AYOBANDUNG.ID -- Di sebuah sudut rumah di Gedebage, Bandung, Ondang Dahlia merajut bukan sekadar dari kain sisa, melainkan harapan. Sejak 4 Maret 2022, ia menamai bisnisnya Mamata Craft, sebuah nama yang lahir dari cinta seorang ibu.
“Mamata itu dari Mamanya Ata,” ujarnya, merujuk pada anak bungsunya. Nama itu bagi Ondang menjadi sebuah simbol kehangatan keluarga yang menjadi fondasi bisnisnya.
Kecintaan Ondang pada rajut pun bukan hal baru. Sejak kecil, ia telah diajarkan oleh sang ibu untuk memainkan jarum dan benang. Akhirnya dari hobi yang tumbuh bersama waktu itu, lahirlah sebuah gagasan yang lebih besar, di mana menjadikan rajut sebagai jalan hidup dan kontribusi nyata bagi lingkungan.
“Saya suka rajut dari kecil, itu saya sudah diajarin orang tua,” kenangnya saat berbincang dengan Ayobandung.
Kesadaran lingkungan telah tertanam sejak dini dalam keluarga Ondang. Dan dari kebiasaan sederhana itu, muncul ide untuk mengolah limbah menjadi sesuatu yang bernilai.
“Saya merasa wajib peduli sama lingkungan. Anak saya sudah diajakkan buang sampah pada tempatnya sejak kecil,” tuturnya.
Namun, jalan menuju realisasi tidak langsung terbuka. Titik balik datang pada tahun 2019, saat Ondang mengikuti pelatihan merajut handmade dari Disdagin Kota Bandung. Di sana, ia bertemu mentor yang memperkenalkan kain sisa sebagai bahan utama.
“Pas banget gitu. Akhirnya saya mikir, oke deh, gimana kalau kita bikin tas rajut aja,” katanya.
Dari situ, benih Mamata Craft mulai tumbuh. Pilihan Ondang untuk fokus pada tas bukan tanpa alasan. Ia ingin menciptakan produk yang fungsional dan bernilai tinggi.
“Biasanya limbah itu dibikin jadi hiasan atau keset, harganya kan pasti rendah. Kalau kita bisa bikin dari kain sisa jadi bentuk yang bagus dan harganya tinggi, itu bisa bantu perekonomian perajut juga,” jelasnya.
Di balik setiap tas, ada semangat pemberdayaan. Namun, Ondang mengakui, merajut dari kain sisa bukan perkara mudah. Ia kerap mendapatkan kain sisa dari sisa pabrik berupa jenis kain kaos atau kerap disebut majun, yang memerlukan teknik khusus agar hasil rajutan tidak menyimpang.
“Buat yang biasa merajut, kain itu berat. Contoh merajut dengan kain sisa itu, kalau tarikannya nggak sama, hasil tasnya bisa menyong-menyong. Tapi buat saya, merajut benang itu lebih berat,” tambahnya.

Butuh waktu dan eksperimen sejak 2019 sebelum akhirnya Mamata Craft benar-benar dimulai. Kini, Mamata Craft telah memproduksi sekitar 10 model tas, meski lima di antaranya menjadi favorit pelanggan.
Nama-nama tasnya pun unik dan sarat makna. Dipilihnya Amara, Sundari, Garvita, Lilabe, dan Darube bukan sekadar nama, tapi representasi budaya yang diangkat dengan bangga.
“Aku ngambilnya dari bahasa Sasakerta karena ingin nunjukin bahwa ini produk Indonesia,” kata Ondang.
Dalam hal pemasaran, Ondang mengandalkan branding dan display di tempat strategis seperti Yellow Hotel Paskal. Ia juga aktif mengikuti bazar dan pameran, termasuk menitipkan barangnya di Yogyakarta Department Store.
Menariknya, mayoritas pembeli justru berasal dari luar negeri. Menurut Ondang, konsumen luar negeri lebih memahami nilai dari produk handmade dan upcycle.
“80% yang beli adalah orang Malaysia. Kalau saya pikir sih, alasannya karena orang luar itu lebih mengerti value dan menghargai storytelling dari sebuah produk,” katanya.
Bagaimana tidak? Mamata Craft bukan hanya tas, tapi narasi tentang keberlanjutan, keterampilan, dan cinta yang dirajut dalam setiap helai kain. Berkisar antara Rp280.000 hingga Rp700.000, tas Mamata Craft mencerminkan kualitas dan proses yang tidak instan.
“Perlu waktu, perlu skill, perlu tenaga. Tas yang saya buat ini 100 persen handmade, buah tangan yang penuh dedikasi dan kesadaran akan lingkungan," tuturnya.
Di tengah tantangan produksi terbatas dan edukasi pasar lokal, Ondang tetap optimis. Ia percaya bahwa semakin banyak orang akan memahami bahwa produk lokal bisa punya nilai tinggi jika dikemas dengan cerita dan kualitas. Mamata Craft adalah bukti bahwa UMKM bisa menjadi agen perubahan.
Bagi Ondang, Mamata Craft adalah gerakan kecil yang menyuarakan keberlanjutan. Dari kain sisa yang sering dianggap tak berguna, Ondang menciptakan karya yang fungsional dan estetis. Ia menunjukkan bahwa kreativitas bisa menjadi solusi bagi masalah lingkungan.
Dalam setiap rajutan Mamata Craft, tersimpan filosofi bahwa tangan ibu bisa merawat bumi, bahwa limbah bisa menjadi berkah, dan bahwa bisnis bisa tumbuh dari cinta dan kepedulian. Ondang Dahlia telah membuktikan bahwa UMKM bukan sekadar usaha kecil, tapi kekuatan besar yang mampu menginspirasi.
“Aku cuma ingin nunjukin bahwa sesuatu yang dianggap limbah itu bisa jadi karya yang bernilai. Kalau kita bisa merajut dengan hati, hasilnya bukan cuma tas, tapi juga cerita tentang kepedulian, ketekunan, dan cinta pada bumi,” ujar Ondang.
Informasi Mamata Craft
Instagram: https://www.instagram.com/mamatacraft
Alternatif pembelian produk tas rajut dan UMKM Serupa: