Religiusitas Pengemis

Ibn Ghifarie
Ditulis oleh Ibn Ghifarie diterbitkan Kamis 11 Sep 2025, 14:27 WIB
Tanggapan Warga Soal Perda Larangan Beri Uang Pada PMKS di Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Tanggapan Warga Soal Perda Larangan Beri Uang Pada PMKS di Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Bila kita melewati titik-titik strategis, seperti lampu merah, halte, terminal (Cicaheum, Leuwipanjang), termasuk terminal bayangan elf di kawasan Bundaran Cibiru, kita acap kali melihat para pengemis, anak jalanan yang mencari belas kasih pengendara (motor, mobil) dan pejalan kaki. Pemandangan ini seolah-olah menjadi bagian dari rutinitas jalanan kota, hadir tanpa pernah benar-benar hilang.

Rupanya di balik wajah mereka yang meminta belas kasihan, tersimpan segala persoalan sosial yang mendera dan mendalam. Rasa iba sering kali mendorong orang untuk berbagi, ya sekadar memberi recehan, tapi pertanyaan mendasar yang kerap terabaikan, sampai kapan situasi ini terus berulang dan terjadi?

Kehadiran pengemis, anak jalanan tidak hanya mengingatkan pada sisi rapuh kehidupan perkotaan, melainkan menantang bagi kita untuk lebih peka terhadap ketidakadilan sosial yang melahirkan kondisi tak berdaya ini. 

Bandung, dengan citra sebagai kota kreatif dan tujuan wisata, menyimpan ironi di sudut-sudut jalannya. Di satu sisi, pembangunan dan modernitas terus digerakkan. Nyatanya pada sisi lain, masih ada wajah-wajah yang tersisih dari arus kesejahteraan, kemiskinan.

Maraknya aktivitas ini harus menjadi refleksi bersama tentang pembangunan sejati bukan hanya soal infrastruktur megah, wah, justru yang harus dicamkan bagaimana setiap warga, terutama kelompok yang paling rentan ini mendapat ruang hidup yang layak dan bermartabat.

Konon, penghasilan dari mengemis, mengamen yang mencapai  14 juta (Rp 10.920.000-Rp 14.040.000) dalam sebulan menjadi faktor tumbuh suburnya para pengemis di Kota Bandung ini. Apalagi dengan adanya "kampung pengemis" di wilayah Sukajadi tepatnya di Kelurahan Sukabungah pada RW 04 dan RW 11 (Cibarengkok) menjadi bukti nyata atas pekerja "nyaba", "turun ka jalan", "mangkat",  “milari anu welas asih”, dan “milari anu Ridho”.  

Alkisah, Munah, perempuan tua yang setiap hari duduk bersila di salah satu trotoar simpang empat Jalan Sudirman-Soekarno Hatta, Rajawali dan Cibeureum, Bandung, mengaku selalu mendapatkan uang dari para pengendara dengan hanya menadahkan tangan setiap kali lampu merah menyala. Ada dua (tiga) pengendara yang melempar recehan, lima ratus, seribu, (dua ribu) rupiah saat lampu merah menyala.   

Dengan kondisi ini Munah mendapat kesempatan 30 kali menadahkan tangan. Jika setiap kali lampu merah menyala Munah mendapat Rp 2.000, dalam satu jam penghasilannya Rp 60.000. Bila dalam sehari ia "bekerja" tujuh sampai sembilan jam, maka penghasilannya sehari itu Rp 420.000-Rp 540.000. Kalau dalam sebulan, katakanlah 30 hari dikurang empat hari libur, Munah bisa terus "bekerja" 7-9 jam sehari di perempatan jalan protokol itu, walhasil total penghasilannya sebulan akan mencapai Rp 10.920.000-Rp 14.040.000. (Tribun Jabar, 22/2/2017).

Pengemis dan pengamen di Kota Bandung belakangan ini makin marak ditemui, masyarakat diminta untuk tidak memberikan uang pada PPKS. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Pengemis dan pengamen di Kota Bandung belakangan ini makin marak ditemui, masyarakat diminta untuk tidak memberikan uang pada PPKS. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Bandung jadi 'surga' Pengemis

Aktivitas kaum Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti gelandangan dan pengemis (gepeng) di Kota Bandung terus meningkat seiring citra Bandung sebagai kota wisata. 

Data dari Dinas Sosial, mayoritas pengemis bukan warga asli, bahkan ada yang berasal dari luar pulau. Kehadiran mereka biasanya melonjak menjelang Idul Fitri atau saat menunggu musim panen di kampung halaman.

Kepala Bidang Rehabilitasi Dinsos, Galuh Karsana, menyebutkan dalam sebulan seorang pengemis bisa meraup hingga Rp14 juta. “Bayangkan saja selama dua jam berdiam di perempatan jalan mereka akan dapat paling rendah Rp 40.000," ujarnya.

Para pengemis umumnya tinggal di kos-kosan kecil dengan sewa Rp350–400 ribu per bulan dan beroperasi di pinggiran kota agar mudah kabur dari razia. Aksi mereka terorganisir, dengan sistem tukar lokasi untuk menghindari petugas.

Galuh menegaskan, donasi masyarakat di jalan menjadi pemicu utama maraknya pengemis. “Untuk itu kami berpesan untuk tidak berdonasi di jalan. Lebih baik berdonasi pada lembaga resmi," ujarnya.

Meskipun ada ancaman hukuman 10 tahun bagi koordinator pengemis, Bandung tetap menjadi "surga" dengan tujuan utama untuk mengemis. (Ayo Bandung, Selasa, 28 Februari 2017 | 17:52 WIB)

Kampung pengemis di Kota Bandung, Rabu (23/11/2016). (Sumber: ayobandung.com | Foto: Husnul)
Kampung pengemis di Kota Bandung, Rabu (23/11/2016). (Sumber: ayobandung.com | Foto: Husnul)

Keberagamaan Pengemis

Memang, selama pemerintah tidak berdaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pekerjaan susah didapat, maka dipastikan para “milari anu welas asih” ini akan terus langgeng. Pasalnya, keberadaan pekerja "turun ka jalan"  ini tidak hanya berkaitan erat dengan kemiskinan, ekonomi, budaya, sosial, tapi dengan sikap keberagamaan para “milari anu Ridho” dalam menjalani kehidupan ini agar tetap bertahan dan terjaga keberlangsungannya.

Betapa tidak, hasil penelitian Heny Gustini Nuraeni tentang keberagamaan pengemis: studi kasus di kampung pengemis, Sukajadi Kota Bandung menguraikan kemiskinan merupakan isu penting yang tidak hanya menjadi tanggungjawab negara, tapi menjadi perhatian agama (Islam).

Ajaran-ajaran agama (Islam) sesungguhnya tidak dapat dilaksanakan secara maksimal dan komperhensif, jika penganutnya tidak mampu secara finansial.Ini tentu akan berpengaruh terhadap pengalaman keagamaan yang dimiliki penganut agama. 

Disertasi Program Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung ini menunjukkan; Pertama, di kalangan pengemis ditemukan adanya keyakinan terhadap Tuhan, nenek moyang mereka, mitos; adanya penggunaan simbol-simbol keagamaan berupa doa-doa, jampi-jampi dan penggunaan magic.

Kedua, dalam perbuatan, ritual ada pengemis yang rajin melakukan shalat dan ada pula yang malas-malasan melaksanakannya, bahkan ada yang menjalankan puasa dan berhaji. Diantara pengemis yang memiliki kepercayaan terhadap mitos, ritual yang dilakukan berupa ziarah kubur, mendatangi ahli magic, melaksanakan puasa wedal, puasa mutih dan melakukan semedi.

Ketiga, semua itu bertujuan untuk melancarkan usaha mereka dalam persekutuan keagamaan ditemukan bahwa terdapat pengemis yang aktif di majelis taklim dan memiliki jemaah sendiri, bahkan berperan sebagai guru mengaji.

Dari temuan di atas dapat disimpulkan bahwa agama hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan mereka, apakah ekonomi ataupun yang lainya. Mengingat pengemis merupakan sebuah budaya dan menjadi kultur sosial, agama tidak dapat dipisahkan dari budaya mengemis ini. 

Bagi Ambu Heny keberagamaan pengemis merupakan ekspresi dan aktualisasi keagamaan yang diyakini pengemis dalam kehidupannya baik saat mereka berada di tempat tinggal mereka, maupun saat melaksanakan aktivitasnya sebagai pengemis.

Pengemis sebagai manusia memiliki hasrat keberagamaan yang memiliki keyakinan dan kepercayaan yang mampu memberi makna yang bisa menjalankan hubungan antara dirinya dengan Tuhan.Mereka memiliki keterlibatan emosi dan sentimen pada pelaksanaan ajaran agama yang diyakininya.

Dengan demikian, penelitian ini menyatakan; Pertama, pengemis sebagai masyarakat marginal memiliki cara beragama yang khas. Keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan dan leluhur, ritual keagamaan yang disesuaikan dengan keadaan dirinya, tanpa harus memperdulikan aturan (tata tertib) sebenarnya. Bagi mereka berdoa, puji, terima kasih, penilaian diri sendiri, tobat merupakan tingkah laku agama. Agama diperlukan sesuai dengan kebutuhan meraka. 

Kedua, menjadi pengemis merupakan sebuah budaya kemiskinan dan mengemis sudah menjadi kultur sosial bagi sebagian masyarakat. Karena itu agama tidak dapat dipisahkan dari budaya mengemis. (Disertasi Heny Gustini Nuraeni, 2014:ii, 345-347).

Pengemis di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Pengemis di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Komodifikasi Agama

Kendati dalam masyarakat ada anggapan menjadi pengemis itu termasuk dalam pekerjaan hina, bahkan sering disebut sebagai sampah masyarakat. Rupanya di “Kampung Pengemis”, yang berada di RW 04 dan di RW 11 (Cibarengkok) Kelurahan Sukabungah Kecamatan Sukajadi pengemis itu pekerjaan “mulia, sungguh-sungguh”. Walaupun agama kerap dijadikan komoditi oleh para “milari anu Ridho” ini.   

Dalam pandangan mereka, menjadi pengemis bukan sebuah perbuatan yang bertentangan dengan norma keagamaan, justru mereka berfikir bahwa norma agama yang ada telah memberikan inspirasi yang menakjubkan bagi pekerjaannya.

Apalagi mereka sering mendengarkan ceramah para Ustad yang mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Ini dianggap sebagai peluang dan memberi kesempatan kepada para konsumen untuk memberi mereka uang dan yang pasti pahala untuk para dermawan.

Uniknya, pengemis mempunyai gaya hidup hedonis serba materi, agama hanya hayalan belaka. Ini sejalan dengan pemikiran Karl Marx, bahwa manusia merealisasikan diri hanya dalam khayalan agama, karena struktur masyarakat nyata tidak mengijinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh.

Para pengemis tidak benar-benar menghayati keagamaan yang mereka anut, ritual yang dilakukan seperti shalat dan puasa tidak merubah pola pikir dan cara hidup mereka yang tetap memilih menjadi pengemis, sesudah kaya pun mereka tetap saja mengemis, bahkan aktivitas itu ditularkan kepada keturunannya hingga empat generasi. 

Rupanya, urusan model pengemis kerap menggunakan simbol-simbol keagamaan; dengan cara memberikan doa pada yang memberikan uang, mampu mengetuk rasa keberagamaan para dermawan, membaca Al-Quran dan mendemonstrasikan hafalan Quran, menggunakan magic dan mitos, membaca solawat dengan diiringi rebana, pengemis wanita memakai baju muslim dan laki-laki memakai baju koko.

Untuk modus operandi pengemis ada 18 bentuk; datang dari rumah ke rumah, menggendong bayi, manusia silver, menuntun tunanetra, menggendong orang cacat, berpura-pura tidak melihat, membawa anak yatim dan proposal, membawa monyet, menari dan menggunakan topeng, membawa kemoceng, menggunakan alat tradisional seperti kecapi dan suling, duduk sambil membaca Al-Quran, menggunakan hafalan shalawat dan Al-Quran, membaca shalawat dan tape recorder, membawa kotak amal untuk masjid, bermain drama di bis kota, berdakwah di bis kota dan memperalat anak asuh.     

Baca Juga: Komunikasi Politik Pajak

Nyatanya di kalangan pengemis ini mereka melakukan modifikasi terhadap ajaran-ajaran agama sehingga mampu menghasilkan keuntungan secara ekonomi sesuai dengan keinginan dan harapan, mereka telah melakukan komodifikasi keagamaan. Barang-barang keagamaan dikalangan pengemis muncul dalam berbagai bentuk, rupa, dan warna. Menghafal Al-Qur’an, doa, jampi-jampi, berbagai jenis minyak pengasihan, rajah untuk mendapatkan kekuatan, sesaji, untuk manusia yang dianggap keramat. Ini semua memiliki nilai pertukaran dan kegunaan bermotifkan ekonomi (uang). (Jurnal Dakwah, Vol. XVI, No. 2 Tahun 2015:258-289)

Walhasil, tumbuh suburnya pengemis di Kota Bandung bukan hanya dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, sosial, budaya, susahnya mencari pekerjaan, ketidak memiliki kemampuan (ahli) dalam bekerja, tapi pemahaman keagamaan yang menerima takdirnya sebagai pengemis yang tidak bisa dirubah menjadi pemicu keberadaan “kampung pengemis.” Ini perlu kita kritisi cara berpikir dan berkeyakinan model itu, sehingga terlahir teologi aktif yang terus menggerakkan hati, pikiran, keyakinan untuk bekerja dan mendapatkan uang.  

Tentunya, upaya mengentaskan persoalan pengemis, pengamen ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintah Kota Bandung, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama dalam menyelesaikan persoalan pengemis dan kemiskinan ini.

Caranya carilah nafkah, sesuai dengan kemampuan masing-masing yang telah diberikan bekal, potensi yang baik dan halal, bukan mengandalkan belas kasihan orang untuk menerima dermaan dan sedekah. Mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan umat yang selalu aktif memberi daripada menerima. Apalagi meninta-minta dengan cara paksa. Semoga. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Ibn Ghifarie
Tentang Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Komunikasi Politik Pajak

Ayo Netizen 11 Sep 2025, 08:45 WIB
Komunikasi Politik Pajak

News Update

Ayo Netizen 30 Okt 2025, 19:42 WIB

Perempuan Pemuka Agama, Kenapa Tidak?

Namun sejarah dan bahkan tradisi suci sendiri, tidak sepenuhnya kering dari figur perempuan suci.
Dalam Islam, Fatimah az-Zahra, putri Nabi, berdiri sebagai teladan kesetiaan, keberanian, dan pengetahuan. (Sumber: Pexels/Mohamed Zarandah)
Beranda 30 Okt 2025, 19:40 WIB

Konservasi Saninten, Benteng Hidup di Bandung Utara

Hilangnya habitat asli spesies ini diperkirakan telah menyebabkan penurunan populasi setidaknya 50% selama tiga generasi terakhir.
Leni Suswati menunjukkan pohon saninten. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 30 Okt 2025, 17:33 WIB

Mental Mengemis sebagai Budaya, Bandung dan Jalan Panjang Menuju Kesadaran Sosial

Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan.
Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. (Sumber: Pexels)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 17:24 WIB

Review Non-Spoiler Shutter versi Indonesia: Horor lewat Kamera yang Tidak Biasa

Shutter (2025) adalah sebuah film remake dari film aslinya yang berasal dari Negeri Gajah Putih (Thailand), yaitu Shutter (2004).
Shutter (2025) adalah sebuah film remake dari film aslinya yang berasal dari Negeri Gajah Putih (Thailand), yaitu Shutter (2004). (Sumber: Falcon)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 16:33 WIB

Sastra dan Prekariat: Ketimpangan antara Nilai Budaya dan Realitas Ekonomi

Kehidupan penulis sastra rentan dengan kondisi prekariat, kaum yang rentan dengan kemiskinan.
Para penulis yang mengabdikan diri pada sastra terjebak dalam kondisi prekariat—kelas sosial yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi. (Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko)
Ayo Biz 30 Okt 2025, 15:56 WIB

Dorong Kolaborasi dan Literasi Finansial, Sosial Media Meetup Bakal Digelar di Bandung

Indonesia Social Media Network (ISMN) yang digagas Ayo Media Network akan menggelar kegiatan ISMN Meetup 2025 di Bandung, pada 2 Desember 2025 mendatang.
Indonesia Social Media Network (ISMN) yang digagas Ayo Media Network akan menggelar kegiatan ISMN Meetup 2025 di Bandung, pada 2 Desember 2025 mendatang. (Sumber: dok. Indonesia Social Media Network (ISMN))
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 15:43 WIB

Gaya Komunikasi Teknokrat

Komunikasi dalam pemerintahan sejatinya dipakai untuk saling mendukung dalam mensukseskan program atau kebijakan pemerintah untuk publik.
Purbaya sebagai seorang figur dan representasi pemerintah, gaya komunikasi menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya, dan selalu menjadi sorotan. (Sumber: inp.polri.go.id)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 15:13 WIB

Sarkanjut, Cekungan Berair yang Tersebar Luas

Toponimi Sarkanjut, gabungan dari kata sar dan kanjut, secara arti kata, sarkanjut adalah kantong yang banyak tersebar di kawasan itu.
Citra satelit Situ Sarkanjut, di Tambaksari, Kecamatan Leuwigoong, Kabupaten Garut. (Sumber: Citra satelit: Google maps)
Ayo Jelajah 30 Okt 2025, 14:42 WIB

Sejarah Stadion Sidolig, Saksi Bisu Perjuangan Sepak Bola Bandung

Sidolig dulunya simbol diskriminasi di Hindia Belanda, kini jadi saksi lahirnya legenda-legenda Persib Bandung.
Pertandingan antara SIDOLIG dengan de Militaire Gymnastiek- en Sportschool. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 14:41 WIB

Penguatan Fondasi Numerasi melalui Kelas Berhitung Sederhana

Numerasi merupakan kemampuan dasar yang menjadi fondasi penting bagi anak-anak dalam memahami berbagai aspek perhitungan di kehidupan.
Kelas mengitung sederhana di padepokan kirik nguyuh(11/10/2025)
Ayo Biz 30 Okt 2025, 14:36 WIB

Kemacetan Bandung Bukan Sekadar Lalu Lintas, Ini Soal Kesadaran Kolektif

Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya.
Kemacetan bukan sekadar gangguan lalu lintas, tapi cerminan tata kelola kota yang belum sepenuhnya adaptif terhadap lonjakan urbanisasi dan perubahan perilaku mobilitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 13:15 WIB

Inspirasi dari Kampung Nyalindung, Petani Inovatif yang Mengubah Desa

Seorang petani biasa yang mengubah desanya daei sektor pertanian.
Petani Biasa yang mengubah desa dari sektor pertanian, Ahmad Suryana asal kampung nyalindung. (Foto: fikri syahrul mubarok/Sumber: Dokumentasi penulis)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 11:11 WIB

Nongkrong Estetik Tanpa Khawatir Kantong Jebol

Mau nongkrong santai, nugas bareng, atau sekadar hunting foto estetik, semua bisa kamu lakuin di sini tanpa takut kantong jebol!
 (Sumber: Akun Instagram @hangout Oi_)
Beranda 30 Okt 2025, 09:50 WIB

Ulin Barong Sekeloa, Tarian Tua yang Hidup Kembali di Tangan Generasi Z Bandung

Ia menyesalkan bahwa dulu, banyak kegiatan kesenian tidak terekam dengan baik. Kini, dokumentasi menjadi prioritas agar generasi mendatang punya jejak untuk dipelajari.
Seni Ulin Barong kesenian khas Sekeloa Kelurahan Lebakgede yang usianya sudah lebih dari satu abad. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 09:20 WIB

Belajar di Era Digital: Media, Sahabat Baru ASN

Di era digital, belajar tidak bisa lepas dari peran media.
Aparatur Sipil Negara (ASN). (Sumber: dinkominfo.demakkab.go.id)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 07:04 WIB

Bukan Sekedar Tren 'Clean Eating' Bentuk Tanggung Jawab terhadap Bumi

Clean eating tidak hanya sekedar upaya dalam menjaga tubuh tetap sehat melainkan bisa menjadi upaya menjaga bumi.
Siapa sangka Clean Eating adalah langkah paling kecil dan sederhana untuk menjaga bumi (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 29 Okt 2025, 20:38 WIB

Sunyi yang Tak Pernah Sepi, Rumah Cemara dan Luka yang Dirawat Diam-diam

Datang tanpa suara, menyusup pelan ke dalam tubuh, lalu menetap. HIV bukan penyakit yang berteriak. Ia diam, menyembunyikan diri di balik senyum, rutinitas, dan pakaian bersih.
Datang tanpa suara, Menyusup pelan ke dalam tubuh, lalu menetap. HIV bukan penyakit yang berteriak. Ia diam, menyembunyikan diri di balik senyum, rutinitas, dan pakaian bersih.
Ayo Netizen 29 Okt 2025, 20:24 WIB

Mengenal Sel Super Maximum Security (SMS) yang Ditempati Artis Ammar Zoni di Nusakambangan

Kali ini bukan terkait terorisme, tetapi menyangkut Ammar Zoni yang baru saja menjadi penghuni baru Lapas Nusakambangan.
Ammar Zoni. (Sumber: PMJ News)
Ayo Biz 29 Okt 2025, 18:40 WIB

Bandung, Kota Bakmi Baru? Menakar Potensi Pasar Kuliner Lewat Festival Tematik

Bandung, dengan populasi lebih dari 2,5 juta jiwa dan tingkat kunjungan wisata yang tinggi, menjadi lahan subur bagi pertumbuhan bisnis kuliner berbasis mie.
Bandung, dengan populasi lebih dari 2,5 juta jiwa dan tingkat kunjungan wisata yang tinggi, menjadi lahan subur bagi pertumbuhan bisnis kuliner berbasis mie. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 29 Okt 2025, 18:03 WIB

Yang Dilakukan Ratu Belanda Saat KAA Dihelat di Bandung

Sejarah mencatat ketika suasana Bandung memanas dengan pekik kemerdekaan dalam Konferensi Asia-Afrika, Ratu Juliana leih memlih utuk terhanyut dalam suasana dingin ala Eropa, sedingin sikapnya terhada
Ratu Juliana (kiri) berfoto di Paleis Soestdijk saat ultah ke-46. (Sumber: Het Nieuewesblad van Het Zuiden 2 Mei 1955)