Jadongnisme adalah sebuah istilah yang pertama kali saya dengar dari pernyataan Okky Madasari saat menyoroti kasus Kaesang Pangarep yang mengenakan kaus bertuliskan "Putra Mulyono".
Penggunaan simbol tersebut menyiratkan bahwa Kaesang seolah mentertawakan kritik yang disampaikan oleh publik. Di mana saat itu Mulyono membuat kebijakan yang berusaha memenangkan Kaesang untuk menyalonkan diri sebagai Gubernur.
Menurut Okky Madasari istilah jadong pertamakali diperkenalkan oleh Guru Besar Sosiologi asal Malaysia bernama Syed Hussein Alatas. Jadong merupakan kepanjangan dari jahat, bodoh dan sombong.
Bahkan sebelum jadong muncul, istilah bebalisme sudah lebih dulu diperkenalkan oleh Syed Hussein yang merepresentasikan bagaimana kondisi pemerintah yang tidak hanya bodoh tapi mereka sengaja untuk tidak mendengar suara masyarakat dan memiliki arogansi serta delusional.
Di Indonesia sendiri, jadongnisme sudah menyebar secara sistematis di kalangan para pejabat. Bahkan menurut penuturan Okky Madasari, jadongnisme juga sudah menyebar ke ranah institusi dan individu yang berada dalam kelompok masyarakat.
Jadongnisme muncul karena para penguasa tidak terlalu dekat dengan kegiatan membaca. Seolah sepele tapi membaca itu penting, tidak hanya sebagai sumber intektulitas tapi juga bisa melihat gambaran fakta-fakta apa saja yang muncul di lapangan. Membaca buku juga menumbuhkan sisi humanis dalam diri manusia, salah satunya rasa simpati dan empati.
Tidak heran ketika hari ini para penguasa jauh dari kegiatan tersebut, bahkan wakil presiden Kaesang pun menyatakan bahwa dirinya tidak membaca buku. Jauhnya penguasa dari aktivitas membaca buku menjadikan mereka tidak mampu menganalisis masalah dengan objektif dan merefleksikan persoalan yang ada, sehingga seringkali membuat kebijakan yang asal-asalan dan berbicara asal bunyi.
Tak heran juga jika para penguasa tidak bisa berempati terhadap rakyat, saat rakyat menjerit, mereka para penguasa justru menaikan gaji sambil meresponnya dengan kegiatan joget-joget.
Sudewo Manifestasi Jadong
Menurut Okky Bupati Sudewo merupakan manifestasi dari pemimpin yang memiliki kriteria jadong. Kenaikan pajak yang diberlakukan oleh Sudewo merupakan sebuah kejahatan karena dikeluarkan tanpa adanya diskusi dan sosialisasi kepada masyarakat.
Kejahatan tersebut dibuat serta-merta untuk memeras dan menambah penderitaan rakyat. Sementara manisfestasi kebodohan adalah ketika Sudewo sebagai pemimpin Pati tidak memahami konteks bahwa di negara demokrasi, masyarakat itu tuan dan pemimpin adalah mereka yang melayani kepentingan rakyat.
Sudewo lupa bahwa dirinya dipilih oleh rakyat sekaligus bisa kapan saja digulingkan oleh rakyat. Sudewo juga sombong karena ketika dikritik oleh masyarakat, dirinya justru menantang yang mengakibatkan perlawanan aksi demo pada 13 Agustus 2025.
Polemik Anggota DPRD yang Menjadi Contoh Jadongnisme

Di tengah pernyataan para menteri yang menuai kontroversi, rasanya para anggota dewan DPRD tidak belajar dari fenomena tersebut. Saat media menyebarkan berita kenaikan gaji dan tunjangan, masyarakat banyak menentang kebijakan tersebut.
Beberapa reaksi anggota dewan saat dimintai keterangan oleh para wartawan, jawabannya selalu mengejutkan masyarakat dan menuai polemik. Di mulai dari Ahmad Sahroni yang menanggapi pernyataan masyarakat yang ingin membubarkan DPR dengan ucapan "Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia".
Pernyataan lain datang dari Nafa Urbach, seorang artis tahun 1900-an yang merambah menjadi politisi. Nafa Urbach menanggapi bahwa tunjangan rumah sebesar 50 juta itu bukan bagian dari kenaikan fasilitas, melainkan hanya sebuah kompensasi yang diberikan pemerintah untuk mengganti tunjangan rumah dinas yang sudah tidak diberikan.
Sementara politisi lain dari kalangan artis yaitu Uya Kuya tak luput dari kontroversi ditengah panasnya keadaan politik di Indonesia. Dirinya menanggapi pernyataan masyarakat yang merasa Uya tidak lepas dari "baju keartisannya" dengan merespon "Lah kita Artis. Kita DPR tapi kita artis". Pernyataan tersebut dianggap menunjukkan sisi arogan dari seorang pejabat publik.
Video parodi yang juga dibuat oleh anggota DPR Eko Patrio menuai sorotan netizen. Dalam video tersebut dirinya memparodikan aksi joget yang dilakukan oleh Komisi IV bidang perdagangan dan usaha dengan berjoget dan menggunakan sound horeg.
Semua reaksi dan sikap para anggota dewan di atas menunjukkan bahwa jadongnisme sudah melekat di kalangan para pejabat. Semua pernyataan para anggota dewan yang bersangkutan dinilai nir empati, jauh dari intelektualisme dan penuh arogansi. Pernyataan yang keluar dari mulut para pejabat justru tidak sama sekali merepresentasikan dirinya sebagai seorang pemimpin rakyat.
Adapun akibat dari pernyataan yang keluar asal-asalan tersebut membuat masyarakat marah dan menjarah rumah para anggota dewan hingga rusak tak karuan.
Masyarakat dan Pergerakan
Hari ini semangat dan keberanian masyarakat dalam melawan pemerintahan yang sewenang-wenang sudah mulai banyak digaungkan. Tidak hanya populer pada kalangan menengah seperti mahasiswa dan para aktivis. Hari ini semua kalangan ikut berkontribusi dalam perlawanan.
Mulai dari supir truk yang mengibarkan bendera one piece. Kemudian dalam berbagai aksi demo mulai dari petani, pedagang hingga ibu rumah tangga turut serta turun ke lapangan untuk menentang kebijakan pemerintah yang menyengsarakan masyarakat. Semua kalangan sudah memiliki kesadaran serta keberanian untuk melawan.
Menurut Okky Madasari ini adalah sebuah berkah karena tanpa harus menggaungkan legilitarian, pergerakan di masyarakat sudah mulai meresap secara natural. Mengambil pernyataan sejarah intelektual Indonesia, Marco Kartodikromo dalam tulisannya "Didik rakyat dengan pergerakan, Didik penguasa dengan perlawan".
Keberanian masyarakat untuk melawan baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki kesadaran. Masyarakat juga sudah paham apa saja yang menjadi hak mereka dan memainkan peran yang seharusnya dilakukan.
Fase perlawanan kreatif yang dilakukan masyarakat melalui pengibaran bendera one piece bukan sekedar perlawanan tapi bentuk ekspresi kreatif yang bisa bermanifestasi lebih banyak dalam menumbukan kesadaran pada masyarakat. Terlebih peran media sosial juga ikut menjadi kunci terjadinya gerakan perlawanan secara besar-besaran yang terjadi di Indonesia.
Apakah di situasi pernyataan Indonesia gelap bermunculan ? aksi gerakan ini justru akan menjadi optimisme karena bermunculannya generasi yang berkesadaran dan tumbuhnya aksi perlawanan dalam masyarakat.
Didik Penguasa dengan Perlawanan
Menurut Marco, penguasa hanya bisa dididik dengan perlawanan. Dengan demikian mereka bisa mengoreksi diri dan tahu bagaimana posisi mereka dalam masyarakat.
Penguasa harus menyadari bahwa mereka bukan seorang raja yang bisa semena-mena memeras masyarakat dengan membayar upeti. Justru mereka adalah pemimpin yang dipercaya rakyat untuk melayani semua kebutuhannya.
Melalui aksi demo yang dilakukan masyarakat menjadi bukti nyata bahwa penguasa seharusnya dididik melalui perlawanan. Hal ini juga menjadi perhatian dan pengingat bagi para penguasa bahwa mereka tidak lagi hidup di era politik abad ke-19.
Hari ini politik abad ke-20 yang dipenuhi dengan era media sosial, membuat para penguasa harus banyak mengontrol setiap ucapan, langkah dan kebijakan yang diperbuat. (*)