Ditulis oleh Jatmika Aji Santika*
Beberapa hari belakangan Asia Tenggara ikut mewarnai kondisi global yang tengah memanas, eskalasi konflik terjadi antara Thailand dan Kamboja yang berselisih mengenai perbatasan negara.
Untungnya, konflik ini berhasil reda dan kedua negara bersedia mencapai kesepakatan untuk berdamai. Kendati demikian, konflik ini menyulut negara lainnya, Indonesia dan Malaysia kembali bersitegang mengenai batas negara, yaitu laut Ambalat.
Bukan kali pertama ketegangan terjadi antara Indonesia dan Malaysia, hubungan kedua negara yang dijuluki serumpun ini memang sering mengalami pasang surut, yang jadi pertanyaan sejak kapan konflik kedua negeri ini terjadi?
Lalu mengapa konflik bisa terjadi padahal kedua negeri ini dijuluki “serumpun”? Artikel ini akan membahas secara singkat sejarah konflik antara Indonesia dan Malaysia.
Jika kita melihat sejarah, ketegangan antara kedua negara bermula di masa Orde Lama. Soekarno menolak pembentukan federasi Malaysia yang menggabungkan Serawak, Sabah, Brunei dan Singapura.
Menurut Soekarno, federasi tersebut membahayakan kedaulatan Indonesia karena Inggris menjadi dalang dibalik pembentukannya, Soekarno menganggap pembentukan federasi tanah melayu hanya menjadi boneka “Nekolim”.
Ketakutan Soekarno berlanjut menjadi konfrontasi fisik antara Indonesia dan Malaysia, Soekarno menyuarakan slogan Ganyang Malaysia.
Upaya diplomasi antara Indonesia dan Malaysia sempat coba ditempuh, namun konflik dengan Malaysia akhirnya berujung pada keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Soekarno tidak terima negara Malaysia yang dianggap sebagai proyek Neokolonialisme Inggris di Asia Tenggara masuk sebagai anggota dewan keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa. Hubungan antara Malaysia-Indonesia mereda setelah Soekarno Lengser dan Soeharto berkuasa.
Di masa Soeharto, hubungan Indonesia-Malaysia terbilang mesra bahkan negeri Jiran lebih menghargai kepemimpinan Soeharto, hingga saat ini terdapat tempat yang diberi nama Felda Soeharto atau Kampung Soeharto dan rumah sakit yang diberi nama Soeharto.
Namun, hubungan kedua negara kembali bersitegang di era reformasi, pemicu konflik kali ini beragam, dari sengketa wilayah, penyelundupan kayu, penganiayaan TKI, mundurnya Indonesia dari Kejuaraan Karate Asia, hingga klaim kebudayaan.
Wilayah Sipadan-Ligitan membuat Indonesia-Malaysia berkonflik, masing-masing negara mengklaim daerah tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk menuntaskan persengketaan tersebut, akhirnya Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk menyerahkan persoalan ini ke Mahkamah Internasional.
Pada 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengakhiri persengketaan yang berlangsung sejak tahun 1967, dengan menyatakan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai milik Malaysia. Selain itu pada tahun 2005, daerah Ambalat yang berada di Sulawesi turut menjadi wilayah yang disengketakan kedua negara.
Terdapat minyak mentah yang berlimpah di kawasan ini. Malaysia memberikan izin kepada perusahaan minyak Shell untuk mengeksploitasi sumber daya minyak yang terdapat di daerah tersebut.
Hal ini membuat geram Indonesia dikarenakan klaim kepemilikan kekayaan bahan mentah dilakukan di wilayah milik Indonesia. Tidak hanya minyak, sumber daya alam negeri ini seperti kayu mengalir menuju Malaysia dengan cara illegal.
Pada tahun 2001, terjadi pencurian dan penyelundupan kayu dari Indonesia oleh sejumlah pengusaha dan penduduk Malaysia. Polda Kalimantan Tengah menahan Edy Lau, cukong kayu asal Malaysia beserta 4.800 potong kayu hasil curian.
Pada 10 Desember 2004, Polda Kalimantan Timur menangkap lagi dua cukong kayu asal Malaysia. Karena aktivitas illegal ini, Indonesia mengalami kerugian yang ditaksir 3,2 milliar USD pertahun dan kehilangan 72 persen area hutan.
Sebetulnya, tidak hanya sumber daya alam saja yang mengalir ke negeri Malaysia, tetapi juga sumber daya manusia. Sumber daya manusia berupa TKI tersebut tidak hanya dirugikan secara secara materil tetapi juga fisik.
Di tahun 2004, seorang tenaga kerja asal Nusa Tenggara Barat bernama Nirmala Barat dianiaya oleh majikan perempuannya sejak bekerja pada bulan September 2003. Penyiksaan tersebut meninggalkan bekas luka fisik di hampir seluruh tubuh korban.
Seorang pembantu rumah tangga lain yang berasal dari Brebes bernama Ceriyati mengalami hal yang serupa, dia nekat terjun dari lantai 15 Apartemen Tamarind Sentul Kuala Lumpur karena tidak tahan dengan penderitaan yang dialaminya.
Terkait dengan upah, mereka hanya mendapat kisaran 1,2 juta rupiah setelah di kurs dari mata uang ringgit. Melihat dua kasus ini, saya merasa kita seperti bangsa yang mudah diremehkan.
Seolah kita hanya mampu mengirim Sumber Daya Manusia setingkat asisten rumah tangga yang karenanya mereka mengejek kita dengan sebutan “Indon”.

Kenyataannya, di masa lalu Indonesia mengirim tenaga guru dan dosen untuk meningkatkan mutu Pendidikan Malaysia, “Titian Muhibah” dan buku-buku Indonesia membanjiri Malaysia. Namun itu terjadi di masa lalu, sekarang mereka lebih mengenal kita sebagai penyuplai asisten rumah tangga atau pekerja tidak berpendidikan yang mudah dianiaya.
Tidak cukup sampai disitu, kasus penganiayaan juga terjadi di bidang olahraga, wasit karate asal Indonesia bernama Donald Luther Calapita dikeroyok oleh kepolisian Malaysia.
Pengeroyokan dilakukan saat dia sedang berjalan menuju hotel setelah melaksanakan tehnical meeting pada 23 Agustus 2007. Setelah insiden ini, Indonesia memilih berhenti dan memutuskan keluar dari Kejuaraan Karate Asia sebagai bentuk protes atas perlakuan kepolisian Malaysia tersebut.
Hal terakhir yang sering menjadi pemicu konflik adalah klaim kebudayaan. Reog Ponorogo dan Lagu Rasa Sayange ditampilkan dalam situs resmi Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.
Hal ini dilakukan untuk mempromosikan destinasi wisata Malaysia yang ditayangkan pada Oktober 2007. Klaim tersebut menimbulkan reaksi dari Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu yang bersikukuh bahwa lagu tersebut milik Indonesia yang telah membudaya di provinsi Maluku sejak lama, sedangkan hak cipta Reog Ponorogo dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004.
Perilaku Malaysia yang seperti ini menurut Edy Prasetyono bukan hanya bertujuan ekonomi, tetapi memiliki motif budaya. Dia berpendapat di tengah kesuksesan ekonomi yang dicapai Malaysia, mereka tidak memiliki kebudayaan yang bisa dibanggakan yang mampu menjadi identitas bangsa mereka.
Krisis identitas yang terjadi dikarenakan negara tersebut hanya memiliki kekayaan fisik , mereka miskin secara non-fisik -nilai, kebudayaan, norma-norma-.
Meskipun konflik-konflik tersebut telah menimbulkan dampak politik, sosial dan emosional yang mendalam, untuk menuju stabilitas hubungan kedua negara perlu menuju stabilitas hubungan, kemampuan diplomasi modern diperlukan untuk bisa mengelola sengketa tanpa bentrokan fisik langsung dalam mengelola sengketa.
Hubungan Indonesia–Malaysia sebetulnya lebih dari sekadar “serumpun”, hubungan kedua negara membutuhkan kompetensi diplomatik, edukasi publik, dan penegakan keadilan sosial untuk menghindari memori buruk masa lalu dan menjaga keharmonisan hubungan kedua negeri serumpun ini. (*)
*Jatmika Aji Santika adalah seorang lulusan sejarah dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Referensi:
Koran Minggu 6 September 2009, MALAYSIA KRISIS IDENTITAS oleh Alfitra Salamm Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Koran 17 April 2009, Hubungan Indonesia-Malaysia Tarik Ulur Negera Serumpun
Koran Seputar Indonesia Minggu 20 April 2008 Pasang Surut Hubungan Negeri Serumpun
Koran Kompas Jumat 4 April 2008 Kompetisi Global dan Peradaban Serumpun
Koran Minggu 20 April 2008 Apa yang Encik Mau
Koran Kompas Jumat 17 April 2009 Hangat Suam-suam Kuku
Koran Mengapa Malaysia 26 Agustus 2009 oleh Edy Prasetyo