Saat ngobrol santai, seorang kawan nyeletuk soal maraknya rojali (rombongan jajan lihat-lihat) dan rohana (rombongan hanya nanya-nanya)
“Nya, sesekali refreshing, hiling biar hidup gak rungsing. Setuju, Mang?” ujarnya.
Kujawab singkat: “Nya!”
Obrolan sore itu ditutup dengan satu kalimat dari kawanku,
“Untuk menjadi waras dan bahagia itu nggak datang dari orang lain. Kita yang harus ciptakan sendiri.”

Hikayat Rojali dan Rohana
Dalam liputan Kompas bertajuk “Fenomena Rojali dan Rohana, Potret Pelemahan Daya Beli atau Strategi Atur Ekonomi?”, istilah rojali dan rohana digambarkan sebagai sindiran sosial yang menggelitik sekaligus mengandung makna ekonomi yang dalam dan unik.
Rojali akronim dari rombongan jarang beli. Rohana adalah singkatan dari rombongan hanya nanya. Keduanya merujuk pada fenomena masyarakat yang datang beramai-ramai ke pusat perbelanjaan tanpa niat, kemampuan untuk benar-benar berbelanja. Pasalnya, mereka sekadar melihat-lihat, menanyakan harga, dan membandingkannya dengan harga di lokapasar daring.
Parahnya, fenomena ini tampak jelas di akhir pekan ketika mal-mal dipadati pengunjung. Namun, tidak semua pengunjung melakukan transaksi pembelian.
Sebagian besar justru menikmati suasana sejuk dan bersih di dalam mal, sambil membeli kopi, camilan ringan, menjadikan aktivitas ini sebagai ajang hiburan murah meriah, berkumpul bersama keluarga, teman, sekaligus “cuci mata” melihat-lihat etalase produk.
Meskipun bukan hal baru, kebiasaan rojali dan rohana semakin masif dalam dua pekan terakhir, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Menurunnya daya beli masyarakat menjadi salah satu indikatornya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal pertama 2025 hanya mencapai 4,87 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu (4,91 persen), dan jauh di bawah rata-rata sebelum pandemi yang mencapai 5,4 persen.
Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 52 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Kondisi ini diperparah oleh kelompok kelas menengah atas yang masih menahan konsumsi.
Kelompok ini biasanya menopang sekitar 70 persen konsumsi rumah tangga di Indonesia. Alih-alih membelanjakan uangnya, mereka kini cenderung menyimpannya dalam berbagai instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menyatakan fenomena rojali merupakan sinyal penting bagi para pengambil kebijakan.
Mereka tidak hanya perlu fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi harus menjaga ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga, khususnya pada kelas menengah bawah.
Perilaku rojali mencerminkan kebutuhan akan eksistensi sosial (social presence). Di tengah keterbatasan daya beli, konsumen tetap ingin tampil dan terkoneksi secara sosial.
Pusat perbelanjaan, kafe menjelma menjadi ruang publik sekaligus panggung sosial untuk menunjukkan keberadaan dan menjaga harga diri di mata publik. (Kompas edisi 28 Juli 2025).

Merawat Rumah Tangga
Ingatlah, rumah tangga adalah pilar utama kebahagiaan dalam kehidupan manusia.
Rumah tangga merupakan fondasi dasar kehidupan manusia. Bukan sekadar ikatan legal (tempat tinggal), tetapi menjadi ruang suci tempat cinta tumbuh, tanggung jawab dibagi, dan kebahagiaan sejati dirajut setiap hari.
Saat berumah tangga, manusia belajar mengenali dirinya sekaligus menyelami makna hidup melalui kebersamaan yang intim dan penuh makna.
Muhammad Kosim, dalam tulisannya “Pilar Keluarga Bahagia”, menjelaskan keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dapat diraih dengan membangun fondasi utama yang kuat sebagai landasan agama yang kokoh dan tiga pilar utama humanis, hirarkis, dan harmonis.
Setiap orang tentu mendambakan kebahagiaan dalam keluarga, bukan hanya untuk kehidupan dunia, tapi harus langgeng hingga akhirat. Untuk meraih kebahagiaan itu diperlukan pondasi yang benar-benar kuat.
1. Pilar Humanis
Keluarga harus dibangun dengan memenuhi kebutuhan manusia secara utuh, baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupan berumah tangga, perhatian tidak boleh hanya terfokus pada hal-hal fisik dan material, melainkan pada kesehatan jiwa dan spiritualitas anggota keluarga.
2. Pilar Hirarkis
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan Allah SWT. Namun, dalam konteks kehidupan berumah tangga, dibutuhkan struktur kepemimpinan demi keteraturan. Inilah pentingnya hirarki, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan…” (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Istri dianjurkan untuk patuh kepada suaminya selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketaatan kepada Allah. Sebaliknya, suami harus adil dan tidak berlaku zalim kepada istrinya. Hirarki dalam keluarga bukanlah bentuk tirani, tetapi mekanisme untuk menjaga keluarga tetap berada di jalan yang lurus dan terhindar dari siksa api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6).
3. Pilar Harmonis
Keluarga bahagia adalah keluarga yang harmonis, antara suami, istri, dan anak-anaknya. Inilah makna keluarga sakinah, sebagaimana disebut dalam QS ar-Rum [30]: 21:
“…dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang…”
Rasa cinta dan kasih sayang yang ditanamkan karena Allah akan menjaga keharmonisan rumah tangga. Al-Qur’an memerintahkan agar suami memperlakukan istri dengan baik:
“…dan bergaullah dengan mereka secara makruf.” (QS an-Nisa’ [4]: 19)
Rumah tangga bukan sekadar tempat tinggal bersama, tetapi menjadi medan perjuangan membangun kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang lahir dari cinta, terarah oleh agama, dan tumbuh dari keharmonisan. (Republika, 19 Februari 2022).

Merayakan Kebahagiaan
Dalam tulisan berjudul "Konsep Kebahagiaan Komaruddin Hidayat dan Relevansinya dengan Tasawuf" oleh M. Hendi Bayu Pratama dkk., dijelaskan Guru Besar UIN Jakarta kebahagiaan berkaitan erat dengan martabat dan struktur kejiwaan setiap individu.
Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bersifat tunggal, melainkan terdiri dari jenjang dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan eksistensial manusia.
Setidaknya terdapat tiga pilar utama yang dapat memengaruhi kebahagiaan seseorang:
1. Memiliki keluarga yang baik (having a good family),
2. Memiliki pekerjaan yang layak dan bermakna (having a good job), dan
3. Memiliki teman-teman serta komunitas yang sehat (having good friends and community).
Selain pilar-pilar itu, kebahagiaan memiliki dimensi dan tahapan yang membentuk tangga-tangga menuju puncak kebahagiaan. Setiap manusia dapat menapaki hierarki kebahagiaan ini sesuai dengan kesadaran dan kualitas jiwanya.
Secara garis besar, mantan Rektor UIII membagi jenjang eksistensi manusia ke dalam lima tingkatan; Jasadi (fisik), Nabati (tumbuh-tumbuhan), Hewani (insting, binatang), Insani (intelektual, kemanusiaan) dan Ruhani (spiritual, ketuhanan).
Pada tingkat nabati dan hewani, manusia cenderung mencari kebahagiaan yang bersifat fisik dan instingtif, misalnya berupa kenikmatan ragawi, kesenangan sesaat, atau pemenuhan kebutuhan dasar.
Namun seiring peningkatan kualitas jiwa, manusia dapat naik ke level insani, yang ditandai dengan kebahagiaan intelektual (intellectual happiness), kebahagiaan moral (moral happiness), dan kebahagiaan sosial (social happiness). Ini adalah kebahagiaan yang lebih abstrak dan berakar pada akal budi serta tanggung jawab sosial.
Puncaknya adalah kebahagiaan spiritual (spiritual happiness), yaitu saat seseorang mampu mengendalikan nafsu, pikiran, dan perbuatan melalui jiwa rabbani.
Pada tingkatan ini, manusia merasakan kedekatan dengan Tuhan dan dipenuhi oleh kasih sayang-Nya. Inilah bentuk kebahagiaan tertinggi yang tidak bergantung pada kondisi luar, melainkan bersumber dari kedalaman batin. (Jurnal Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni (JISHS), Vol. 02 No. 04, Juli–September 2024: 716–726).
Sekedar contoh kebahagiaan orang tua tidak terletak pada seberapa banyak harta, kekayaan yang dapat mereka wariskan, melainkan pada sejauh mana mereka berhasil mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang berilmu dan berintegritas. Inilah bentuk kebahagiaan yang lebih mendalam dan bermakna.
Di sinilah muncul dimensi kebahagiaan yang disebut moral happiness, kebahagiaan yang dirasakan ketika seseorang mampu memberikan manfaat bagi orang lain.
Moral happiness sangat erat kaitannya dengan social happiness, karena kebahagiaan moral akan lebih terasa apabila seseorang mampu membangun relasi sosial yang sehat, hangat, dan saling menguatkan.
Moral happiness bukan hanya tentang kebaikan pribadi, tetapi erat keberhasilan seseorang dalam menebar kebaikan di tengah kehidupan sosialnya. Itulah kebahagiaan yang tumbuh dari nilai-nilai kebaikan, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama. (Komaruddin Hidayat, 2013: 102).
"Kebahagiaan sejati itu bukan soal banyaknya harta atau tingginya jabatan, tapi tentang hati yang tenang, relasi yang hangat, dan perasaan cukup serta syukur atas apa yang dimiliki."

Menjaga Kewarasan
Di tengah derasnya arus tren media sosial, masyarakat kian gemar membagikan aktivitas kehidupan sehari-hari, mulai dari momen liburan, saat menghadapi masalah, putus cinta, tugas yang menumpuk, hingga perasaan lelah yang tak terungkapkan.
Dalam situasi seperti itu, kata healing sering digunakan sebagai ungkapan untuk menggambarkan kebutuhan akan waktu rehat (rekreasi) sejenak dari rutinitas yang melelahkan.
Namun, pada kenyataannya, healing bukanlah sekadar aktivitas liburan biasa, melainkan mengandung makna pemulihan, baik secara fisik, emosional, maupun mental.
Di tengah budaya digital yang kerap menyodorkan kebahagiaan instan, penting untuk mengingat bahwa pemulihan sejati tidak hanya didapat dari perjalanan ke tempat indah, justru hadir dari relasi yang sehat dan dukungan emosional yang kuat, terutama dari diri sendiri, keluarga.
Dengan demikian, bila ingin masyarakat yang tangguh, bangunlah rumah tangga yang kokoh. Jika ingin kehidupan yang bermakna, mulailah dari keluarga yang hangat. Pasalnya dari sanalah, akar kebahagiaan manusia tumbuh subur dan menguat. (*)