Saat asyik berbincang dengan tiga kawan di sebuah kedai sederhana, ditemani segarnya es kelapa muda Al Fatih yang berada sebelum rental mobil Zaki, dekat Puskesmas Cibiru, salah seorang kawan melontarkan tantangan agar obrolan tetap fokus dan santai.
“Taruh semua HP di depan. Kalau dalam waktu lima menit ada yang mengambil, berarti kecanduan,” selorohnya sambil tertawa.
Ternyata benar, belum genap tiga menit sudah ada yang mengambil ponselnya. Alasannya sederhana, ya ingin cek media sosial (Instagram, Facebook, Tiktok), takut ada yang baru update status WhatsApp.

Indonesia Juara Medsos Sambil Rebahan
Kini keberadaan media sosial tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, dari 278,7 juta penduduk, setidaknya 185,3 juta di antaranya telah terhubung dengan internet.
Laporan We Are Social bertajuk Data Digital Indonesia 2024 mencatat, 49,9% masyarakat dari Sabang sampai Merauke memiliki akun media sosial. Angka ini setara dengan 139 juta identitas pengguna di tanah air.
“Sebanyak 75% dari total pengguna internet di Indonesia menggunakan setidaknya satu platform media sosial pada Januari 2024. Dari jumlah tersebut, 46,5% adalah perempuan dan 53,5% laki-laki.”
Mari bandingkan dengan data lain menunjukkan 57,1% responden menggunakan media sosial untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman; 53,1% mengikuti akun milik kerabat (sahabat); 58,9% responden mengaku memanfaatkannya untuk mengisi waktu luang; terlihat dari 42,8% yang mengikuti akun band (penyanyi); 41,4% yang menyukai akun hiburan, meme (parodi).
Menariknya, WhatsApp menjadi platform media sosial paling populer dengan tingkat penggunaan mencapai 90,9%. Disusul Instagram, Facebook, TikTok, Telegram, dan X yang semuanya menembus lebih dari 50% pengguna. Di papan bawah, ada Facebook Messenger (47,9%), Pinterest (34,2%), Snack Video/Kuaishou (32,4%), dan LinkedIn (25%).
Meski paling banyak dipakai, WhatsApp bukanlah aplikasi dengan waktu penggunaan terlama. Rata-rata, pengguna Indonesia menghabiskan 26 jam 13 menit per bulan di aplikasi ini, menempatkannya di posisi ketiga. Peringkat pertama ditempati TikTok dengan 38 jam 26 menit, diikuti YouTube dengan 31 jam 28 menit.
Menurut data World Visualized, Indonesia menempati posisi keempat dunia dalam jumlah pengguna WhatsApp 86,9 juta. Di atasnya ada India (535,8 juta), Brasil (139,3 juta), dan Amerika Serikat (91,3 juta). WhatsApp sendiri menduduki peringkat keenam aplikasi dengan unduhan terbanyak di Indonesia pada Januari 2024 dan WhatsApp Business ada di posisi kedelapan.
Victoria Grand, Wakil Presiden WhatsApp Bidang Urusan Global dan Pasar Strategis, menegaskan posisi Indonesia sangat penting bagi WhatsApp. “WhatsApp memiliki komitmen kuat untuk Indonesia. Kami termotivasi oleh dampak positif dari kerja sama kami dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan dunia bisnis."
Namun, tidak semua negara membuka akses terhadap WhatsApp. Tiongkok memblokir aplikasi ini dengan alasan keamanan nasional. Untuk di Korea Utara, justru Meta selaku pengembang yang membatasi penggunaannya. Lain lagi dengan Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Yordania yang menerapkan pembatasan, terutama pada layanan panggilan suara dan video. (www.goodstats.id)

Paradoks Era Digital, dari Dopamine jadi Candu
Salah satu dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Atwar Bajari, membeberkan paradoksnya era digital secara detail yang dialami saat ini sejak bangun tidur sampai obo deui.
Teknologi telah menjanjikan efisiensi, tetapi sekaligus merampas kemampuan untuk menikmati waktu tanpa interupsi. Notifikasi yang datang bertubi-tubi membuat otak bekerja seperti lampu darurat yang harus menyala terus tanpa kesempatan padam. Ujungnya lupa bagaimana totalitas rasa hening.
Bayangkan pada saat pagi yang santai. Seduhan kopi masih mengepul, koran belum disentuh, namun bunyi ting gawai memecah suasana. Otomatis, tangan meraih gawai.
Padahal, kita tidak sedang menunggu pesan penting. Itulah sebuah kekuatan kecil yang bernama dopamine hit. Sebuah ledakan singkat rasa senang yang datang setiap kali notifikasi hadir, meski isinya sering kali tidak penting bahkan “sampah” yang memenuhi ruang aplikasi untuk percakapan (Lembke, 2021).
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan modern, melainkan bentuk jejak biokimia yang biasanya bekerja dalam otak. Dopamin, zat kimia yang selama ini dikenal sebagai “hormon bahagia,” sebenarnya lebih tepat disebut “hormon antisipasi.” Sebuah proses yang muncul ketika otak berharap ada reward, kabar, atau pengakuan dari lingkungan yang terbentuk lewat ruang-ruang percakapan (Kesner, 2022).
Setiap kali layar ponsel menyala, dopamin bekerja otomatis sehingga keluar percakapan interpersonal, seperti siapa tahu ada sesuatu yang penting untuk saya. Begitulah tubuh dilatih untuk menanggapi notifikasi. Gejala ini nyatanya bukan sekadar dugaan.
Studi global menunjukkan tren orang dewasa rata-rata membuka ponsel 58 kali sehari, sementara survei lain mencatat rata-rata bisa mencapai 144 kali per hari. Generasi muda lebih ekstrem statistiknya; 80% langsung mengecek notifikasi kurang dari lima menit setelah muncul.
Kajian ini menegaskan ihwal dopamine hit telah membentuk kebiasaan baru yang nyaris otomatis, hingga diduga gejala ini yang membuat pengguna gelisah bila ponsel hening terlalu lama.
Masalahnya, dopamine hit kini berubah jadi candu. Kita selalu terdorong membuka Whatsapp setiap lima menit, menggulir Instagram tanpa tujuan, atau menunggu tanda centang biru dengan jantung berdebar.
Komunikasi yang sejatinya sarat makna berubah jadi sekadar reaksi otomatis terhadap rangsangan digital. Kita tidak lagi benar-benar menyaring waktu dan “lawan” bicara, hanya gawai yang memilihkan. (Pikiran Rakyat edisi 28 Agustus 2025).

Jebakan Medsos dan Perangkap Algoritma
Medsos itu ibarat jebakan yang bikin kita nggak sadar udah terperangkap. Kita buka HP cuma niatnya ngecek sebentar, eh tau-tau udah sejam lebih. Pernah ngalamin kayak gitu? Kalau iya, berarti lo nggak sendirian. Banyak dari kita yang tanpa sadar udah kecanduan media sosial. Tapi sebenernya, kenapa sih kita bisa begitu? Apa yang bikin medsos begitu menarik sampai kita susah lepas?
Jawabannya ada di cara kerja otak kita sendiri. Setiap kali kita dapat notifikasi, otak kita melepaskan dopamin, yaitu zat kimia yang bikin kita merasa senang. Ini sama kayak efek yang ditimbulkan dari makan makanan enak atau bahkan dari kecanduan lainnya, seperti judi.
Setiap kali ada yang like (komen) di postingan kita, kita merasa dihargai dan itu bikin kita ketagihan buat terus ngecek HP. Semakin sering kita dapat interaksi, semakin kita ingin lebih banyak lagi. Nggak heran kalau akhirnya kita terus-terusan scrolling tanpa sadar.
Tapi, yang bikin makin parah adalah algoritma media sosial yang memang dirancang buat bikin kita betah selama mungkin. Coba deh perhatiin, kenapa setiap kali kita buka TikTok, Instagram, atau YouTube Shorts, kita selalu dikasih konten yang bener-bener menarik buat kita? Itu karena algoritma udah mengenali kebiasaan kita, apa yang sering kita tonton, like, (komen).
Jadi, mereka kasih kita lebih banyak hal yang mirip supaya kita nggak bisa berhenti. Ini yang bikin kita susah lepas dan selalu merasa pengen lihat "satu video lagi" atau "satu postingan lagi" sampai akhirnya waktu kita habis.
Selain bikin kita kehilangan banyak waktu, kecanduan media sosial juga bisa berdampak buruk ke kesehatan mental kita. Pernah nggak sih lo ngerasa cemas atau nggak tenang kalau seharian nggak buka medsos? Itu tanda-tanda FOMO alias Fear of Missing Out. Kita takut ketinggalan tren, takut nggak update, takut nggak tahu gosip terbaru.
Akhirnya, kita jadi selalu terhubung ke dunia maya dan lupa buat menikmati kehidupan nyata. Padahal, kalau kita pikir-pikir lagi, ngga semua hal di media sosial benar-benar penting buat hidup kita. (Boy Anto Ando Silitonga [Editor], 2025:5-6)

Coba 7 Strategi Ini untuk Menghentikannya ala Psikologi
Ya hampir semua dari kita pernah mengalami kecanduan scroll ponsel di media sosial. Niatnya hanya membuka sebentar, tetapi tanpa sadar waktu satu jam sudah habis begitu saja.
Ponsel memang alat yang luar biasa. Namun, jika digunakan berlebihan tanpa kendali, kita bisa kehilangan banyak momen berharga dalam hidup.
Dikutip dari Blog Herald, jika ingin mengurangi kebiasaan ini, cobalah tujuh latihan sederhana berikut yang dapat membantu otak lebih fokus dan tidak mudah terjebak dalam scrolling tanpa henti.
1. Teknik 5-5-5 untuk Menghentikan Autopilot
Setiap kali ingin scroll tanpa alasan jelas, coba lakukan teknik 5-5-5 ini. Tarik napas lima kali dengan perlahan dan dalam. Perhatikan lima hal di sekitar yang mungkin sebelumnya tidak disadari. Lakukan lima peregangan ringan, seperti putar bahu (regangkan) leher. Latihan ini bisa membantu otak kembali ke momen saat ini dan menghindari kebiasaan autopilot.
2. Ubah Kebosanan Jadi Rasa Ingin Tahu
Scrolling sering terjadi saat kita bosan. Tapi, daripada mengambil ponsel, cobalah untuk lebih sadar dengan lingkungan sekitar.
Perhatikan detail ruangan yang belum pernah disadari. Dengarkan suara sekitar, seperti burung, lalu lintas. Amati ekspresi orang-orang di sekitar. Dengan melatih rasa ingin tahu, otak akan lebih aktif tanpa perlu bergantung pada layar.
3. Tetapkan Waktu "No-Scroll"
Buat aturan sederhana untuk tidak scroll di momen-momen tertentu, misalnya tidak scroll di tempat tidur sebelum tidur. Tidak melihat ponsel saat makan. Dengan membiasakan diri untuk tidak menyentuh ponsel di waktu tertentu, otak akan lebih terbiasa menikmati aktivitas nyata tanpa gangguan digital.
4. Ganti Scroll dengan Aktivitas Singkat yang Berfaedah
Jika merasa butuh jeda dari pekerjaan, alih-alih scroll tanpa tujuan, coba lakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Seperti Nonton tutorial singkat, belajar bahasa baru selama lima menit, baca artikel pendek yang informatif. Cara ini tetap memberikan hiburan, tetapi dengan manfaat tambahan.
5. Bayangkan Alternatif yang Lebih Positif
Sebelum mulai scroll, coba pikirkan satu kegiatan lain yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Misalnya merapikan meja kerja, membaca buku sebentar, dan berjalan-jalan sejenak. Dengan membayangkan aktivitas ini, kemungkinan besar kita akan lebih tertarik untuk melakukannya daripada sekadar melihat layar.
6. Terapkan Aturan 15 Menit
Sebelum mengambil ponsel, berikan diri sendiri waktu 15 menit untuk melakukan hal lain lebih dulu, seperti merapikan ruangan kecil, mendengarkan lagu favorit, menyeduh dan menikmati secangkir teh. Setelah 15 menit, sering kali dorongan untuk scrolling sudah berkurang.
7. Pahami "Kenapa" Berscroll
Tanyakan pada diri sendiri, apa alasan sebenarnya di balik keinginan untuk scrolling:
Apakah karena stres? Apakah karena kesepian? Atau hanya menunda pekerjaan? Jika sudah tahu alasannya, coba cari solusi lain yang lebih efektif. Misalnya, jika merasa kesepian, hubungi teman daripada melihat media sosial. (Jawa Pos, Kamis, 20 Februari 2025 | 19:54 WIB)

Di era digital ini, rebahan dan scroll medsos memang terasa nyaman, tapi jika berlebihan bisa membuat kita kehilangan momentum, semangat, bahkan dapat menggangu kesehatan mental. Tubuh menjadi malas bergerak, pikiran teralihkan pada yang serba instan. Tentunya segala impian yang seharusnya dikejar malah semakin jauh dan tidak terarah.
Dengan demikian, penting untuk mengingatkan diri agar bangkit bergerak. Tidak harus langsung melakukan yang besar. Mulailah dengan langkah kecil, seperti merapikan tempat tidur, berjalan keluar rumah, membaca buku, mengerjakan tugas yang tertunda, memasak, mengajak bermain dengan anak, istri. Gerakan kecil ini bisa memutus rantai malas (mager) dan memberi energi positif yang kuat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Bermedia sosial tetap bisa bermanfaat dan digunakan dengan bijak mulai dari mencari inspirasi, menambah ilmu, wawasan, memperluas jaringan. Namun, jangan sampai kita hanya jadi penonton hidup orang lain karena hidup kita sendiri hanya berkutat dan dihabiskan di layar ponsel.
Saatnya melawan rebahan yang berlebihan. Ayo bangkitlah, bergerak, dan gunakan waktu dengan lebih berarti. Pasalnya hidup ini terlalu singkat untuk hanya dihabiskan dengan scroll tanpa henti.
Mari kita coba kiat dari seorang kawan sekaligus dosen yang aktif beraktivitas memberikan tantangan menarik, berani mencoba dua jam tanpa scroll (membuka dan menggulir) media sosial, yuk!
"Gunakan untuk ibadah, olah raga, belajar atau berkarya. Rasakan bedanya fokus, tenang dan lebih produktif. Berani coba? Tulis "saya siap" di komentar yaa!
Salam dari saya yang sedang di UNY Jogjakarta... Semoga kita sehat dan bugar sahabat produktif." (*)