Bangkit Bergerak, Melawan Rebahan dan Scroll Medsos

Ibn Ghifarie
Ditulis oleh Ibn Ghifarie diterbitkan Rabu 03 Sep 2025, 12:53 WIB
Berlatih Panjat Tebing di Boulder Climbing Training Center (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Berlatih Panjat Tebing di Boulder Climbing Training Center (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Saat asyik berbincang dengan tiga kawan di sebuah kedai sederhana, ditemani segarnya es kelapa muda Al Fatih yang berada sebelum rental mobil Zaki, dekat Puskesmas Cibiru, salah seorang kawan melontarkan tantangan agar obrolan tetap fokus dan santai.

Taruh semua HP di depan. Kalau dalam waktu lima menit ada yang mengambil, berarti kecanduan,” selorohnya sambil tertawa.

Ternyata benar, belum genap tiga menit sudah ada yang mengambil ponselnya. Alasannya sederhana, ya ingin cek media sosial (Instagram, Facebook, Tiktok), takut ada yang baru update status WhatsApp.

Aplikasi penyedia media sosial yang paling banyak dipakai masyarakat Indonesia, Januari 2024 (Sumber: GoodStats | Foto: Istimewa)
Aplikasi penyedia media sosial yang paling banyak dipakai masyarakat Indonesia, Januari 2024 (Sumber: GoodStats | Foto: Istimewa)

Indonesia Juara Medsos Sambil Rebahan

Kini keberadaan media sosial tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, dari 278,7 juta penduduk, setidaknya 185,3 juta di antaranya telah terhubung dengan internet.

Laporan We Are Social bertajuk Data Digital Indonesia 2024 mencatat, 49,9% masyarakat dari Sabang sampai Merauke memiliki akun media sosial. Angka ini setara dengan 139 juta identitas pengguna di tanah air.

Sebanyak 75% dari total pengguna internet di Indonesia menggunakan setidaknya satu platform media sosial pada Januari 2024. Dari jumlah tersebut, 46,5% adalah perempuan dan 53,5% laki-laki.”

Mari bandingkan dengan data lain menunjukkan 57,1% responden menggunakan media sosial untuk tetap terhubung dengan keluarga dan teman; 53,1% mengikuti akun milik kerabat (sahabat); 58,9% responden mengaku memanfaatkannya untuk mengisi waktu luang; terlihat dari 42,8% yang mengikuti akun band (penyanyi); 41,4% yang menyukai akun hiburan, meme (parodi).

Menariknya, WhatsApp menjadi platform media sosial paling populer dengan tingkat penggunaan mencapai 90,9%. Disusul Instagram, Facebook, TikTok, Telegram, dan X yang semuanya menembus lebih dari 50% pengguna. Di papan bawah, ada Facebook Messenger (47,9%), Pinterest (34,2%), Snack Video/Kuaishou (32,4%), dan LinkedIn (25%).

Meski paling banyak dipakai, WhatsApp bukanlah aplikasi dengan waktu penggunaan terlama. Rata-rata, pengguna Indonesia menghabiskan 26 jam 13 menit per bulan di aplikasi ini, menempatkannya di posisi ketiga. Peringkat pertama ditempati TikTok dengan 38 jam 26 menit, diikuti YouTube dengan 31 jam 28 menit.

Menurut data World Visualized, Indonesia menempati posisi keempat dunia dalam jumlah pengguna WhatsApp 86,9 juta. Di atasnya ada India (535,8 juta), Brasil (139,3 juta), dan Amerika Serikat (91,3 juta). WhatsApp sendiri menduduki peringkat keenam aplikasi dengan unduhan terbanyak di Indonesia pada Januari 2024 dan WhatsApp Business ada di posisi kedelapan.

Victoria Grand, Wakil Presiden WhatsApp Bidang Urusan Global dan Pasar Strategis, menegaskan posisi Indonesia sangat penting bagi WhatsApp. “WhatsApp memiliki komitmen kuat untuk Indonesia. Kami termotivasi oleh dampak positif dari kerja sama kami dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan dunia bisnis."

Namun, tidak semua negara membuka akses terhadap WhatsApp. Tiongkok memblokir aplikasi ini dengan alasan keamanan nasional. Untuk di Korea Utara, justru Meta selaku pengembang yang membatasi penggunaannya. Lain lagi dengan Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Yordania yang menerapkan pembatasan, terutama pada layanan panggilan suara dan video. (www.goodstats.id)

Ilustrasi asyiknya bermedia sosial. (Sumber: pixabay.com | Foto: Istimewa)
Ilustrasi asyiknya bermedia sosial. (Sumber: pixabay.com | Foto: Istimewa)

Paradoks Era Digital, dari Dopamine jadi Candu

Salah satu dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Atwar Bajari, membeberkan paradoksnya era digital secara detail yang dialami saat ini sejak bangun tidur sampai obo deui.

Teknologi telah menjanjikan efisiensi, tetapi sekaligus merampas kemampuan untuk menikmati waktu tanpa interupsi. Notifikasi yang da­tang bertubi-tubi membuat otak bekerja seperti lampu darurat yang harus menyala terus tanpa kesempatan pa­dam. Ujungnya lupa bagai­mana totalitas rasa hening.

Bayangkan pada saat pagi yang santai. Seduhan kopi masih mengepul, koran belum disentuh, namun bunyi ting gawai memecah suasana. Otomatis, tangan meraih gawai.

Padahal, kita tidak sedang menunggu pesan penting. Itulah sebuah kekuatan kecil yang bernama dopamine hit. Sebuah leda­k­an singkat rasa senang yang datang setiap kali notifikasi hadir, meski isinya sering ka­li tidak penting bahkan “sampah” yang memenuhi ruang aplikasi untuk percakapan (Lembke, 2021).

Fenomena ini bukan se­ka­dar kebiasaan modern, me­lain­kan bentuk jejak bio­kimia yang biasanya bekerja dalam otak. Dopamin, zat kimia yang selama ini dikenal sebagai “hormon bahagia,” sebenarnya lebih tepat disebut “hormon antisipasi.” Sebuah proses yang muncul ketika otak berharap ada reward, kabar, atau peng­aku­an dari lingkungan yang terbentuk lewat ruang-ruang percakapan (Kesner, 2022).

Setiap kali layar ponsel me­nyala, dopamin bekerja oto­matis sehingga keluar perca­kapan interpersonal, seperti siapa tahu ada sesuatu yang pen­ting untuk saya. Begitulah tubuh dilatih untuk menanggapi notifikasi. Gejala ini nyatanya bukan sekadar dugaan.

Studi global menunjukkan tren orang dewasa rata-rata membuka pon­sel 58 kali sehari, sementara survei lain mencatat rata-rata bisa mencapai 144 kali per hari. Generasi muda lebih ekstrem statistiknya; 80% langsung me­nge­cek notifikasi kurang dari lima menit setelah muncul.

Kajian ini menegaskan ihwal dopamine hit telah membentuk kebiasaan baru yang nyaris otomatis, hingga di­duga gejala ini yang membuat pengguna gelisah bila ponsel hening terlalu lama.

Masalahnya, dopamine hit kini berubah jadi candu. Kita selalu terdorong membuka Whatsapp setiap lima menit, menggulir Instagram tanpa tujuan, atau menunggu tanda centang biru de­ngan jantung berdebar.

Komuni­ka­si yang sejatinya sa­rat mak­na ber­ubah jadi sekadar reaksi oto­matis terhadap rang­sangan digital. Kita tidak lagi benar-benar menyaring waktu dan “la­wan” bicara, hanya gawai yang memilih­kan. (Pikiran Rakyat edisi 28 Agustus 2025).

Ilustrasi kaum rebahan (Sumber: ayobandung.com | Foto: Sekar Aghna Az Zahra)
Ilustrasi kaum rebahan (Sumber: ayobandung.com | Foto: Sekar Aghna Az Zahra)

Jebakan Medsos dan Perangkap Algoritma

Medsos itu ibarat jebakan yang bikin kita nggak sadar udah terperangkap. Kita buka HP cuma niatnya ngecek sebentar, eh tau-tau udah sejam lebih. Pernah ngalamin kayak gitu? Kalau iya, berarti lo nggak sendirian. Banyak dari kita yang tanpa sadar udah kecanduan media sosial. Tapi sebenernya, kenapa sih kita bisa begitu? Apa yang bikin medsos begitu menarik sampai kita susah lepas?

Jawabannya ada di cara kerja otak kita sendiri. Setiap kali kita dapat notifikasi, otak kita melepaskan dopamin, yaitu zat kimia yang bikin kita merasa senang. Ini sama kayak efek yang ditimbulkan dari makan makanan enak atau bahkan dari kecanduan lainnya, seperti judi.

Setiap kali ada yang like (komen) di postingan kita, kita merasa dihargai dan itu bikin kita ketagihan buat terus ngecek HP. Semakin sering kita dapat interaksi, semakin kita ingin lebih banyak lagi. Nggak heran kalau akhirnya kita terus-terusan scrolling tanpa sadar.

Tapi, yang bikin makin parah adalah algoritma media sosial yang memang dirancang buat bikin kita betah selama mungkin. Coba deh perhatiin, kenapa setiap kali kita buka TikTok, Instagram, atau YouTube Shorts, kita selalu dikasih konten yang bener-bener menarik buat kita? Itu karena algoritma udah mengenali kebiasaan kita, apa yang sering kita tonton, like, (komen).

Jadi, mereka kasih kita lebih banyak hal yang mirip supaya kita nggak bisa berhenti. Ini yang bikin kita susah lepas dan selalu merasa pengen lihat "satu video lagi" atau "satu postingan lagi" sampai akhirnya waktu kita habis.

Selain bikin kita kehilangan banyak waktu, kecanduan media sosial juga bisa berdampak buruk ke kesehatan mental kita. Pernah nggak sih lo ngerasa cemas atau nggak tenang kalau seharian nggak buka medsos? Itu tanda-tanda FOMO alias Fear of Missing Out. Kita takut ketinggalan tren, takut nggak update, takut nggak tahu gosip terbaru.

Akhirnya, kita jadi selalu terhubung ke dunia maya dan lupa buat menikmati kehidupan nyata. Padahal, kalau kita pikir-pikir lagi, ngga semua hal di media sosial benar-benar penting buat hidup kita. (Boy Anto Ando Silitonga [Editor], 2025:5-6)

Wisatawan saat mengunjungi gua di kawasan tebing Citatah 125, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu 16 Agustus 2025 (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Wisatawan saat mengunjungi gua di kawasan tebing Citatah 125, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu 16 Agustus 2025 (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Coba 7 Strategi Ini untuk Menghentikannya ala Psikologi

Ya hampir semua dari kita pernah mengalami kecanduan scroll ponsel di media sosial. Niatnya hanya membuka sebentar, tetapi tanpa sadar waktu satu jam sudah habis begitu saja.

Ponsel memang alat yang luar biasa. Namun, jika digunakan berlebihan tanpa kendali, kita bisa kehilangan banyak momen berharga dalam hidup.

Dikutip dari Blog Herald, jika ingin mengurangi kebiasaan ini, cobalah tujuh latihan sederhana berikut yang dapat membantu otak lebih fokus dan tidak mudah terjebak dalam scrolling tanpa henti.

1. Teknik 5-5-5 untuk Menghentikan Autopilot

Setiap kali ingin scroll tanpa alasan jelas, coba lakukan teknik 5-5-5 ini. Tarik napas lima kali dengan perlahan dan dalam. Perhatikan lima hal di sekitar yang mungkin sebelumnya tidak disadari. Lakukan lima peregangan ringan, seperti putar bahu (regangkan) leher. Latihan ini bisa membantu otak kembali ke momen saat ini dan menghindari kebiasaan autopilot.

2. Ubah Kebosanan Jadi Rasa Ingin Tahu

Scrolling sering terjadi saat kita bosan. Tapi, daripada mengambil ponsel, cobalah untuk lebih sadar dengan lingkungan sekitar.

Perhatikan detail ruangan yang belum pernah disadari. Dengarkan suara sekitar, seperti burung, lalu lintas. Amati ekspresi orang-orang di sekitar. Dengan melatih rasa ingin tahu, otak akan lebih aktif tanpa perlu bergantung pada layar.

3. Tetapkan Waktu "No-Scroll"

Buat aturan sederhana untuk tidak scroll di momen-momen tertentu, misalnya tidak scroll di tempat tidur sebelum tidur. Tidak melihat ponsel saat makan. Dengan membiasakan diri untuk tidak menyentuh ponsel di waktu tertentu, otak akan lebih terbiasa menikmati aktivitas nyata tanpa gangguan digital.

4. Ganti Scroll dengan Aktivitas Singkat yang Berfaedah

Jika merasa butuh jeda dari pekerjaan, alih-alih scroll tanpa tujuan, coba lakukan sesuatu yang lebih bermanfaat. Seperti Nonton tutorial singkat, belajar bahasa baru selama lima menit, baca artikel pendek yang informatif. Cara ini tetap memberikan hiburan, tetapi dengan manfaat tambahan.

5. Bayangkan Alternatif yang Lebih Positif

Sebelum mulai scroll, coba pikirkan satu kegiatan lain yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Misalnya merapikan meja kerja, membaca buku sebentar, dan berjalan-jalan sejenak. Dengan membayangkan aktivitas ini, kemungkinan besar kita akan lebih tertarik untuk melakukannya daripada sekadar melihat layar.

6. Terapkan Aturan 15 Menit

Sebelum mengambil ponsel, berikan diri sendiri waktu 15 menit untuk melakukan hal lain lebih dulu, seperti merapikan ruangan kecil, mendengarkan lagu favorit, menyeduh dan menikmati secangkir teh. Setelah 15 menit, sering kali dorongan untuk scrolling sudah berkurang.

7. Pahami "Kenapa" Berscroll

Tanyakan pada diri sendiri, apa alasan sebenarnya di balik keinginan untuk scrolling:

Apakah karena stres? Apakah karena kesepian? Atau hanya menunda pekerjaan? Jika sudah tahu alasannya, coba cari solusi lain yang lebih efektif. Misalnya, jika merasa kesepian, hubungi teman daripada melihat media sosial. (Jawa Pos, Kamis, 20 Februari 2025 | 19:54 WIB)

Perajin menyelesaikan produksi kerajinan tas belanja dari limbah plastik di rumah produksi Kekeresekan Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Perajin menyelesaikan produksi kerajinan tas belanja dari limbah plastik di rumah produksi Kekeresekan Bandung. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Di era digital ini, rebahan dan scroll medsos memang terasa nyaman, tapi jika berlebihan bisa membuat kita kehilangan momentum, semangat, bahkan dapat menggangu kesehatan mental. Tubuh menjadi malas bergerak, pikiran teralihkan pada yang serba instan. Tentunya segala impian yang seharusnya dikejar malah semakin jauh dan tidak terarah.

Dengan demikian, penting untuk mengingatkan diri agar bangkit bergerak. Tidak harus langsung melakukan yang besar. Mulailah dengan langkah kecil, seperti merapikan tempat tidur, berjalan keluar rumah, membaca buku, mengerjakan tugas yang tertunda, memasak, mengajak bermain dengan anak, istri. Gerakan kecil ini bisa memutus rantai malas (mager) dan memberi energi positif yang kuat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Bermedia sosial tetap bisa bermanfaat dan digunakan dengan bijak mulai dari mencari inspirasi, menambah ilmu, wawasan, memperluas jaringan. Namun, jangan sampai kita hanya jadi penonton hidup orang lain karena hidup kita sendiri hanya berkutat dan dihabiskan di layar ponsel.

Saatnya melawan rebahan yang berlebihan. Ayo bangkitlah, bergerak, dan gunakan waktu dengan lebih berarti. Pasalnya hidup ini terlalu singkat untuk hanya dihabiskan dengan scroll tanpa henti.

Mari kita coba kiat dari seorang kawan sekaligus dosen yang aktif beraktivitas memberikan tantangan menarik, berani mencoba dua jam tanpa scroll (membuka dan menggulir) media sosial, yuk!

"Gunakan untuk ibadah, olah raga, belajar atau berkarya. Rasakan bedanya fokus, tenang dan lebih produktif. Berani coba? Tulis "saya siap" di komentar yaa!

Salam dari saya yang sedang di UNY Jogjakarta... Semoga kita sehat dan bugar sahabat produktif." (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Ibn Ghifarie
Tentang Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 19 Okt 2025, 19:51 WIB

Bandung dan Gagalnya Imajinasi Kota Hijau

Menjadi kota hijau bukan sekadar soal taman dan sampah, tapi krisis cara berpikir dan budaya ekologis yang tak berakar.
Taman Film di Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 18:34 WIB

Ketika Layar Mengaburkan Hati Nurani: Belajar dari Filsuf Hume di Era Society 5.0

Mengekpresikan bagaimana tantangan prinsip moral David Hume di tengah-tengah perkembangan tekonologi yang pesat.
Pengguna telepon pintar. (Sumber: Pexels/Gioele Gatto)
Ayo Jelajah 19 Okt 2025, 13:59 WIB

Hikayat Kasus Pembunuhan Grutterink, Landraad Bandung jadi Saksi Lunturnya Hegemoni Kolonial

Kisah tragis Karel Grutterink dan Nyai Anah di Bandung tahun 1922 mengguncang Hindia Belanda, mengungkap ketegangan kolonial dan awal kesadaran pribumi.
De Preanger-bode 24 Desember 1922
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 13:19 WIB

Si 'Ganteng Kalem' Itu Bernama Jonatan Christie

Jojo pun tak segan memuji lawannya yang tampil baik.
Jonatan Christie. (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 12:15 WIB

Harapan Baru Prestasi Bulu Tangkis Indonesia

Kita percaya PBSI, bahwa pemain yang bisa masuk Cipayung memang layak dengan prestasi yang ditunjukan secara objektif.
Rahmat Hidayat dan Rian Ardianto. (Sumber: Dok. PBSI)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 11:47 WIB

Bandung dan Tantangan Berkelanjutan

Dari 71 partisipan UI GreenCityMetric, hanya segelintir daerah yang dianggap berhasil menunjukan arah pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan.
Berperahu di sungai Citarum (Foto: Dokumen pribadi)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 11:00 WIB

Menyoal Gagalnya Bandung Raya dalam Indeks Kota Hijau

Dalam dua dekade terakhir, kawasan metropolitan Bandung Raya tumbuh dengan kecepatan yang tidak diimbangi oleh kendali tata ruang yang kuat.
Sampah masih menjadi salah satu masalah besar di Kawasan Bandung Raya. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Mildan Abdallah)
Ayo Netizen 19 Okt 2025, 08:41 WIB

Bandung, Pandawara, dan Kesadaran Masyarakat yang Harus Bersinergi

Untuk Bandung yang maju dan berkelanjutan perlu peran bersama untuk bersinergi melakukan perubahan.
Aksi Pembersihan salah satu sungai oleh Pandawara Group (Sumber: Instagram | Pandawaragroup)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 19:38 WIB

Antrean iPhone 17 di Bandung: Tren Gaya Hidup atau Tekanan Sosial?

Peluncuran iPhone 17 di Indonesia kembali memunculkan fenomena sosial yang tak asing, yakni antrean panjang, euforia unboxing, dan dorongan untuk menjadi yang pertama.
Peluncuran iPhone 17 di Indonesia kembali memunculkan fenomena sosial yang tak asing, yakni antrean panjang, euforia unboxing, dan dorongan untuk menjadi yang pertama. (Foto: Dok. Blibli)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 18:47 WIB

Sportainment di Pusat Perbelanjaan Bandung, Strategi Baru Menarik Wisatawan dan Mendorong Ekonomi Kreatif

Pusat perbelanjaan kini bertransformasi menjadi ruang multifungsi yang menggabungkan belanja, rekreasi, dan olahraga dalam satu pengalaman terpadu.
Pusat perbelanjaan kini bertransformasi menjadi ruang multifungsi yang menggabungkan belanja, rekreasi, dan olahraga dalam satu pengalaman terpadu. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 18 Okt 2025, 17:31 WIB

Dapur Kolektif dan Semangat Komunal, Potret Kearifan Kuliner Ibu-Ibu Jawa Barat

Majalaya, sebuah kota industri di Jawa Barat, baru-baru ini menjadi panggung bagi kompetisi memasak yang melibatkan ibu-ibu PKK dari berbagai daerah di Bandung.
Majalaya, sebuah kota industri di Jawa Barat, baru-baru ini menjadi panggung bagi kompetisi memasak yang melibatkan ibu-ibu PKK dari berbagai daerah di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 20:21 WIB

'Bila Esok Ibu Tiada': Menangis karena Judul, Kecewa karena Alur

Ulasan film "Bila Esok Ibu Telah Tiada" (2024). Film yang minim kejutan, tapi menjadi pengingat yang berharga.
Poster film "Bila Esok Ibu Telah Tiada". (Sumber: Leo Pictures)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 19:36 WIB

Balakecrakan Menghidupkan Kembali Rasa dan Kebersamaan dalam Tradisi Makan Bersama

Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa.
Balakecrakan, tradisi makan bersama yang dilakukan dengan cara lesehan, menyantap hidangan di atas daun pisang, dan berbagi tawa dalam satu hamparan rasa. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 18:10 WIB

Gen Z Mengubah Musik Menjadi Gerakan Digital yang Tak Terbendung

Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati.
Gen Z tidak hanya menjadi konsumen musik, tetapi juga kurator, kreator, dan penggerak tren. Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara musik diproduksi, didistribusikan, dan dinikmati. (Sumber: Freepik)
Ayo Jelajah 17 Okt 2025, 17:36 WIB

Sejarah Panjang Hotel Preanger Bandung, Saksi Bisu Perubahan Zaman di Jatung Kota

Grand Hotel Preanger menjadi saksi sejarah kolonial, revolusi, hingga kemerdekaan di Bandung. Dari pesanggrahan kecil hingga ikon berusia seabad.
Hotel Preanger tahun 1930-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Biz 17 Okt 2025, 17:15 WIB

Lengkong Bergerak dari Kampung Kreatif Menuju Destinasi Wisata Urban

Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya.
Kecamatan Lengkong adalah ruang hidup yang terus bergerak, menyimpan potensi wisata dan bisnis yang menjanjikan, sekaligus menjadi cermin keberagaman dan kreativitas warganya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:33 WIB

Tunjangan Rumah Gagal Naik, Dana Reses DPR RI Justru Melambung Tinggi

Tunjangan rumah yang gagal dinaikkan ternyata hanya dilakukan untuk meredam kemarahan masyarakat tapi ujungnya tetap sama.
Gedung DPR RI. (Sumber: Unsplash/Dino Januarsa)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 16:04 WIB

Lagi! Otak-atik Ganda Putra, Pasangan Baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat Bikin BL Malaysia Marah

PBSI melalui coach Antonius memasangkan formula pasangan baru Rian Ardianto/Rahmat Hidayat.
Rahmat Hidayat dan Rian Ardianto. (Sumber: PBSI)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 15:38 WIB

Meneropong 7 Program Pendidikan yang Berdampak Positif

Pendidikan yang bermutu harus ditunjang dengan program-program yang berkualitas.
Anak sekolah di Indonesia. (Sumber: indonesia.go.id)
Ayo Netizen 17 Okt 2025, 15:13 WIB

Hantu Perempuan di Indonesia adalah Refleksi dari Diskriminasi

Sejauh ini sebagian perempuan masih hidup dengan penderitaan yang sama, luka yang sama, dan selalu mengulang diskriminasi yang sama.
Perempuan dihidupkan kembali dalam cerita tapi bukan sebagai pahlawan melainkan sebagai teror. (Sumber: Freepik)