AYOBANDUNG.ID -- Lia Ladjia Renasa tidak pernah membayangkan bahwa ide idealisnya akan menjadi batu sandungan dalam merintis bisnis kuliner.
Saat membuka Me Time Cafe pada Februari 2015, ia membawa semangat inklusif dan keberanian untuk berbeda. Salah satu eksperimen bisnis paling berani yang ia lakukan adalah menerapkan sistem buffet “bayar seikhlasnya”.
“Saya ingin semua orang bisa makan enak tanpa harus mikir dompet. Saya pikir, kalau kita kasih kebebasan, orang akan jujur dan merasa dihargai,” ujar perempuan yang akrab disapa Rena itu saat ditemui Ayobandung.
Namun, niat baik itu justru berbalik menjadi tantangan. Konsep yang awalnya dirancang untuk merangkul semua kalangan ternyata tidak berjalan mulus. Banyak pelanggan yang merasa bingung, bahkan tidak nyaman saat harus menentukan sendiri berapa yang harus mereka bayar.

“Tahu sendiri mungkin ya, orang Indonesia itu punya sifat sungkan dan nggak enakan. Jadi mereka bingung untuk bayar berapa karena nggak jelas patokannya,” jelas Rena.
Fenomena ini sejalan dengan berbagai studi perilaku konsumen di Indonesia yang menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menghindari situasi yang menuntut keputusan terbuka, terutama jika menyangkut uang. Norma sosial seperti menjaga perasaan orang lain dan menghindari konflik membuat konsep “bayar seikhlasnya” menjadi jebakan psikologis.
Alih-alih menjadi solusi, konsep tersebut justru membuat pelanggan merasa tidak nyaman dan bahkan enggan kembali. Beberapa membayar terlalu mahal karena merasa bersalah, sementara yang lain memilih tidak datang lagi karena takut salah menilai.
“Banyak yang akhirnya nanya ke kasir, ‘Harus bayar berapa ya?’ Padahal konsepnya seikhlasnya. Tapi justru itu yang bikin mereka gak nyaman. Konsep itu akhirnya jadi bumerang buat kami,” kata Lia.
Setelah beberapa bulan mencoba, Rena akhirnya memutuskan untuk mengakhiri sistem tersebut. Ia beralih ke konsep kafe konvensional dengan harga tetap. Keputusan ini membawa kelegaan, baik bagi pelanggan maupun tim operasional.
“Sekarang kita tetapkan harga, dan ternyata responsnya jauh lebih baik. Pengunjung jadi lebih tenang, dan kita juga bisa lebih rapi dalam mengelola dapur,” kata Rena.
Transformasi Me Time Cafe tidak hanya terjadi pada sistem pembayaran. Dari awalnya bergaya shabby chic & coffee shop, kini kafe ini tampil dengan desain industrial yang tegas dan modern. Ornamen kayu, kaca besar, serta meja dan kursi besi hitam menciptakan suasana yang cozy sekaligus edgy.

Menu yang ditawarkan pun beragam mulai dari western course, Indonesian, hingga oriental course. Selain itu, Me Time Cafe juga menyediakan buffet harga warteg mulai Rp20.000-an, menjadikannya tetap terjangkau tanpa mengorbankan kualitas.
Salah satu sudut favorit pengunjung adalah pastry dan bakery corner, dengan Pie Bread sebagai bintang utama. Roti ini disajikan hangat langsung dari oven, lembut dan harum menggoda.
“Kita rotinya langsung buat di sini. Untuk rasa InsyaAllah enak dan lembut. Banyak yang awalnya cuma makan, tapi akhirnya minta dibungkusin karena rasanya enak dan lembut,” ujar Rena.
Pie Bread pun sering dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Dengan harga bersahabat mulai harga Rp5000 dan rasa yang bersaing dengan brand besar, roti ini menjadi simbol keberhasilan Me Time Cafe dalam beradaptasi.
“Selain murah dan enak, tentunya roti-roti hangat ini bisa dibawa pulang untuk jadi oleh-oleh orang rumah,” ungkap Rena.
Bagi Rena, perjalanan Me Time Cafe sedianya menjadi refleksi dari keberanian untuk mencoba dan kepekaan terhadap realitas sosial. Dirinya kini belajar tak hanya membangun bisnis, tetapi juga belajar memahami masyarakat yang dilayaninya.
“Saya belajar bahwa niat baik harus dikemas dengan cara yang tepat. Kita tetap bisa berbagi, tapi harus tahu bagaimana caranya agar semua pihak merasa nyaman,” tutup Rena.
Informasi Me Time Cafe
Instagram: https://www.instagram.com/metimecafe
Alternatif produk kuliner dan UMKM Serupa: