Bandung selalu punya cara membuat warganya jatuh cinta dan jatuh kecewa. Sejak Muhammad Farhan dan Erwin resmi memimpin Kota Bandung per tanggal 20 Februari 2025, cinta dan kecewa itu bertemu dalam satu pertanyaan sederhana namun mendasar: “Bandung kita ini, sudah berubah menjadi lebih baik atau masih berjalan di tempat?”
Memasuki Desember 2025, Redaksi AyoBandung melalui kanal AyoNetizen membuka tema “Catatan Warga untuk Wali Kota Bandung.” Catatan yang lahir bukan dari analisis gedung tinggi, tetapi dari langkah kaki warga di trotoar bolong, dari sabar menunggu angkot yang tak kunjung modern, dari bau sampah yang kadang tak kenal waktu, dan dari harapan yang tetap hidup, meski kadang redup.
Penulis mengurai catatan ini sebagai satu suara kecil dari banyak warga Bandung. Bukan untuk menjatuhkan, bukan pula memuja, tetapi untuk mengingatkan, mengoreksi, dan merawat kota dengan cara paling sederhana: berkata jujur.
Farhan datang dengan janji besar sejak masa kampanye. Ia ingin menjadikan Bandung lebih baik, membuka komunikasi dengan seluruh pihak, dan memastikan tak ada “penumpang gelap” yang menunggangi pemerintahannya.
Visi besarnya terang ditulis dalam dokumen Bandung UTAMA, sebuah gagasan untuk mewujudkan Bandung yang Unggul, Terbuka, Amanah, Maju, dan Agamis . Namun kenyataan kota tidak bergerak secepat slogan. Banyak warga merasakan bahwa gebrakan yang dijanjikan terutama soal transportasi publik, sampah, dan tata ruang belum muncul dalam wujud nyata. Bahkan pakar kebijakan publik Yogi Suprayogi menyebut, belum terlihat apa prioritas Wali Kota Bandung. Gebrakan besar tidak muncul. Sementara Jejen Jaelani menilai: Bandung tidak butuh Wali Kota yang rajin tampil di media sosial, tapi yang berpikir sistematis dan mengeksekusi. Pakar Kebijakan Publik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan ikut menyoroti kinerja Farhan-Erwin yang dianggapnya belum bisa menunjukkan gebrakan sesuai dengan apa yang dijanjikan semasa kampanye. Kelihatannya belum, mungkin belum masif, ada tidaknya belum masif, diinformasikan dan disosialisasikan. Seyogyanya Farhan Erwin tampil cepat, ngabret dan berlari kencang untuk Kota Bandung sebagai ikon Jabar. Farhan juga seharusnya bisa cepat merespon setiap yang keluhan dan keresahan yang dialami warga. Kritik ini bukan tentang pribadi Farhan, melainkan arah dan langkah pemerintah kota.
Hasil survei Parameter Konsultindo (Parmet) terhadap 485 responden dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan margin error sekira 4,5%, tingkat kepercayaan 95%, dengan pelaksanaan survei pada 3-10 Mei 2025 menunjukkan kalau 44% masyarakat Bandung puas dengan kinerja Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Wakil Wali Kota Erwin. Sebanyak 47,6 persen tidak puas, dan 8,5 persen warga tidak tahu atau tidak menjawab. Masalah yang paling banyak disebut warga berdasarkan survei tersebut yaitu sampah, pengangguran, dan kemacetan. Tiga maslah tersebut bukan data mengejutkan melainkan memang wajah harian Kota Bandung.
Pertama, masalah sampah. Program unggulan Pasukan Warga tercantum jelas dalam Bandung UTAMA memperkuat pasukan Gober dan menginisiasi skema Public-Private Partnership dalam pengelolaan sampah. Namun 8 bulan berjalan, warga belum melihat transformasi signifikan. TPS penuh di jam-jam tertentu masih biasa kita temui. Edukasi pemilahan sampah belum masif. TPA masih jauh dari ideal.
Kedua, masalah transportasi publik. Seorang pakar menyebut Bandung 25–30 tahun stagnan di moda angkot. Bandung UTAMA sebenarnya menyebut peningkatan mobilitas manusia berbasis infrastruktur yang baik sebagai pilar pembangunan. Namun hingga saat ini modernisasi angkot belum terlihat, jalur bus kota tak bertambah, dan kemacetan makin padat. Transportasi publik adalah jantung mobilitas kota. Tanpa gebrakan, Bandung tetap kota macet yang hidup “per ritase”.
Ketiga, masalah ekonomi & lapangan kerja. Visi mengatakan ingin menciptakan SDM unggul, ekonomi produktif, dan inkubator bisnis di setiap kecamatan. Sebagian program baru masuk tahap sosialisasi dan belum menunjukkan dampak nyata terhadap penyerapan tenaga kerja.

Dalam dokumen visi visi Bandung utama, Farhan–Erwin menekankan Bandung sebagai kota terbuka dan “kota yang menerima kritik dan gagasan”. Langkah seperti Sidang Rakyat Jumaahan sebenarnya menarik, warga bisa bertemu langsung Wali Kota setiap Jumat. Namun tantangannya: Apakah ruang itu benar-benar menyerap suara warga atau sekadar ritual simbolik? apakah keluhan warga tindak-lanjut-nya terukur? dan apakah laporan warga dimonitor secara transparan?. Seyogyanya, Bandung membutuhkan mekanisme partisipasi yang bukan hanya mengundang, tetapi juga mengolah, mengimplementasikan, dan melaporkan kembali.
Dalam beberapa kesempatan, Farhan sering menyampaikan bahwa kepemimpinannya menggunakan soft power, bukan hard power, pemimpin yang dipatuhi karena kebijaksanaan, bukan ancaman . Sebuah visi yang baik. Tapi soft power tanpa kejelasan prioritas, timeline, dan keberanian mengambil keputusan berisiko berubah menjadi soft performance, ramah di media sosial, tetapi lemah dalam eksekusi.
Bandung butuh sosok Wali Kota yang mampu mengurai masalah secara sistematis, berani mengambil langkah tidak populer, mempercepat transformasi transportasi, memperkuat manajemen sampah berbasis data, mengoptimalkan program-program Bandung UTAMA dengan target terukur, kembali pada janji awal: Bandung harus lebih baik.
Beberapa harapan tersematkan kepada pupuhu Kota Bandung. Pertama, Tetapkan 3 prioritas 2026. Warga butuh fokus. Misalnya: sampah – transportasi – ekonomi warga. Tiga itu saja dulu. Eksekusi dalam bentuk regulasi, anggaran, dan timeline. Kedua, luncurkan dashboard kinerja publik. Sesuai visi kota terbuka dan akuntabel. Semua program dilaporkan real-time: progres, hambatan, anggaran, dan capaian. Ketiga, modernisasi transportasi dalam 1 Tahun. Mulai dari hal yang paling mungkin: jalur angkot prioritas, digitalisasi rute, integrasi pembayaran, dan uji coba rute bus baru. Keempat, revolusi pengelolaan sampah. Bandung butuh social engineering dan skema PPP (Public–Private Partnership), skema kemitraan pemerintah dan swasta yang nyata. Pilot project di 5 kecamatan dengan insentif ekonomi pada pemilahan sampah. Kelima, perbesar kolaborasi warga. Bandung UTAMA menyebut triple helix—pemerintah, akademisi, pengusaha. Tapi jangan lupa helix keempat: warga. Bandung tanpa warga bukan apa-apa.
Baca Juga: Muhammad Farhan: Kota Bandung Darurat Sampah!
Kota ini tidak menuntut kesempurnaan dari pemimpinnya. Bandung hanya menuntut konsistensi, kehadiran nyata, dan keberanian mengubah. Bandung adalah kota yang dibangun dari gotong royong, dari budaya sauyunan, dari cinta yang tidak pernah berhenti meski sering dikecewakan. Karena itu, catatan warga ini bukan bentuk kemarahan melainkan bentuk perhatian. Bentuk rasa memiliki. Bentuk cinta yang ingin kota ini tetap indah, nyaman, dan manusiawi. Kita menagih janji bukan karena benci, tapi karena peduli.
Dan seperti kata Farhan sendiri: “Jika kita berbicara tentang Bandung, kita tidak sedang berkompetisi, tapi sedang berkolaborasi.” Maka catatan ini adalah ajakan: Mari benar-benar berkolaborasi. Pemerintah dan warga. Demi Bandung yang benar-benar UTAMA. (*)
