Gamelan sorawatu yang berada di Padepokan Kirik Nguyuh Majalengka memberikan sebuah nyawa tersendiri dalam menjaga sebuah fondasi pendidikan Indonesia yang bertempat di Desa Girimukti, Kecamatan Kasokandel.
Fondasi itu di rancang untuk meningkatkan sebuah “kemandirian, gotong royong, kreativitas, dan bertanggungjawab” gamelan sorawatu itu terbagi menjadi dua kata “sora itu suara dan watu itu batu.”
Gamelan sorawatu tercipta dari potongan limbah yang ada di pabrik tepatnya di Desa Salagedang, Kecamatan Sukahaji.
Baron Famousa sebagai pencipta gamelan sorawatu memiliki sebuah imajinatif yang tinggi di dalam dirinya, yang ia sadari bahwa ilham itu datang dari Tuhan dan memberikannya sebuah niscaya yang amatlah gemilang atau bisa di analogikan dari pepatah Ki Hadjar Dewantara (KHD) bahwa setiap manusia memiliki kodratnya yang unik.
Baron kemudian memilah dan memilih batu-batu itu dalam nada, tanpa adanya pentatonik ataupun diatonik.
Ia berpikir bahwa batu itu memiliki sebuah nada yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan cuaca karena batu tersendiri adalah makhluk juga yang hidup di alam bebas, dan gamelan sorawatu “bermain pakai perasaan dan hati,” keselarasan antar nayaga itulah yang melahirkan sebuah nilai-nilai pancasila sebagai fondasi pendidikan Indonesia.
Di Kirik Nguyuh sendiri konsepsi pembelajarannya memakai sebuah konsep-konsep Ki Hadjar Dewantara sebagai Identitas Manusia Indonesia. Bermain gamelan sorawatu tersendiri memiliki semboyan yang sama dengan KHD mengenai “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.
Dari ketiga semboyan itu gamelan sorawatu memberikan sebuah makna dalam ke lima sila pancasila “Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan” itu adalah fondasi dari sebuah permainan musik gamelan sorawatu dalam menciptakan sebuah harmonisasi indah di atas ancak yang berongga.
Bisa Menjadi Fondasi Pendidikan Indonesia?
Gamelan Sorawatu adalah seni terapan baru yang ada di Majalengka dan merupakan inovasi jenius. Baron ingin gamelan ini diajarkan di sekolah-sekolah di Majalengka.
Masyarakat pada umumnya juga bisa memainkannya, kebudayaan memang harus terus menerus menjalar seperti akar rumput liar, karena karya itu memang memiliki kaki yang terus berjalan. Setiap orang pada umumnya memang memiliki karakter, sifat yang berbeda, begitu pun dengan suara gamelan sorawatu, ia bisa merasakan soal perasaan nayaga yang dapat menarik untuk bersatu.
Pendidikan itu sebenarnya tidaklah mahal, “Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru” menurut Ki Hadjar Dewantara. Pesan ini mengandung makna bahwa pendidikan dapat dilakukan di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun.
Prinsip ini membuka pintu untuk pembelajaran sepanjang hayat. Di Kirik Nguyuh siapa pun boleh ikut bermain musik gamelan sorawatu, gratis tidak di pungut biaya, dengan sebuah rasa cinta dan kasih sayang “hubungan manusia dengan sesama”.
Sebuah pendidikan yang berbasis kekeluargaan, akan menjadi fondasi yang kuat dalam merawat sebuah kultur dalam pembelajaran yang sesuai dengan pancasila dan pembelajaran sosial emosional.
Gamelan sorawatu sebagai Ikonik
Gamelan sorawatu kini sudah menjadi ikonik di Majalegka. Batu pada umumnya memang digunakan untuk konstruktur bangunan (apapun itu jenis bangunannya), Hal baru memang sebuah ciptaan atau penemuan yang harus di pertanggungjawabkan.
Jenis seni terapan ini sudah di HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan perundang-undangan bidang HKI menjadi satunya-satunya alat musik yang ada di Indonesia bahkan Dunia.
Batu yang tersusun di atas ancak itu menjadi hak paten gamelan sorawatu, yang dimainkannya melalui perasaan, hati, dan ke-ikhlasan.
Sorawatu merupakan gamelan yang sangatlah unik, dan ini adalah kesenian yang harus terus-menerus dilestarikan mengangkat nilai-nilai dalam keberagaman sesuai dengan profil pelajar pancasila sebagai falsafah negara Indonesia yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Hingga saat ini gamelan sorawatu terus dimainkan oleh nayaga yang senantiasa datang, mereka tidak direkrut satu per-satu lebih tepatnya karena penasaran.
Kekayaan intelektual sekaligus ikonik Kirik Nguyuh, Baron Famousa memberikan sebuah khazanah musik yang penuh harmonisasi dapat dimainkan sesuka hati penuh energi dalam entitas yang tinggi dan hakiki.
Keterampilan Sosial Emosional
Setiap nayaga hendak memiliki keterampilan unik dalam memahami, dan mengelola emosi mereka sendiri, termasuk memahami emosi antar nayaga, membangun hubungan positif, serta membuat keputusan untuk disepakati “biasanya dalam membuat sebuah komposisi”.
Keterampilan sosial emosional mencakup berbagai aspek termasuk kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, manajemen sosial, dan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab.
Kesadaran diri harus ada dalam setiap diri seorang nayaga bukan hanya soal menjaga sorawatu agar tetap utuh, akan tetapi lebih kepada mengatur soal kesadaran itu dalam memahami semesta apa adanya.
Semesta akan merestui rasa kesadaran seorang nayaga, dengan suara-suara lirih untuk dapat disalurkan memelalui visualisasi konteks, hal realis menjadi suatu bahan untuk terus bermusyawarah antar nayaga sebagai bentuk kesadaran sosial dalam manajemen diri.
Manajemen sosial dalam berelasi dapat menumbuhkan rasa cinta pada kehidupan dalam memikirkan sorawatu agar terus eksis hingga lestari, sehingga bisa dinikmati diberbagai sektor, dan ini menjadi tanggungjawab bersama dalam menjaga sebuah marwah yang utuh dan murni.
Gamelan Sorawatu dalam Matematika
Dalam bermaian gamelan sorawatu, konteks matematika sebagai konsep “ketukan” atau “tempo” yang mengacu pada irama sebuah instrumen.
Tempo juga di ukur dalam ketukan per-menit, kita bisa membayangkan ini sebagai kecepatan suatu proses atau operasi. Pola irama dalam gamelan sorawatu sering berhadapan dengan pengulangan bunyi misalnya dalam tangga suara, kecepatan pengulangan bunyi dianggap sebagai tempo dalam konteks matematika.
Kecepatan perubahan dalam setiap komposisi instrumen menentukan seberapa cepat sebuah alunan itu dimainkan. Sebuah alunan dengan tempo cepat akan terasa lebih dinamis dan penuh emosi, sementara alunan dengan tempo lambat akan terasa lebih menenangkan.
Setiap komposisi yang tercipta memiliki alat ukur, alat ukur ini digunakan untuk menjaga tempo dalam bermain dengan beberapa hitungan ½ , ¼ , dan masih banyak notasi lainnya yang menentukan sebuah ketukan, menggabungkan antara otak kiri dan otak kanan.
di gamelan sorawatu tak ada pentatonik dan diatonik atau biasa disebut pakem dalam bermain musik, akan tetapi ketukan dalam sebuah permainan sangat diutamakan. Bagaimana sorawatu bisa dimainkan dengan penuh harmoni, semuanya tercipta melalui musyawarah mufakat antar nayaga dengan penuh sadar diri, dan sadar lingkungan.
Transdisipliner
Transdisipliner ini merupakan sebuah pendekatan yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, atau bisa juga termasuk pengetahuan masyarakat (non-akademis) untuk dapat memahami dan memecahkan masalah kompleks secara holistik dan inovatif.
Baron Famousa adalah seorang yang tak memiliki disiplin ilmu secara akedemis di bidang seni terapan, namun ia mampu memahami sektor lingkungan dengan mengaikatnya dengan berbagai disiplin ilmu yang melampaui batas-batas hingga bisa memberikan dampak positif pada masyarakat yang sangatlah kompleks dan beragam.
Baca Juga: Musisi Flamboyan yang Peduli Budaya Sunda Itu Telah Pergi
Pengintegrasian sorawatu itu sangatlah kompleks, bisa menjadi disiplin ilmu secara ekologi, bahasa, sastra, pendidikan karakter, pendidikan kewarganegaraan, dan masih banyak berbagai disiplin ilmu lainnya.
Sorawatu itu multitafsir, tergantung perspektif dan itu menjadi sesuatu hal yang wajar. Perspektif seseorang dapat dicerna untuk dintegrasikan dengan berbagai disiplin ilmu sebagai multidisiplin (melibatkan berbagai disiplin ilmu), interdisiplin (menggabungkan disiplin ilmu yang berbeda), dan transdisiplin (lebih dari sekadar menggabungkan ilmu). (*)