Jujur membaca buku "Bandung Menjelang Pagi" pada awalnya membuat saya cukup bosan, mengantuk dan sedikit jengkel dengan sosok "Dhipa" sebagai peran utama dalam novel ini.
Buku ini saya beli setelah membaca karya Brian Khrisna lainnya, berjudul "Semangkok Mie Ayam Sebelum Mati". Bagi saya "Bandung Menjelang Pagi" tidak seistimewa cap "Best Seller" yang terpampang nyata pada halaman cover.
Tapi tentu ini menurut saya, karena selera adalah subjektif tergantung dengan sudut pandang masing-masing. Meski pada permulaan novel, penulis menyinggung sedikit tentang kondisi kota Bandung yang sering dielu-elukan "keindahannya" tapi novel ini sangat didominasi oleh kisah cinta dua manusia dewasa yang terasa seperti roman picisan.
Menurut saya cinta dalam novel ini cocok dirasakan bagi mereka yang masih di tahap remaja, cinta monyet, cinta yang terkesan lebay. Membaca novel ini membutuhkan waktu kurang lebih 1 bulan. Saking bosannya saya sempat beralih membaca buku lain kemudian kembali membaca novel ini. Dari 296 halaman saya baru sedikit serius, tersentuh saat memasuki cerita di halaman 201.
Meski demikian, buku ini juga memberikan saya banyak pengetahuan tentang nama-nama jalan di kota bandung, nama tempat makan, pasar kaset atau pasar buku yang belum pernah saya kunjungi selama jadi warga bandung.
Buku ini memberikan sudut pandang baru tentang kota bandung yang selama ini selalu menjadi primadona bagi siapa saja yang mengunjunginya, terlebih Braga yang menjadi spot utama wisatawan lokal hingga mancanegara.
Keberadaan Kaum Marjinal

Dalam buku ini kaum marjinal ditunjukkan penulis dari mulai tokoh utama hingga beberapa peran penting lainnya dalam buku ini. Kaum Marjinal direpresentasikan penulis melalui karakter dipha yang di mana di tengah kota yang dikenal dengan kemewahan, dirinya menjadi salah satu masyarakat yang harus banting tulang memenuhi kebutuhan hidup.
Mulai menjadi karyawan toko kopi, penjual bunga, penjaga toko kaset, karyawan toko kue, toko eskrim, tukang servis ac dan pipa air juga beberapa pekerjaan sampingan lainnya.
Dalam buku ini juga diperlihatkan bagaimana sosok Bang Karina sebagai waria menjadi cerminan bagaimana kelompok masyarakat marjinal berada disisi lain kota yang seringkali di romantisisasi. Meski waria masih menjadi bagian masyarakat yang dipandang sebelah mata oleh lingkup sosial.
Penulis menunjukkan sisi lain waria sebagai seorang manusia yang justru lebih humanis dari manusia normal lain yang hidup di kota bandung.
Narasi soal kondisi braga yang pada umumnya sering diromantisasi karena bernuansa bak kota Paris. Seperti kota metropolis yang kaya dengan sejarah, budaya dan keindahan arsitektur deretan bangunan yang ada di Braga. Kondisi pagi hingga malam braga memang menjadi spot cantik untuk berfoto, tempat kunjungan wisatawan lokal maupun internasional.
Tapi masih banyak orang yang belum mengetahui bagaimana kondisi Bandung menjelang pagi. Bagaimana kelompok anak jalanan keluar untuk berkumpul, para waria yang menjajakan pelayanan kepada pria hidung belang, kumpulan gelandangan dan manusia kardus yang berjajar tidur di emperan toko. Bahkan beberapa bule miskin yang mencari puing-puing sisa makanan di tong sampah.
Kehidupan Malam dan Kriminalitas
Bandung menjelang pagi dalam novel ini dinarasikan menjadi bagian kehidupan dari contoh lapisan masyarakat yang berkeliaran melakukan tindak kriminalitas. Mulai dari pembunuhan, pencopetan, aksi anarkis geng motor dan beberapa aktivitas yang mengganggu ketertiban saat kota bandung terlelap dalam buaian malam.
Brian cukup berhasil menarasikan bagaimana kondisi sisi lain dari kota bandung yang melibatkan setiap sudut jalan, kehidupan, perasaan dan emosi.
Buku ini juga menggambarkan bagaimana manusia bisa memilih hidup sesuai keinginannya, mengajarkan tentang kehilangan orang-orang terkasih hingga permasalahan pelik dan komplek lainnya tentang bandung yang seringkali tidak diketahui, bahkan oleh sebagian warganya sendiri. (*)