Era Digital Menjelma Apokaliptik

Vito Prasetyo
Ditulis oleh Vito Prasetyo diterbitkan Senin 11 Agu 2025, 13:42 WIB
Kemajuan ilmu dan teknologi tidak berbanding lurus dengan ruang gerak masyarakat lapisan bawah. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)

Kemajuan ilmu dan teknologi tidak berbanding lurus dengan ruang gerak masyarakat lapisan bawah. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)

Dunia ini penuh keajaiban. Setiap hari, perjalanan hidup seperti sebuah pemeo: hidup tidak untuk menunda kekalahan. Kenapa bisa begitu? Karena undang-undang itu hanya berlaku untuk rakyat kecil.

Mungkin ini menjadi sebuah ironi. Rasanya ini sangat skeptis jika narasi ini menjadi muatan politis. Dan tidak elegan, jika objek sosial dijadikan “kambing hitam”. Tetapi faktanya, kemajuan ilmu dan teknologi tidak berbanding lurus dengan ruang gerak masyarakat lapisan bawah. Semua seakan dibatasi. Dan yang menjadi alat untuk membenarkan alibi itu adalah aturan-aturan.

Era digitalisasi yang menandakan dunia semakin modern telah menginisiasi pemikiran-pemikiran baru, sekaligus menyingkap jurang ketimpangan yang semakin lebar. Konektivitas yang seharusnya menyatukan, justru memperlebar polarisasi: mereka yang mampu mengakses informasi dan teknologi, dan mereka yang hanya menjadi pengguna pasif—bahkan korban.

Dalam konteks globalisasi, digitalisasi membawa wajah kapitalisme digital yang lebih canggih dan tidak kasat mata. Data menjadi komoditas paling berharga, lebih bernilai dari minyak atau emas.

Manusia direduksi menjadi angka-angka dalam algoritma, ditakar berdasarkan engagement, konsumsi, dan kecenderungan belanja. Muncullah istilah seperti surveillance capitalism—kapitalisme pengawasan—di mana kehidupan pribadi kita menjadi sumber keuntungan perusahaan raksasa teknologi.

Gejala sosial pun bermunculan. Budaya instan, pencitraan, kecanduan media sosial, dan alienasi digital menggerogoti nilai-nilai komunal yang selama ini menjadi pondasi masyarakat.

Self-worth kini ditentukan oleh jumlah likes dan followers, bukan lagi oleh kualitas karakter atau kontribusi nyata. Tradisi digantikan oleh tren, dan lokalitas dikalahkan oleh serbuan budaya global yang disterilkan oleh algoritma.

Di tengah pusaran ini, masyarakat lapisan bawah justru semakin terpinggirkan. Literasi digital menjadi kemewahan, bukan kebutuhan. Akses internet cepat, perangkat canggih, dan ruang untuk berinovasi hanya bisa dinikmati oleh segelintir elit digital.

Sementara itu, mereka yang tertinggal hanya bisa menyaksikan revolusi ini lewat layar kecil—dengan posisi tetap sebagai objek pasar.

Inilah yang dimaksud dengan apokaliptik digital—bukan dalam arti kiamat secara fisik, melainkan hancurnya tatanan sosial dan budaya yang humanistik. Ketika kemajuan teknologi tidak disertai dengan keadilan distribusi dan etika digital, maka yang terjadi bukan pencerahan, melainkan kegelapan baru yang membungkus dirinya dalam cahaya layar.

Dan, secara perlahan tetapi begitu menyusup, kejahatan siber dijadikan alat tersembunyi untuk kepentingan kapitalisme modern.

Kita tidak sedang bergerak menuju masa depan yang lebih adil, melainkan terjebak dalam distopia modern, di mana monopoli digital mengendalikan apa yang kita lihat, pikirkan, dan bahkan impikan.

Rekayasa algoritma teknologi diciptakan sangat canggih: terstruktur, sistemis dan masif. Bahkan warisan budaya pun sedikit demi sedikit tergerus, dengan cara-cara yang impresif, misalnya dengan memanipulasi persepsi yang dikonsumsi oleh publik.

Jika era ini tidak diiringi dengan kritik, regulasi yang adil, serta pemberdayaan digital yang merata, maka digitalisasi hanya akan menjadi kendaraan bagi segelintir orang menuju kekuasaan absolut. Dan bagi sisanya, dunia akan terasa seperti naskah apokaliptik—di mana yang kuat bertahan, dan yang lemah ditinggalkan oleh sejarah.

Pertanyaannya, apakah masyarakat lapisan bawah, yang selalu berada pada posisi konsumen, sanggup mematahkan situasi dan kondisi semacam ini? Sungguh naif!

Di sisi lain, kebutuhan pasar global telah memengaruhi konsep desain pemikiran modern. Munculnya karakter-karakter baru yang menganggap dunia ini sebagai wilayah kekuasaan untuk dikuasai sebesar-besarnya, seakan menjadi konsepsi Tuhan yang telah dihibahkan kepada manusia.

Wilayah Tuhan hanya dianggap sebatas urusan agama atau kepercayaan. Ilmu dan kemajuannya adalah wilayah kekuasaan yang harus diperebutkan oleh segelintir manusia, dengan topeng kapitalisme modern.

Pendapat para ahli mengenai gejala apokaliptik dalam era digital mengarah pada kekhawatiran tentang dampak negatif yang mengiringi kemajuan teknologi informasi, khususnya dalam konteks ketimpangan sosial, krisis identitas, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, dan kontrol kapitalistik atas ruang digital. Beberapa pandangan penting dari para ahli atau pemikir kontemporer:

  1. Jean Baudrillard: Simulacra dan Realitas Semu: Baudrillard, seorang filsuf postmodern asal Prancis, mengemukakan bahwa dalam era digital, kita hidup dalam dunia simulacra—di mana representasi (gambar, simbol, media) telah menggantikan kenyataan itu sendiri.

    Dalam konteks ini, media sosial menciptakan realitas semu yang tidak lagi mencerminkan dunia nyata, tetapi menggantikannya. Ini menciptakan “apokaliptik budaya”, yaitu ketika manusia kehilangan pijakan pada realitas dan hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh citra dan persepsi. “Kita hidup dalam masyarakat di mana ilusi menjadi lebih nyata dari kenyataan.” – Baudrillard;

  2. Shoshana Zuboff: Surveillance Capitalism: Zuboff, dalam bukunya “The Age of Surveillance Capitalism”, memperkenalkan konsep kapitalisme pengawasan sebagai bentuk baru kapitalisme yang eksploitatif. Ia menyebut bahwa perusahaan teknologi besar seperti Google, Facebook, dan Amazon telah membentuk sistem yang mengambil data pribadi pengguna untuk dimonetisasi, tanpa persetujuan sadar.

    Gejala apokaliptik muncul ketika privasi lenyap, individu kehilangan kendali atas dirinya sendiri, dan masyarakat digiring ke dalam bentuk kontrol sosial yang sangat halus tapi dominan. “Ini bukan masa depan yang kita pilih, melainkan masa depan yang dipaksakan oleh kekuatan kapital digital.” – Zuboff;

  3. Yuval Noah Harari: Kehilangan Kedaulatan Manusia: Harari memperingatkan bahwa teknologi seperti AI, big data, dan bioengineering mengarah pada era post-human. Dalam bukunya Homo Deus, ia menyinggung bahwa jika manusia tidak mampu mengendalikan teknologi, maka kita akan kehilangan kedaulatan atas keputusan pribadi.

    Gejala apokaliptik di sini bukan hanya soal teknologi yang menghancurkan dunia fisik, tetapi kemanusiaan itu sendiri yang dibongkar dan direkonstruksi berdasarkan kepentingan algoritma. “Dataism bisa menjadi agama baru yang menggantikan humanisme.” – Harari;

  4. Byung-Chul Han: Masyarakat Kelelahan dan Kontrol Diri: Filsuf asal Korea Selatan ini mengkritik era digital sebagai zaman di mana manusia hidup dalam masyarakat prestasi (achievement society)—di mana tekanan berasal dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Ia menyebut ini sebagai bentuk kontrol baru yang lebih halus dan berbahaya dibanding totalitarianisme klasik.

    Menurut Han, era digital memunculkan masyarakat yang kelelahan, depresi, dan kehilangan makna hidup, karena terjebak dalam ilusi kebebasan dan performa sosial. “Kita hidup dalam masyarakat yang menyiksa diri sendiri, dalam bentuk tuntutan untuk selalu produktif dan terlihat bahagia.” – Byung-Chul Han;

  5. Neil Postman: Teknologi Sebagai Dewa Baru: Dalam bukunya Technopoly, Postman menyebut bahwa masyarakat modern telah menyerahkan nilai, budaya, dan moralitas ke tangan teknologi.

    Ia menggambarkan gejala apokaliptik dalam bentuk matinya kebudayaan, karena semua aspek kehidupan diukur berdasarkan efisiensi teknologi, bukan lagi nilai-nilai etis. “Teknologi adalah ideologi, dan ketika teknologi menjadi pusat, kita kehilangan kemampuan untuk bertanya: Apakah ini baik bagi manusia?”

Pada saatnya kita akan sadar, bahwa era digital sengaja diciptakan untuk merusak serta membinasakan nilai-nilai kemanusiaan. (Sumber: Pexels/Timon Reinhard)
Pada saatnya kita akan sadar, bahwa era digital sengaja diciptakan untuk merusak serta membinasakan nilai-nilai kemanusiaan. (Sumber: Pexels/Timon Reinhard)

Secara garis besar, para ahli sepakat bahwa gejala apokaliptik dalam era digital bukan hanya soal teknologi yang menghancurkan, tetapi kekuasaan tak terbatas atas manusia oleh sistem digital yang tidak terkendali.

Ini mencakup: hilangnya realitas (Baudrillard), kekuasaan data dan algoritma (Zuboff, Harari), tekanan internal masyarakat digital (Byung-Chul Han), matinya budaya dan nilai (Postman).

Tantangan terbesar bagi masyarakat luas, adalah bagaimana mengikis sikap dan perilaku para kapitalis teknologi dengan mempersempit ruang gerak dan akses teknologi yang kurang bermanfaat bagi kehidupannya.

Adakalanya kita harus merenung diri sejenak sambil mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang sifatnya kebutuhan primer, misalnya dengan menumbuhkan hubungan manusia yang lebih intensif tanpa perlu menggunakan alat bantu teknologi.

Meski ini sangat skeptis, karena membangun kesadaran kolektif tidak mudah. Harus berani untuk menjauhkan diri dari cara hidup konsumtif.

Pada saatnya kita akan sadar, bahwa era digital sengaja diciptakan untuk merusak serta membinasakan nilai-nilai kemanusiaan.

Pernahkah kita berpikir, setelah era modern, era globalisasi, atau era digital, setelah itu hanya tercipta sebuah era dengan simbol-simbol dan istilah yang diciptakan oleh raksasa teknologi. Karena mereka tidak akan mampu menciptakan dunia kiamat! Kecuali membinasakan manusia yang lebih memilih hidup dengan nilai-nilai kemanusiaan! (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Vito Prasetyo
Tentang Vito Prasetyo
Malang
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 13 Des 2025, 14:22 WIB

Di Balik Gemerlap Belanja Akhir Tahun, Seberapa Siap Mall Bandung Hadapi Bencana?

Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya.
Lonjakan pengunjung di akhir tahun membuat mall menjadi ruang publik yang paling rentan, baik terhadap kebakaran, kepadatan, maupun risiko teknis lainnya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 21:18 WIB

Menjaga Martabat Kebudayaan di Tengah Krisis Moral

Kebudayaan Bandung harus kembali menjadi ruang etika publik--bukan pelengkap seremonial kekuasaan.
Kegiatan rampak gitar akustik Revolution Is..di Taman Cikapayang
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:31 WIB

Krisis Tempat Parkir di Kota Bandung Memicu Maraknya Parkir Liar

Krisis parkir Kota Bandung makin parah, banyak kendaraan parkir liar hingga sebabkan macet.
Rambu dilarang parkir jelas terpampang, tapi kendaraan masih berhenti seenaknya. Parkir liar bukan hanya melanggar aturan, tapi merampas hak pengguna jalan, Rabu (3/12/25) Alun-Alun Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ishanna Nagi)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 19:20 WIB

Gelaran Pasar Kreatif Jawa Barat dan Tantangan Layanan Publik Kota Bandung

Pasar Kreatif Jawa Barat menjadi pengingat bahwa Bandung memiliki potensi luar biasa, namun masih membutuhkan peningkatan kualitas layanan publik.
Sejumlah pengunjung memadati area Pasar Kreatif Jawa Barat di Jalan Pahlawan No.70 Kota Bandung, Rabu (03/12/2025). (Foto: Rangga Dwi Rizky)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 19:08 WIB

Hikayat Paseh Bandung, Jejak Priangan Lama yang Diam-diam Punya Sejarah Panjang

Sejarah Paseh sejak masa kolonial, desa-desa tua, catatan wisata kolonial, hingga transformasinya menjadi kawasan industri tekstil.
Desa Drawati di Kecamatan Paseh. (Sumber: YouTube Desa Drawati)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 18:57 WIB

Kota untuk Siapa: Gemerlap Bandung dan Sunyi Warga Tanpa Rumah

Bandung sibuk mempercantik wajah kota, tapi lupa menata nasib warganya yang tidur di trotoar.
Seorang tunawisma menyusuri lorong Pasar pada malam hari (29/10/25) dengan memanggul karung besar di Jln. ABC, Braga, Sumur Bandung, Kota Bandung. (Foto: Rajwaa Munggarana)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 17:53 WIB

Hubungan Diam-Diam antara Matematika dan Menulis

Penjelasan akan matematika dan penulisan memiliki hubungan yang menarik.
Matematika pun memerlukan penulisan sebagai jawaban formal di perkuliahan. (Sumber: Dok. Penulis | Foto: Caroline Jessie Winata)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:44 WIB

Banjir Orderan Cucian Tarif Murah, Omzet Tembus Jutaan Sehari

Laundrypedia di Kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, tumbuh cepat dengan layanan antar-jemput tepat waktu dan omzet harian lebih dari Rp3 juta.
Laundrypedia hadir diperumahan padat menjadi andalan mahasiswa, di kampung Sukabirus, Kabupaten Bandung, Kamis 06 November 2025. (Sumber: Fadya Rahma Syifa | Foto: Fadya Rahma Syifa)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 16:29 WIB

Kedai Kekinian yang Menjadi Tempat Favorit Anak Sekolah dan Mahasiswa Telkom University

MirukiWay, UMKM kuliner Bandung sejak 2019, tumbuh lewat inovasi dan kedekatan dengan konsumen muda.
Suasana depan toko MirukiWay di Jl. Sukapura No.14 Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Selasa, (28/10/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Nasywa Hanifah Alya' Al-Muchlisin)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:53 WIB

Bandung Kehilangan Arah Kepemimpinan yang Progresif

Bandung kehilangan kepemimpinan yang progresif yang dapat mengarahkan dan secara bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang kompleks.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, meninjau lokasi banjir di kawasan Rancanumpang. (Sumber: Humas Pemkot Bandung)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 15:31 WIB

Tren Olahraga Padel Memicu Pembangunan Cepat Tanpa Menperhitungkan Aspek Keselamatan Jangka Panjang?

Fenomena maraknya pembangunan lapangan padel yang tumbuh dengan cepat di berbagai kota khususnya Bandung.
Olahraga padel muncul sebagai magnet baru yang menjanjikan, bukan hanya bagi penggiat olahraga, tapi juga bagi pelaku bisnis dan investor. (Sumber: The Grand Central Court)
Beranda 12 Des 2025, 13:56 WIB

Tekanan Biological Clock dan Ancaman Sosial bagi Generasi Mendatang

Istilah biological clock ini digunakan untuk menggambarkan tekanan waktu yang dialami individu, berkaitan dengan usia dan kemampuan biologis tubuh.
Perempuan seringkali dituntut untuk mengambil keputusan berdasarkan pada tekanan sosial yang ada di masyarakat. (Sumber: Unsplash | Foto: Alex Jones)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 13:39 WIB

Jalan Kota yang Redup, Area Gelap Bandung Dibiarkan sampai Kapan?

Gelapnya beberapa jalan di Kota Bandung kembali menjadi perhatian pengendara yang berkendara di malam hari.
Kurangnya Pencahayaan di Jalan Terusan Buah Batu, Kota Bandung, pada Senin, 1 Desember 2025 (Sumber: Dok. Penulis| Foto: Zaki)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 12:56 WIB

Kegiatan Literasi Kok Bisa Jadi Petualangan, Apa yang Terjadi?

Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum.
Kegiatan literasi berubah menjadi petualangan tak terduga, mulai dari seminar di Perpusda hingga jelajah museum. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 10:28 WIB

Bandung Punya Banyak Panti Asuhan, Mulailah Berbagi dari yang Terdekat

Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga.
Bandung memiliki banyak panti asuhan yang dapat menjadi ruang berbagi bagi warga. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:20 WIB

Menikmati Bandung Malam Bersama Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse

Seporsi Rib-Eye Meltique di Justus Steakhouse Bandung menghadirkan kehangatan, aroma, dan rasa yang merayakan Bandung.
Ribeye Meltique, salah satu menu favorit di Justus Steakhouse. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Seli Siti Amaliah Putri)
Ayo Netizen 12 Des 2025, 09:12 WIB

Seboeah Tjinta: Surga Coquette di Bandung

Jelajahi Seboeah Tjinta, kafe hidden gem di Cihapit yang viral karena estetika coquette yang manis, spot instagramable hingga dessert yang comforting.
Suasana Seboeah Tjinta Cafe yang identik dengan gaya coquette yang manis. (Foto: Nabella Putri Sanrissa)
Ayo Jelajah 12 Des 2025, 07:14 WIB

Hikayat Situ Cileunca, Danau Buatan yang Bikin Wisatawan Eropa Terpesona

Kisah Situ Cileunca, danau buatan yang dibangun Belanda pada 1920-an, berperan penting bagi PLTA, dan kini menjadi ikon wisata Pangalengan.
Potret zaman baheula Situ Cileunca, Pangalengan, Kabupaten Bandung. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 11 Des 2025, 20:00 WIB

Emas dari Bulu Tangkis Beregu Putra Sea Games 2025, Bungkam Kesombongan Malaysia

Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0.
Alwi Farhan dkk. berhasil membungkam “kesombongan” Tim Malaysia dengan angka 3-0. (Sumber: Dok. PBSI)
Beranda 11 Des 2025, 18:37 WIB

Media Ditantang Lebih Berpihak pada Rakyat: Tanggapan Aktivis Atas Hasil Riset CMCI Unpad

Di tengah situasi dinamika sosial-politik, ia menilai media memegang peran penting untuk menguatkan suara warga,baik yang berada di ruang besar maupun komunitas kecil yang jarang mendapat sorotan.
Ayang dari Dago Melawan menanggapi hasil riset CMCI Unpad bersama peneliti Detta Rahmawan dan moderator Preciosa Alnashava Janitra. (Sumber: CMCI Unpad)