Pendakian Gunung Gede Pangrango via Putri

Dias Ashari
Ditulis oleh Dias Ashari diterbitkan Kamis 28 Agu 2025, 12:03 WIB
Suasana Malam Gunung Gede (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)

Suasana Malam Gunung Gede (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)

September 2024, hampir genap setahun, ketika saya dan teman-teman ingin merayakan kelulusan kuliah dengan cara yang berbeda. Kami berdiskusi saling menunjukkan berbagai macam destinasi.

Mulai dari Yogyakarta dengan julukan kota penuh kenangan. Malang dengan kota penuh apel. Tapi akhirnya kami memutuskan Gunung Gede Pangrango sebagai pilihan petualangan saat itu.

Saya berangkat dari Bandung menggunakan Bus MGI jurusan Bandung-Sukabumi. Dengan tarif Rp.42.000 saya turun di terminal Rawabango. Menyusul kedua teman saya yang berdomisili di Cianjur ke arah Alun-Alun Kota Cianjur.

Jalan menuju basecamp saat itu ditempuh dengan menggunakan motor. Jalan yang cukup terjal dan berkelok menjadi tantangan bagi kami semua. Terlebih ransel 45 liter yang kami bawa cukup mengguncang kestabilan saat tanjakan datang menerja.

Meski dag-dig-dug-ser kami hadapi dengan penuh tawa. Entah apa yang sebetulnya kami tertawakan yang jelas saat itu rasanya sangat menyenangkan.

Kami sampai basecamp pukul 08:30, sambil menata ulang barang bawaan, kami memesan satu piring nasi goreng untuk sarapan. Sinyal mulai nyala-redup, pertanda jangkauan jaringan semakin lemah. Saya berkenalan dengan beberapa teman dari Cianjur yang merupakan teman dari kedua teman saya. Kami berencana mendaki dengan jumlah sekitar delapan orang.

Setelah berdoa sekitar pukul 10:00 kami berjalan berbaris menuju lokasi pos 1 informasi. Sebelum pos 1 informasi kami diantar oleh Akamsi (Anak Kampung Sini), seorang anak laki-laki berkisar usia 12 tahun, menemani kami menyusuri kebun sayur warga dan beberapa petak sawah. Perjalanan ini tentu belum ada tantangannya karena jalur trek yang masih banyak bonusnya alias landai.

Sesampainya di Pos 1 kami beristirahat sejenak, meski trek banyak bonus tapi kalau tidak mempersiapkan diri dengan baik sebelumnya, tubuh juga akan kewalahan. Saya jadi teringat pengalaman pertama kali mendaki Gunung Merbabu, Selo Jawa Tengah.

Dengan penuh rasa percaya diri tidak mempersiapkan olahraga rutin sebelum mendaki. Belum juga sampai pos 1, dada rasanya sesak, sempat merengek ingin pulang tapi beruntung dapat dukungan dari kawan yang lain, meski saat itu kami baru pertama kali bertemu setelah mengikuti komunitas pendaki gunung via daring.

Jalur gunung gede via putri ini termasuk yang ramah untuk pemula, meski ada beberapa spot terjal penuh batu sebelum sampai pos 5 di Alun-Alun Suryakencana. Rata-rata waktu tempuh standar adalah 2-3 jam, jauh berbanding terbalik dengan trek via Cibodas yang bisa ditempuh selama 10 jam.

Jalur ini juga memiliki keunikan karena setiap posnya pasti terdapat wargun (warung gunung). Makanan yang tersaji cukup bervariasi mulai dari makanan berat, mie seduh, kopi, semangka, air mineral dan gorengan yang di masak secara dadakan.

Tapi soal harga jangan tanya, air mineral aqua yang termahal di jual Rp.5000 saja bisa naik drastis menjadi Rp.20.000. Tapi kami juga paham kenapa para penjual mematok harga demikian. Bayangkan para porter yang juga warga asli membawa dus-dus air tersebut secara tradisional dengan ditanggung. Melewati jalur yang tentunya tidak mudah, effort tersebut yang pantas mendapat apresiasi dengan harga yang sepadan.

Rombongan kami seringkali berhenti, mengakibatkan jarak yang bisa ditempuh selama 2-3 jam, menjadi 8 jam. Bagi saya inilah serunya mendaki, kami diajarkan untuk menurunkan ego masing-masing. Meski diantara kami ada yang sudah excellent tapi kebersamaan tetap menjadi prioritas.

Walau pada kenyataannya rasa kesal tentu akan terlihat dari beberapa wajah yang tidak sabar melihat pendaki pemula yang berjalan lambat bak kura-kura.

Sesampainya di pos 2 Legok Leunca kami berhenti sejenak sambil membeli beberapa potong semangka. Rasanya yang segar dan penuh dengan air cukup menambah amunisi bagi tubuh. Setelah kaki terasa ringan kami kembali melanjutkan perjalanan.

Menuju pos 3 Buntut Lutung, trek yang dilalui mirip dengan pos 2, tanah merah dengan dominasi akar pohon besar di setiap jalan. Di pos ini kami kembali beristirahat karena ada salah satu teman yang sol sepatunya terlepas.

Beruntung ternyata di warung gunung tersedia super glue dan teman kami langsung merekatkannya ke dalam sol sepatu. Sambil menunggu lem kering dan merekat dengan sempurna, kami memutuskan untuk membuka bekal makanan yang kami bawa dari rumah.

Menuju pos 4 Simpang Maleber, melihat trek dari bawah membuat lutut sedikit bergetar. Menurut kami ini adalah jalur terberat Gunung Gede sepanjang pendakian yang kami lalui via Putri. Medan yang dilalui berupa akar pepohonan dan jajaran batu besar yang minim pijakan aman.

Meski kami bisa menginjak akar pohon tapi beberapa diantaranya terasa licin. Tantangan terbesar kami harus lebih berhati-hati dan tetap memperhatikan teman rombongan yang lainnya. Bahkan tak jarang kami juga harus melewati ranting atau pohon yang tumbang. Trek ini memang benar-benar tidak ada bonus (landai).

Vegetasi pohon makin rindang, oksigen makin melimpah tapi suhu udara memang jauh lebih dingin dari sebelumnya. Bahkan di trek ini kami menemukan rombongan pendaki yang salah satu anggotanya terkena gejala hipotermia.

Tubuhnya menggigil kedinginan, bicaranya sudah melantur, wajahnya sedikit pucat, bahkan panasnya panci yang digunakan untuk merebus mie dan minuman untuknya tak juga berhasil menghangatkan tubuhnya. Perempuan itu tetap menggigil sambil diselimuti plastik wrap. Beruntungnya 30 menit kemudian tim evakuasi dari bawah datang untuk mengevakuasi perempuan itu.

Saya bersama beberapa teman juga mengalami rasa kantuk yang hebat di jalur ini. Mungkin karena kami terlalu fokus melihat kejadian sebelumnya yang tentu hal ini menjadikan tubuh kami minim melakukan gerakan. Saya bersama beberapa teman sempat memejamkan mata yang tidak lama kemudian langsung disadarkan kembali untuk segera melanjutkan perjalanan.

Beruntungnya rasa kantuk hebat itu kian memudar dan pukul 18:00 tepat adzan magrib berkumandang, kami sampai juga di Alun-Alun Suryakencana. Di sana sudah terlihat ratusan tenda bewarna-warni yang sudah terpasang. Suhu udara makin mencengkam, meski demikian ketua dalam kelompok kami menyarankan untuk jangan dulu mengenakan jaket sampai tenda selesai didirikan.

Sambil memasang tenda saya beserta kedua teman saya memasak air untuk kebutuhan seduh kopi, susu, teh dan minuman hangat lainnya. Tangan sudah kaku saking suhu udara berkisar 15 derajat. Tidak berselang lama kami langsung memasuki tenda dan segera mengenakan jaket. Kami memasak beberapa bahan yang sudah dibawa dari rumah sambil sesekali mengobrol menghangatkan suasana.

Suhu udara di bulan September cukup ekstrim karena saat itu adalah musim kemarau. Pada musim ini dipercaya suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan musim hujan. Sekitar pukul 20:00 kami memutuskan untuk tidur dan menyiapkan tenaga untuk persiapan menuju puncak.

Kondisi Siang Hari di Alun-Alun Suryakencana Gunung Gede Pangrango (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Kondisi Siang Hari di Alun-Alun Suryakencana Gunung Gede Pangrango (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)

Setiap mendaki saya selalu merasa ada hal-hal ajaib yang pada saat itu tidak bisa saya jelaskan dengan nalar. Setiap malam saya selalu merasa berjalan lambat dan panjang. Beberapa kali saya terbangun untuk memastikan jam menunjukkan pukul berapa. Meski rasanya tidur sudah panjang tapi setiap kali terbangun dan membuka kembali jam di ponsel, ternyata waktu baru berjalanan 15 menit kadang juga 30 menit.

Ternyata fenomena ini bisa dijelaskan oleh Richardo Correia, seorang Psikolog dari Universitas Turku di Finlandia. Waktu yang seolah berjalan lambat ketika kita sedang berada di alam ternyata mengubah cara kita menikmati waktu dan memberikan kita perasaan akan kelimpahan waktu.

Berada di alam membuat fokus seseorang teralihkan dari kondisi saat ini ke sebuah gambaran yang lebih besar. Kondisi ini membuat seseorang tidak impulsif sehingga bisa menunda kesenangan secara instan.

Pagi hari ada yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak, sementara saya beserta kedua teman lainnya tidak memaksakan naik ke puncak karena kami memahami kapasitas tubuh masing-masing. Di saat yang lain muncak kami berbagi tugas untuk memasak bahan yang masih tersisa. Sambil sesekali berfoto menikmati padang safana yang penuh dengan bunga edelweis.

Gunung Gede memang terkenal dengan hamparan bunga edelweis. Bunga yang dikenal dengan julukan "Bunga Abadi" ini termasuk ke dalam tanaman endemik yang dilindungi. Sehingga pendaki sebetulnya dilarang untuk memetik dan membawanya pulang. Meski sudah ada larangan terkadang masih ada pendaki nakal yang tidak mentaati peraturan.

Sekitar pukul 12:00 kami memutuskan untuk turun dan membawa kembali sampah-sampah plastik bekas makanan. Perjalanan pulang terasa lebih cepat dan ditempuh hanya 5 jam saja. Selain tas sudah ringan dengan bahan makanan, trek turunan pun lebih cepat untuk dilewati.

Meski demikian tetap harus berhati-hati agar tidak tergelincir dan terperosok ke sisi jurang. Ancang-ancang kaki dan lutut yang kuat mesti menjadi perhatian, karena meski lebih mudah lutut menjadi tompangan yang besar bagi tubuh dan barang bawaan. Tak heran ketika turun kaki pasti akan terasa jauh lebih pegal.

Ini menjadi pengalaman yang berharga untuk kami juga sebagai bentuk apresiasi karena sudah berjuang selama empat tahun lamanya untuk menempuh pendidikan. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Dias Ashari
Tentang Dias Ashari
Menjadi Penulis, Keliling Dunia dan Hidup Damai Seterusnya...
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Ada Pandan Jaksi di Cijaksi

Ayo Netizen 27 Agu 2025, 14:50 WIB
Ada Pandan Jaksi di Cijaksi

News Update

Ayo Biz 13 Okt 2025, 19:52 WIB

Fenomena Co-Working Space di Bandung, Ekosistem Kreatif dan Masa Depan Budaya Kerja Fleksibel

Transformasi cara kerja masyarakat urban mendorong ekosistem co-working space sebagai ruang kerja bersama yang menawarkan fleksibilitas, efisiensi, dan atmosfer kolaboratif.
Transformasi cara kerja masyarakat urban mendorong ekosistem co-working space sebagai ruang kerja bersama yang menawarkan fleksibilitas, efisiensi, dan atmosfer kolaboratif. (Foto: Freepik)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 19:02 WIB

Disinhibisi Suporter Sepakbola

Saling sindir dan serang antar suporter pun tidak bisa dihindari, seperti tawuran di media sosial saling serang pun tidak bisa dihindari. 
Suporter tim nasional Indonesia. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Biz 13 Okt 2025, 18:33 WIB

Bandung Menguatkan Ekosistem Esports Nasional

Beberapa tahun terakhir, industri eSports berkembang dari sekadar hobi menjadi arena kompetitif yang melibatkan teknologi, komunitas, dan ekonomi kreatif.
Beberapa tahun terakhir, industri eSports berkembang dari sekadar hobi menjadi arena kompetitif yang melibatkan teknologi, komunitas, dan ekonomi kreatif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 17:33 WIB

Mengatasi Permasalahan Limbah Plastik dengan Paving Block

Sampah plastik memang menjadi masalah krusial hampir di semua negara.
Ilustrasi Paving Block (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 17:01 WIB

'Jalan Jajan' di Soreang: Kulineran di Gading Tutuka, hingga Menyeruput Kopi Gunung

Berjalan jajan di Soreang, kulineran di Gading Tutuka, Pintu Keluar Tol Soroja, hingga menyeruput secangkir kopi di Kopi Gunung.
Berjalan jajan di Soreang, kulineran di Gading Tutuka, Pintu Keluar Tol Soroja, hingga menyeruput secangkir kopi di Kopi Gunung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dudung Ridwan)
Ayo Biz 13 Okt 2025, 16:33 WIB

Semilir Pagi Ramu Saji Heritage, Sarapan Pelan-Pelan bersama Nasi Kuning dan Cita Rasa Rumah

Bukan sekadar menu, nasi kuning di Ramu Saji Heritage adalah medium rasa yang membawa pengunjung pulang ke kenangan masa kecil.
Bukan sekadar menu, nasi kuning di Ramu Saji Heritage adalah medium rasa yang membawa pengunjung pulang ke kenangan masa kecil. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 15:16 WIB

Tinggal Meninggal Memang Bikin Kita Ketawa, tapi Pulang dengan Beban Pikiran

Film Tinggal Meninggal membawa warna baru serta keberanian baru bagi perfilman Indonesia.
Salah satu adegan film Tinggal Meninggal. (Sumber: Youtube/Imajinari)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 14:18 WIB

Memahami dan Menghargai demi Harmoni

Saatnya memperkuat semangat toleransi dan membangun perdamaian melalui kegiatan pameran dan diskusi terbuka.
Komik hasil adaptasi dari buku Dialog Peradaban. (Sumber: Instagram/pamerandialogperadaban)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 13:19 WIB

ASN, Meritokrasi, dan Jalan Panjang Penghapusan Honorer

Isu penghapusan tenaga honorer dan pengangkatan PPPK kembali mencuat.
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). (Sumber: Diskominfo Depok)
Ayo Jelajah 13 Okt 2025, 12:23 WIB

Dari Hotel Pos Road ke Savoy Homann, Jejak Kemewahan dan Saksi Sejarah Pembangunan Kota Bandung

Hotel Savoy Homann di Bandung menyimpan sejarah panjang sejak 1880, dari era kolonial hingga Konferensi Asia Afrika 1955, dengan arsitektur Art Deco yang ikonik.
Hotel Savoy Homann Bandung tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 09:25 WIB

Solat dan Stadion, Dilema para Bobotoh Saat Laga Persib

Praktik beragama kita yang kreatif, bikin tersenyum malu, dan sadar diri.
Konvoi Bobotoh, Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 13 Okt 2025, 08:10 WIB

Fitur Peta Instagram: Keintiman Konektivitas atau Peluang Kriminalitas?

Fitur terbaru dari instagram adalah membagikan peta lokasi pengguna yang bisa dibagikan dan diakses secara real time.
Fitur Peta di Instagram seharusnya menjadi perhatian bagi pengguna untuk tidak mudah FOMO akan tren sosmed yang hadir (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 20:04 WIB

Canda, Hantu, dan 'Jorang' sebagai Makanan Pokok Orang Sunda

Menentang budaya wibawa yang selalu menjaga batas bercanda, menjaga nalar rasional, dan menegakkan “adab” sensual yang hipokrit.
Camilan di Atas Karpet, Ketika Orang Sunda Kumpul dan Ngobrol (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 14:38 WIB

Pasar Seni ITB sebagai Jembatan antara Dua Wajah Bandung

Pasar Seni ITB bukan hanya sebatas ajang nostalgia, tapi juga bentuk perlawanan lembut,
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.id| Foto: Irfan Al-Farits)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 11:06 WIB

Polemik Tanggal Lahir Persib dan Krisis Kepercayaan Publik terhadap Akademisi

Bagaimana jika sesuatu yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran ternyata dianggap keliru oleh sebagian orang?
Pengukuhan Hari Jadi Persib Bandung pada akhir 2023 lalu. (Sumber: dok. Persib)
Ayo Jelajah 12 Okt 2025, 10:58 WIB

Jejak Sejarah Bandung Dijuluki Kota Kembang, Warisan Kongres Gula 1899

Tak cuma karena bunga, julukan Kota Kembang dipoles dengan kisah Kongres Gula 1899 dan para mojang Bandung yang memesona kaum meneer.
Mojang Belanda di Bandung tahun 1900-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 10:32 WIB

Int(Earth)Religious Dialogue

Ide tentang melibatkan alam sebagai subjek aktif dalam dialog lintas agama-iman.
Pohon dan Langit Biru (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 12 Okt 2025, 09:07 WIB

Mispersepsi Penggunaan Obat Amoxillin di Masyarakat

Amoxillin merupakan jenis antibiotik yang penggunaannya tidak pernah tepat guna dan sering menimbulkan resistensi antibiotik.
Amoxillin menjadi salah satu jenis antibiotik yang penggunannya sering mengundang miss persepsi di masyarakat. (Sumber: Freepik)
Ayo Biz 11 Okt 2025, 19:27 WIB

Bandung dan Denyut Motorcross Indonesia yang Kian Menggeliat

Di balik gemerlap urban dan sejuknya pegunungan, Bandung menyimpan potensi besar sebagai pusat olahraga motorcross di Indonesia.
Di balik gemerlap urban dan sejuknya pegunungan, Bandung menyimpan potensi besar sebagai pusat olahraga motorcross di Indonesia. (Sumber: Ist)
Ayo Biz 11 Okt 2025, 15:05 WIB

Ketika Mendaki Menjadi Gerakan Ekonomi dan Pelestarian: Menyatukan Langkah Menuju Pariwisata yang Berkelanjutan

Di balik geliat pariwisata, muncul tantangan besar, bagaimana menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memberdayakan ekonomi lokal secara berkelanjutan?
Digagas oleh Mahameru, Inisiatif seperti Hiking Fest 2025 menjadi ilustrasi bagaimana kegiatan wisata bisa dirancang untuk membawa dampak positif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)