Bangkit Bergerak, Melawan Rebahan dan Scroll Medsos

Ibn Ghifarie
Ditulis oleh Ibn Ghifarie diterbitkan Rabu 03 Sep 2025, 12:53 WIB
Berlatih Panjat Tebing di Boulder Climbing Training Center (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Berlatih Panjat Tebing di Boulder Climbing Training Center (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Saat asyik berbincang dengan tiga kawan di sebuah kedai sederhana, ditemani segarnya es kelapa muda Al Fatih yang berada sebelum rental mobil Zaki, dekat Puskesmas Cibiru, salah seorang kawan melontarkan tantangan agar obrolan tetap fokus dan santai.

Taruh semua HP di depan. Kalau dalam waktu lima menit ada yang mengambil, berarti kecanduan,” selorohnya sambil tertawa.

Ternyata benar, belum genap tiga menit sudah ada yang mengambil ponselnya. Alasannya sederhana, ya ingin cek media sosial (Instagram, Facebook, Tiktok), takut ada yang baru update status WhatsApp.

Aplikasi penyedia media sosial yang paling banyak dipakai masyarakat Indonesia, Januari 2024 (Sumber: GoodStats | Foto: Istimewa)
Aplikasi penyedia media sosial yang paling banyak dipakai masyarakat Indonesia, Januari 2024 (Sumber: GoodStats | Foto: Istimewa)

Indonesia Juara Medsos Sambil Rebahan

Kini keberadaan media sosial tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, dari 278,7 juta penduduk, setidaknya 185,3 juta di antaranya telah terhubung dengan internet.

Laporan We Are Social bertajuk Data Digital Indonesia 2024 mencatat, 49,9% masyarakat dari Sabang sampai Merauke memiliki akun media sosial. Angka ini setara dengan 139 juta identitas pengguna di tanah air.

Sebanyak 75% dari total pengguna internet di Indonesia menggunakan setidaknya satu platform media sosial pada Januari 2024. Dari jumlah tersebut, 46,5% adalah perempuan dan 53,5% laki-laki.”

Mari bandingkan dengan data lain menunjukkan 57,1% responden menggunakan media sosial untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman; 53,1% mengikuti akun milik kerabat (sahabat); 58,9% responden mengaku memanfaatkannya untuk mengisi waktu luang; terlihat dari 42,8% yang mengikuti akun band (penyanyi); 41,4% yang menyukai akun hiburan, meme (parodi).

Menariknya, WhatsApp menjadi platform media sosial paling populer dengan tingkat penggunaan mencapai 90,9%. Disusul Instagram, Facebook, TikTok, Telegram, dan X yang semuanya menembus lebih dari 50% pengguna. Di papan bawah, ada Facebook Messenger (47,9%), Pinterest (34,2%), Snack Video/Kuaishou (32,4%), dan LinkedIn (25%).

Meski paling banyak dipakai, WhatsApp bukanlah aplikasi dengan waktu penggunaan terlama. Rata-rata, pengguna Indonesia menghabiskan 26 jam 13 menit per bulan di aplikasi ini, menempatkannya di posisi ketiga. Peringkat pertama ditempati TikTok dengan 38 jam 26 menit, diikuti YouTube dengan 31 jam 28 menit.

Menurut data World Visualized, Indonesia menempati posisi keempat dunia dalam jumlah pengguna WhatsApp 86,9 juta. Di atasnya ada India (535,8 juta), Brasil (139,3 juta), dan Amerika Serikat (91,3 juta). WhatsApp sendiri menduduki peringkat keenam aplikasi dengan unduhan terbanyak di Indonesia pada Januari 2024 dan WhatsApp Business ada di posisi kedelapan.

Victoria Grand, Wakil Presiden WhatsApp Bidang Urusan Global dan Pasar Strategis, menegaskan posisi Indonesia sangat penting bagi WhatsApp. “WhatsApp memiliki komitmen kuat untuk Indonesia. Kami termotivasi oleh dampak positif dari kerja sama kami dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan dunia bisnis."

Namun, tidak semua negara membuka akses terhadap WhatsApp. Tiongkok memblokir aplikasi ini dengan alasan keamanan nasional. Untuk di Korea Utara, justru Meta selaku pengembang yang membatasi penggunaannya. Lain lagi dengan Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Yordania yang menerapkan pembatasan, terutama pada layanan panggilan suara dan video. (www.goodstats.id)

Ilustrasi asyiknya bermedia sosial. (Sumber: pixabay.com | Foto: Istimewa)
Ilustrasi asyiknya bermedia sosial. (Sumber: pixabay.com | Foto: Istimewa)

Paradoks Era Digital, dari Dopamine jadi Candu

Salah satu dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Atwar Bajari, membeberkan paradoksnya era digital secara detail yang dialami saat ini sejak bangun tidur sampai obo deui.

Teknologi telah menjanjikan efisiensi, tetapi sekaligus merampas kemampuan untuk menikmati waktu tanpa interupsi. Notifikasi yang da­tang bertubi-tubi membuat otak bekerja seperti lampu darurat yang harus menyala terus tanpa kesempatan pa­dam. Ujungnya lupa bagai­mana totalitas rasa hening.

Bayangkan pada saat pagi yang santai. Seduhan kopi masih mengepul, koran belum disentuh, namun bunyi ting gawai memecah suasana. Otomatis, tangan meraih gawai.

Padahal, kita tidak sedang menunggu pesan penting. Itulah sebuah kekuatan kecil yang bernama dopamine hit. Sebuah leda­k­an singkat rasa senang yang datang setiap kali notifikasi hadir, meski isinya sering ka­li tidak penting bahkan “sampah” yang memenuhi ruang aplikasi untuk percakapan (Lembke, 2021).

Fenomena ini bukan se­ka­dar kebiasaan modern, me­lain­kan bentuk jejak bio­kimia yang biasanya bekerja dalam otak. Dopamin, zat kimia yang selama ini dikenal sebagai “hormon bahagia,” sebenarnya lebih tepat disebut “hormon antisipasi.” Sebuah proses yang muncul ketika otak berharap ada reward, kabar, atau peng­aku­an dari lingkungan yang terbentuk lewat ruang-ruang percakapan (Kesner, 2022).

Setiap kali layar ponsel me­nyala, dopamin bekerja oto­matis sehingga keluar perca­kapan interpersonal, seperti siapa tahu ada sesuatu yang pen­ting untuk saya. Begitulah tubuh dilatih untuk menanggapi notifikasi. Gejala ini nyatanya bukan sekadar dugaan.

Studi global menunjukkan tren orang dewasa rata-rata membuka pon­sel 58 kali sehari, sementara survei lain mencatat rata-rata bisa mencapai 144 kali per hari. Generasi muda lebih ekstrem statistiknya; 80% langsung me­nge­cek notifikasi kurang dari lima menit setelah muncul.

Kajian ini menegaskan ihwal dopamine hit telah membentuk kebiasaan baru yang nyaris otomatis, hingga di­duga gejala ini yang membuat pengguna gelisah bila ponsel hening terlalu lama.

Masalahnya, dopamine hit kini berubah jadi candu. Kita selalu terdorong membuka Whatsapp setiap lima menit, menggulir Instagram tanpa tujuan, atau menunggu tanda centang biru de­ngan jantung berdebar.

Komuni­ka­si yang sejatinya sa­rat mak­na ber­ubah jadi sekadar reaksi oto­matis terhadap rang­sangan digital. Kita tidak lagi benar-benar menyaring waktu dan “la­wan” bicara, hanya gawai yang memilih­kan. (Pikiran Rakyat edisi 28 Agustus 2025).

Ilustrasi kaum rebahan (Sumber: ayobandung.com | Foto: Sekar Aghna Az Zahra)
Ilustrasi kaum rebahan (Sumber: ayobandung.com | Foto: Sekar Aghna Az Zahra)

Jebakan Medsos dan Perangkap Algoritma

Medsos itu ibarat jebakan yang bikin kita nggak sadar udah terperangkap. Kita buka HP cuma niatnya ngecek sebentar, eh tau-tau udah sejam lebih. Pernah ngalamin kayak gitu? Kalau iya, berarti lo nggak sendirian. Banyak dari kita yang tanpa sadar udah kecanduan media sosial. Tapi sebenernya, kenapa sih kita bisa begitu? Apa yang bikin medsos begitu menarik sampai kita susah lepas?

Jawabannya ada di cara kerja otak kita sendiri. Setiap kali kita dapat notifikasi, otak kita melepaskan dopamin, yaitu zat kimia yang bikin kita merasa senang. Ini sama kayak efek yang ditimbulkan dari makan makanan enak atau bahkan dari kecanduan lainnya, seperti judi.

Setiap kali ada yang like (komen) di postingan kita, kita merasa dihargai dan itu bikin kita ketagihan buat terus ngecek HP. Semakin sering kita dapat interaksi, semakin kita ingin lebih banyak lagi. Nggak heran kalau akhirnya kita terus-terusan scrolling tanpa sadar.

Tapi, yang bikin makin parah adalah algoritma media sosial yang memang dirancang buat bikin kita betah selama mungkin. Coba deh perhatiin, kenapa setiap kali kita buka TikTok, Instagram, atau YouTube Shorts, kita selalu dikasih konten yang bener-bener menarik buat kita? Itu karena algoritma udah mengenali kebiasaan kita, apa yang sering kita tonton, like, (komen).

Jadi, mereka kasih kita lebih banyak hal yang mirip supaya kita nggak bisa berhenti. Ini yang bikin kita susah lepas dan selalu merasa pengen lihat "satu video lagi" atau "satu postingan lagi" sampai akhirnya waktu kita habis.

Selain bikin kita kehilangan banyak waktu, kecanduan media sosial juga bisa berdampak buruk ke kesehatan mental kita. Pernah nggak sih lo ngerasa cemas atau nggak tenang kalau seharian nggak buka medsos? Itu tanda-tanda FOMO alias Fear of Missing Out. Kita takut ketinggalan tren, takut nggak update, takut nggak tahu gosip terbaru.

Akhirnya, kita jadi selalu terhubung ke dunia maya dan lupa buat menikmati kehidupan nyata. Padahal, kalau kita pikir-pikir lagi, ngga semua hal di media sosial benar-benar penting buat hidup kita. (Boy Anto Ando Silitonga [Editor], 2025:5-6)

Wisatawan saat mengunjungi gua di kawasan tebing Citatah 125, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu 16 Agustus 2025 (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Wisatawan saat mengunjungi gua di kawasan tebing Citatah 125, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu 16 Agustus 2025 (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Coba 7 Strategi Ini untuk Menghentikannya ala Psikologi

Ya hampir semua dari kita pernah mengalami kecanduan scroll ponsel di media sosial. Niatnya hanya membuka sebentar, tetapi tanpa sadar waktu satu jam sudah habis begitu saja.

Ponsel memang alat yang luar biasa. Namun, jika digunakan berlebihan tanpa kendali, kita bisa kehilangan banyak momen berharga dalam hidup.

Dikutip dari Blog Herald, jika ingin mengurangi kebiasaan ini, cobalah tujuh latihan sederhana berikut yang dapat membantu otak lebih fokus dan tidak mudah terjebak dalam scrolling tanpa henti.

1. Teknik 5-5-5 untuk Menghentikan Autopilot

Setiap kali ingin scroll tanpa alasan jelas, coba lakukan teknik 5-5-5 ini. Tarik napas lima kali dengan perlahan dan dalam. Perhatikan lima hal di sekitar yang mungkin sebelumnya tidak disadari. Lakukan lima peregangan ringan, seperti putar bahu (regangkan) leher. Latihan ini bisa membantu otak kembali ke momen saat ini dan menghindari kebiasaan autopilot.

2. Ubah Kebosanan Jadi Rasa Ingin Tahu

Scrolling sering terjadi saat kita bosan. Tapi, daripada mengambil ponsel, cobalah untuk lebih sadar dengan lingkungan sekitar.

Perhatikan detail ruangan yang belum pernah disadari. Dengarkan suara sekitar, seperti burung, lalu lintas. Amati ekspresi orang-orang di sekitar. Dengan melatih rasa ingin tahu, otak akan lebih aktif tanpa perlu bergantung pada layar.

3. Tetapkan Waktu "No-Scroll"

Buat aturan sederhana untuk tidak scroll di momen-momen tertentu, misalnya tidak scroll di tempat tidur sebelum tidur. Tidak melihat ponsel saat makan. Dengan membiasakan diri untuk tidak menyentuh ponsel di waktu tertentu, otak akan lebih terbiasa menikmati aktivitas nyata tanpa gangguan digital.

4. Ganti Scroll dengan Aktivitas Singkat yang Berfaedah

Jika merasa butuh jeda dari pekerjaan, alih-alih scroll tanpa tujuan, coba lakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Seperti Nonton tutorial singkat, belajar bahasa baru selama lima menit, baca artikel pendek yang informatif. Cara ini tetap memberikan hiburan, tetapi dengan manfaat tambahan.

5. Bayangkan Alternatif yang Lebih Positif

Sebelum mulai scroll, coba pikirkan satu kegiatan lain yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Misalnya merapikan meja kerja, membaca buku sebentar, dan berjalan-jalan sejenak. Dengan membayangkan aktivitas ini, kemungkinan besar kita akan lebih tertarik untuk melakukannya daripada sekadar melihat layar.

6. Terapkan Aturan 15 Menit

Sebelum mengambil ponsel, berikan diri sendiri waktu 15 menit untuk melakukan hal lain lebih dulu, seperti merapikan ruangan kecil, mendengarkan lagu favorit, menyeduh dan menikmati secangkir teh. Setelah 15 menit, sering kali dorongan untuk scrolling sudah berkurang.

7. Pahami "Kenapa" Berscroll

Tanyakan pada diri sendiri, apa alasan sebenarnya di balik keinginan untuk scrolling:

Apakah karena stres? Apakah karena kesepian? Atau hanya menunda pekerjaan? Jika sudah tahu alasannya, coba cari solusi lain yang lebih efektif. Misalnya, jika merasa kesepian, hubungi teman daripada melihat media sosial. (Jawa Pos, Kamis, 20 Februari 2025 | 19:54 WIB)

Perajin menyelesaikan produksi kerajinan tas belanja dari limbah plastik di rumah produksi Kekeresekan Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Perajin menyelesaikan produksi kerajinan tas belanja dari limbah plastik di rumah produksi Kekeresekan Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Di era digital ini, rebahan dan scroll medsos memang terasa nyaman, tapi jika berlebihan bisa membuat kita kehilangan momentum, semangat, bahkan dapat menggangu kesehatan mental. Tubuh menjadi malas bergerak, pikiran teralihkan pada yang serba instan. Tentunya segala impian yang seharusnya dikejar malah semakin jauh dan tidak terarah.

Dengan demikian, penting untuk mengingatkan diri agar bangkit bergerak. Tidak harus langsung melakukan yang besar. Mulailah dengan langkah kecil, seperti merapikan tempat tidur, berjalan keluar rumah, membaca buku, mengerjakan tugas yang tertunda, memasak, mengajak bermain dengan anak, istri. Gerakan kecil ini bisa memutus rantai malas (mager) dan memberi energi positif yang kuat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Bermedia sosial tetap bisa bermanfaat dan digunakan dengan bijak mulai dari mencari inspirasi, menambah ilmu, wawasan, memperluas jaringan. Namun, jangan sampai kita hanya jadi penonton hidup orang lain karena hidup kita sendiri hanya berkutat dan dihabiskan di layar ponsel.

Saatnya melawan rebahan yang berlebihan. Ayo bangkitlah, bergerak, dan gunakan waktu dengan lebih berarti. Pasalnya hidup ini terlalu singkat untuk hanya dihabiskan dengan scroll tanpa henti.

Mari kita coba kiat dari seorang kawan sekaligus dosen yang aktif beraktivitas memberikan tantangan menarik, berani mencoba dua jam tanpa scroll (membuka dan menggulir) media sosial, yuk!

"Gunakan untuk ibadah, olah raga, belajar atau berkarya. Rasakan bedanya fokus, tenang dan lebih produktif. Berani coba? Tulis "saya siap" di komentar yaa!

Salam dari saya yang sedang di UNY Jogjakarta... Semoga kita sehat dan bugar sahabat produktif." (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Ibn Ghifarie
Tentang Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Biz 04 Sep 2025, 15:37 WIB

Mamata Craft dan Ondang Dahlia: Merajut Cinta, Merawat Bumi

Mamata Craft, hobi yang tumbuh bersama waktu. Terlahir menjadi sebuah gagasan menjadikan kain sisa sebagai jalan hidup dan kontribusi nyata bagi lingkungan.
Ondang Dahlia, owner Mamata Craft. (Sumber: dok pribadi)
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 14:49 WIB

Cuanki, Cari Uang Gak Hanya Modal Janji

Cuanki adalah salah satu kuliner yang populer di Kota Bandung.
Bakso Cuanki Gading (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Jelajah 04 Sep 2025, 13:04 WIB

Sejarah Bandung, Kota Impian Koloni Eropa yang Dijegal Gubernur Jenderal

Bandung pernah jadi kota impian kolonial, tapi kebijakan tanam paksa kopi menutup Priangan bagi orang asing hingga 1852.
Suasana Bandung tahun 1968. (Sumber: Flickr | Foto: Frank Stamford)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 12:03 WIB

Deretan Batagor Legendaris di Bandung yang Tak Ada Duanya

Bicara kuliner Bandung tidak lengkap tanpa menyebut batagor. Olahan bakso tahu goreng ini punya cita rasa khas, gurih, kenyal, dan berpadu sempurna dengan siraman saus kacang.
Batagor Legendaris di Bandung. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 11:35 WIB

Bandung, Jaga Indung ‎

Bandung adalah kota yang inklusif. Rumah bersama bak menjaga orangtua, terutama ibu (jaga indung).
Ratusan driver ojek online se Bandung Raya melakukan aksi simpatik bersih-bersih di depan gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu 3 September 2025. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 09:35 WIB

Bukan Hanya Gudang Buku, Palasari Juga Punya Sentra Penjualan Bunga Terlengkap di Bandung

Palasari, Kota Bandung, memang dikenal sebagai pusat penjual buku. Namun kawasan ini juga populer dengan deretan toko bunga yang lengkap.
Ilustrasi Bunga di Toko Bunga Palasari. (Foto: Dok. Ayobandung.com)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 08:45 WIB

Setelah Live TikTok Dibuka, UMKM Terdampak Algoritma Penjualan yang Belum Normal

Penutupan fitur live TikTok akibat aksi demo beberapa waktu lalu dirasakan berat oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Salah satunya dialami Owner Brand Hijab Safa Gallery, Bagus Susilo
Staf NVSR sedang melakukan Live Streaming produk di platform digital. (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 08:32 WIB

Bandung 15 Menit untuk Kebahagiaan Warga

Jika konsep kota 15 menit mampu diaplikasikan di Kota Bandung, maka ini bakal mengubah wajah Bandung secara mendasar. 
Kemacetan di jembatan layang Pasupati Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 03 Sep 2025, 19:09 WIB

Jadongnisme: Didik Rakyat dengan Pergerakan, Didik Penguasa dengan Perlawanan

Jadongnisme menjadi istilah baru untuk merepresentasikan pemerintah yang bersikap jahat, bodoh, dan sombong.
Kaos yang Digunakan Kaesang Saat Blusukan (Sumber: Instagram | Uncorrupted.store)
Ayo Biz 03 Sep 2025, 18:04 WIB

Perjalanan Inspiratif Ethica dari Benih Mimpi Menjadi Gerakan Fashion Keluarga

Keberhasilan Ethica selama 18 tahun ini karena didukung oleh fundamental bisnis yang kuat dan strategi inovasi yang konsisten.
Keberhasilan Ethica selama 18 tahun ini karena didukung oleh fundamental bisnis yang kuat dan strategi inovasi yang konsisten. (Sumber: dok. Ethica)
Ayo Jelajah 03 Sep 2025, 17:21 WIB

Sejarah Seblak, Kuliner Pedas Legendaris yang jadi Favorit Warga Bandung

Jejak sejarah seblak, kudapan pedas khas Sunda dari kerupuk basi yang kini menjelma makanan kekinian favorit anak muda Bandung.
Ilustrasi seblak, kuliner pedas legendaris dari Jawa Barat.
Ayo Netizen 03 Sep 2025, 17:00 WIB

Bimbo Tak Sekadar Grup Musik, tapi Ikon dari Kota Bandung

Bandung akan tetap menjadi kota kreatif, dan akan melahirkan Bimbo-Bimbo lain yang berkontribusi bagi negara dan dunia.
Trio Bimbo dan Iin Parlina. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Aktuil Magazine)
Ayo Biz 03 Sep 2025, 16:50 WIB

Anak Muda dan Investasi: Antara Antusiasme Digital dan Tantangan Literasi Finansial

Generasi muda menjadi tulang punggung pertumbuhan pasar modal nasional. Namun, di balik fenomen itu, tersimpan tantangan besar.
Generasi muda menjadi tulang punggung pertumbuhan pasar modal nasional. Namun, di balik fenomen itu, tersimpan tantangan besar. (Sumber: Pexels)
Ayo Biz 03 Sep 2025, 15:24 WIB

Gara-gara Live TikTok Ditutup, UMKM di Bandung Rugi Rp20 Juta Sehari

Live TikTok tiba-tiba ditutup pada Sabtu sore, 30 Agustus 2025, setelah demo besar-besaran terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Kondisi ini menimbulkan kegemparan di antara para pengunjuk
Suasana di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, pada Jumat 29 Agustus 2025 dikerumuni demonstran yang melakukan aksi protes. (Sumber: Ayobandung | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Biz 03 Sep 2025, 15:22 WIB

Gelombang Wearable di Bandung: Ketika Gaya Hidup Sehat Bertemu Teknologi

Smartwatch, fitness tracker, dan perangkat pemantau kesehatan lainnya bukan lagi sekadar aksesori, tapi alat bantu yang mendukung transformasi gaya hidup.
Smartwatch, fitness tracker, dan perangkat pemantau kesehatan lainnya bukan lagi sekadar aksesori, tapi alat bantu yang mendukung transformasi gaya hidup. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 03 Sep 2025, 15:21 WIB

Dari Limbah Batu, Gamelan Sorawatu Membawa Harapan Baru

Gamelan sorawatu yang berbahan dari limbah batu, lahir dari nilai-nilai pancasila di masyarakat.
Nayaga Sorawatu (Foto: Disya Dwi Nurhidayah)
Ayo Netizen 03 Sep 2025, 12:53 WIB

Bangkit Bergerak, Melawan Rebahan dan Scroll Medsos

Saatnya melawan rebahan yang berlebihan. Ayo bangkitlah, bergerak, dan gunakan waktu dengan lebih berarti.
Berlatih Panjat Tebing di Boulder Climbing Training Center (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 03 Sep 2025, 10:38 WIB

Kuliner Khas di Tepian Palasari, Ada Bakmi dan Lomie Mas Ikin yang Rasanya Otentik

Belakangan ini, suhu Bandung terasa lebih dingin dari biasanya. Cuaca seperti ini sering membuat perut cepat lapar, dan makanan berkuah pun jadi pilihan utama.
Lomie Mas Ikin yang memiliki citarasa otentik. (Foto: GMAPS)
Ayo Biz 03 Sep 2025, 09:40 WIB

Jangan Bingung Cari Oleh-oleh, Ini Rekomendasi Toko Kue Paling Populer di Bandung

Bandung, kota yang kerap disebut sebagai Paris van Java, tidak hanya memikat wisatawan dengan panorama alam dan suasana sejuknya. Kota ini juga dikenal sebagai pusat kuliner dan surga belanja oleh-ole
Ilustrasi Produk Kue untuk Oleh-oleh. (Foto: Pixabay)
Ayo Netizen 03 Sep 2025, 08:38 WIB

Membaca Sisi Lain Kota Bandung, di Balik Novel Bandung Menjelang Pagi

Bandung yang selama ini kita anggap sebagai kota romantis dan banyak diagung-agungkan ternyata punya sisi gelapnya sendiri.
Bandung Menjelang Pagi Karya Brian Krisna (296 Halaman) (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)