AYOBANDUNG.ID - Cimahi itu unik. Luasnya kecil, tapi jejak sejarahnya panjang. Kota ini lahir dari sebuah sungai, dibesarkan oleh barak-barak militer, lalu dibentuk ulang oleh surat keputusan pemerintah. Jadilah Cimahi, kota tentara yang akhirnya bisa mengurus rumah tangganya sendiri.
Cimahi pernah dianggap cuma anak bawang Kabupaten Bandung. Seiring waktu, kota kecil ini belajar mandiri: dari sekadar kecamatan, naik jadi kota administratif, sampai akhirnya berani menuntut otonomi. Tahun 2001, tuntutan itu terkabul, Cimahi pun resmi berdiri sendiri, tak lagi sekadar bayangan Bandung.
Jejak asal-usul Cimahi berangkat dari sebuah sungai. Nama āCimahiā diyakini berasal dari kata ci (air) dan mahi (cukup), alias āair yang cukupā. Sejak abad ke-19, Belanda sudah melirik daerah ini karena letaknya strategis: persis di jalur antara Batavia (Jakarta) dan Bandung. Maka tak heran, Cimahi dijadikan pos militer penting.
Tahun 1935, pemerintah kolonial mengukuhkan Cimahi sebagai kecamatan lewat Staatsblad, semacam lembaran negara versi Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Cimahi tetap nangkring sebagai kecamatan di Kabupaten Bandung Utara.
Baca Juga: Sejarah Bandung, Kota Impian Koloni Eropa yang Dijegal Gubernur Jenderal
Status Cimahi naik kelas pada 1962, jadi kawedanaan. Kawedanaan Cimahi kala itu membawahi empat kecamatan: Cimahi, Padalarang, Batujajar, dan Cipatat. Ini menandakan wilayah ini makin ramai, bukan hanya oleh tentara, tapi juga industri dan penduduk yang makin menumpuk.
Lompatan besar datang pada 1975. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1975, Cimahi resmi jadi Kota Administratif (Kotip). Peresmiannya dilakukan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud pada 29 Januari 1976. Cimahi pun jadi kotip pertama di Jawa Barat. Status ini jadi suatu kebanggaan tersendiri di masa Orde Baru.
Kotip Cimahi waktu itu terdiri dari tiga kecamatan: Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan, dengan total 15 kelurahan. Luasnya sekitar 42 km². Soedarna T.M. didapuk sebagai wali kota administratif pertama (1976ā1980), meski sejatinya ia tetap bawahan bupati Bandung. Jadi kalau mau ibarat, wali kota administratif itu semacam kepala cabang, bukan bos besar.
Tapi, batas wilayah Cimahi tak selalu mulus. Tahun 1987, lewat PP Nomor 16, sebagian wilayah Cimahi yakni Pasirkaliki di utara dan Cibeureum di selatan, dilepas ke Kota Bandung. Cimahi pun sedikit menyusut, meski masih bertahan sebagai kotip di bawah Kabupaten Bandung.

Jadi Kota Otonom dan Wacana Perluasan Wilayah
Reformasi membuka jalan bagi banyak daerah untuk melepaskan diri. Tahun 2001, Cimahi resmi naik status jadi kota otonom berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2001. Peresmian dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid pada 21 Juni 2001, yang kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Kota Cimahi.
Itoc Tochija jadi penjabat wali kota pertama. Setahun kemudian, ia dilantik definitif bersama wakilnya, Dedih Djunaedi. Sejak itu, Cimahi tidak lagi bawahan Bandung, melainkan punya otonomi penuh mengurus pembangunan sendiri.
Baca Juga: Sejarah Pahit Keemasan Kopi Priangan di Zaman Kolonial, Kalahkan Yaman via Preangerstelsel
Dengan luas 40,47 km² dan penduduk kini tembus setengah juta jiwa, Cimahi tumbuh jadi kota penyangga Bandung Raya. Industri, perdagangan, pendidikan, sampai julukan Kota Tentara melekat erat. Akademi Militer, rumah sakit militer, dan markas besar TNI membuat Cimahi seperti kota garnisun. Tapi seiring industrialisasi dan urbanisasi, Cimahi juga jadi kota padat dengan tantangan khas perkotaan: banjir, sampah, macet, dan keterbatasan lahan.
Sejak 2001, Cimahi tetap bertahan dengan tiga kecamatan dan 15 kelurahan. Cimahi Selatan jadi yang paling luas dan padat, jadi wajar kalau selalu jadi pusat pembangunan. Pemerintah kota juga berusaha masuk ke era digital, dari pelayanan publik online hingga program lingkungan. Tapi masalah klasik tetap sama: wilayah terlalu kecil.
Karena itu wacana pemekaran kembali muncul. Beberapa daerah incaran bahkan sudah disebut terang-terangan untuk perluasan Cimahi: kawasan Cimindi dari Kota Bandung, Kecamatan Margaasih dari Kabupaten Bandung (yang warganya kabarnya sudah bulat mendukung), hingga Sariwangi dan Cisarua dari Kabupaten Bandung Barat. Gubernur lokal Dedi Mulyadi bahkan ikut bersuara mendukung.