggahnya ke akun @pencaksilat.pkp, yang kemudian mendapat banyak pujian dari perguruan Panglipur lainnya. Dampaknya juga terasa pada murid-muridnya, mereka semakin dikenal di lingkungan sekolahnya karena konten yang dibuat oleh pria lembut itu viral di media sosial.
Seiring berkembangnya zaman, tantangan terbesar bagi kesenian tradisional adalah mempertahankan eksistensi di tengah derasnya arus budaya asing yang masuk ke Indonesia. Dalam dunia pencak silat, konten mengenai seni bela diri ini masih jarang muncul di media, salah satunya karena minimnya eksposur dari perguruan itu sendiri. Upaya kreatif diperlukan agar pencak silat tidak hanya diwariskan secara turun-temurun, tetapi juga dikenalkan melalui media digital.
Pemanfaatan perkembangan zaman itu diwujudkan oleh pria humoris itu melalui program baru bernama Pencak Silat Digital. Ia menjelaskan bahwa tujuan program ini adalah menyebarkan ajaran Panglipur seluas-luasnya sambil melestarikan budaya dan nilai di dalamnya. Menurut pria ramah itu,
“Melalui Pencak Silat Digital, saya ingin membuat ajaran Panglipur bis dipelajari siapapun meski dari rumah.”
Program ini bekerja dengan menyediakan video penjelasan jurus secara detail dan e-book berisi uraian lengkap setiap gerakan. Peserta dapat mengikuti pembelajaran melalui grup WhatsApp, webinar, atau sesi private Zoom, sehingga tidak perlu datang langsung ke perguruan.
Keunikan perguruan ini juga terletak pada pembangunan karakter yang diterapkan oleh pria rendah hati itu. Setiap murid diajarkan memiliki emotional quotient (EQ) yang baik agar terjalin kebersamaan dan kerja sama selama latihan. Hal itu dilakukan melalui kegiatan berbincang, bermain bersama, belajar mengontrol emosi, serta menanamkan sikap rendah hati dan tanggung jawab, termasuk datang tepat waktu.

Karakter perguruan ini dibentuk dari visi “silat tradisi mengejar silat prestasi” dan misi “mencetak pesilat-pesilat muda yang juga berprestasi”. Visi dan misi tersebut lahir dari perjalanan pria humoris itu dalam memahami disiplin dan seni di setiap gerakan silat. Pengalaman itu membentuk pandangannya tentang pentingnya karakter dan nilai budaya dalam proses latihan.
Menariknya perguruan ini berdiri tanpa disengaja, Ana mulanya hanya berlatih dengan dua anaknya, hingga akhirnya berkembang pesat. Sebelum terjun ke pencak silat, ia merupakan pelatih tari jaipongan, namun kemudian memilih memfokuskan diri pada seni bela diri. Salah satu alasan pria beranak dua itu memilih aliran Panglipur adalah karena unsur seninya, “Setiap gerakan Panglipur punya makna yang dalam dan indah, itu yang membuat saya menetapkan pilihan,” ujarnya.
Kini, di tengah derasnya arus digitalisasi, pria cerdik itu membuktikan bahwa tradisi dan teknologi dapat berjalan beriringan. Melalui program Pencak Silat Digital, ia berusaha menjaga warisan leluhur sambil mengenalkan nilai budaya kepada generasi muda. Pendekatan karakter yang ia kembangkan menjadikan Panglipur Kopo Parahyangan bukan hanya tempat berlatih silat, tetapi ruang pembentukan moral dan kebersamaan. (*)
