Penganugerahan Bintang Mahaputera Adipurna yang baru saja diterima Bahlil Lahadalia dari Presiden Prabowo di Istana Negara kembali menempatkan figur ini dalam sorotan publik.
Gelar itu bukan sembarangan, melainkan kelas tertinggi dalam kategori Bintang Mahaputera, diperuntukkan bagi mereka yang dinilai luar biasa menjaga keutuhan dan kejayaan bangsa. Ironinya, penghargaan itu hadir di tengah kontroversi yang tak kunjung sepi.
Publik masih ingat bagaimana wacana pergantian dirinya di Munaslub Golkar santer beredar awal Agustus, seiring isu reshuffle kabinet yang juga menyeret namanya. Belum tuntas kritik atas kebijakan distribusi gas melon tiga kilogram, muncul polemik lain seputar disertasi cepat di Universitas Indonesia.
Belum reda perbincangan itu, keputusannya meneruskan eksplorasi tambang di Raja Ampat menambah daftar panjang isu yang membuat Bahlil menjadi figur penuh kontroversi.
Namun begitulah gaya komunikasinya, penuh energi dan cenderung memantik reaksi keras. Sejak menjabat Menteri Investasi hingga Menteri ESDM, Bahlil dikenal sering melontarkan pernyataan yang memecah opini.
Klaim investasi ratusan triliun di IKN, tuduhan adanya campur tangan asing di Rempang, hingga ungkapan simbolik tentang “Raja Jawa” menjadi bahan diskursus panjang. Ucapan-ucapannya sering dianggap menyederhanakan masalah, tetapi sekaligus memperlihatkan keyakinan diri yang kuat.
Meski dihujat, Bahlil juga dipuji. Narasi personalnya tentang perjalanan dari sopir angkot hingga menduduki kursi elite politik membangun kedekatan emosional dengan publik. Dalam studi komunikasi, ini dikenal sebagai narrative proximity, yakni kemampuan membangun jembatan emosional dengan rakyat melalui kisah hidup.
Ia menegaskan bahwa jalan menuju kekuasaan tidak hanya terbuka untuk anak pejabat, tetapi juga bagi mereka yang datang dari pinggiran. Dari perspektif framing, biografinya dibingkai sebagai bukti bahwa kerja keras bisa mengubah keterbatasan menjadi kekuatan.

Kekuatan narasi ini terbukti efektif. Banyak yang melihat Bahlil sebagai simbol mobilitas sosial dari tanah Papua menuju pusat Jakarta. Namun, di balik daya tarik tersebut, ada sisi rentan yang tidak bisa diabaikan.
Penelitian linguistik dari UGM menunjukkan bahwa pidato Bahlil kerap mengandung kesalahan fonologis, seperti penghilangan atau perubahan fonem. Walau tidak selalu bermakna negatif, dalam forum formal kesalahan seperti itu bisa menurunkan kredibilitas. Apalagi ketika lawan politik dengan mudah menjadikannya bahan sindiran.
Selain itu, retorikanya yang kadang terlalu simbolik, seperti ungkapan tentang raja, berisiko merusak citra institusi yang ia pimpin. Dalam era komunikasi digital, setiap kata direkam dan disebarkan tanpa filter. Ambiguitas pesan dapat menimbulkan krisis legitimasi. Retorika yang kuat harus selalu ditopang dengan kejelasan makna dan tanggung jawab etik.
Di sinilah letak paradoks Bahlil. Ia sosok yang berani vokal, mudah dikenali gayanya, dan penuh energi ketika berbicara. Namun, saat kata-katanya tidak selaras dengan tindakan, publik bisa mempertanyakan integritasnya. Misalnya, kisah sederhana tentang perjalanan hidupnya yang kontras dengan kritik terhadap disertasi super cepat. Narasi personal yang seharusnya menjadi aset justru bisa berbalik menjadi bumerang jika tidak konsisten dengan realitas.
Pada akhirnya, Bahlil adalah potret figur politik yang memadukan pujian dan hujatan dalam satu waktu. Ia dicintai karena dianggap mewakili rakyat kecil, tetapi juga dikritik karena gaya komunikasinya yang penuh kontroversi.
Dari perspektif komunikasi politik, keberhasilan Bahlil membangun kedekatan emosional tidak boleh diabaikan. Namun, kekuatan itu hanya akan bertahan bila ia mampu menjaga konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Politik demokrasi digital menuntut lebih dari sekadar gaya bicara yang membumi. Publik hari ini menilai pemimpin bukan hanya dari retorika, melainkan dari kesesuaian makna dan integritas. Bahlil menunjukkan bahwa jalan menuju puncak bisa ditempuh siapa saja, tetapi untuk bertahan di sana diperlukan kedisiplinan dalam kata dan kejujuran dalam tindakan.
Figur seperti Bahlil, yang terus menuai pro dan kontra, sejatinya menjadi cermin bagi kita semua bahwa komunikasi politik adalah medan di mana kata-kata bisa menjadi kekuatan, sekaligus kelemahan yang menentukan arah perjalanan seorang pemimpin. (*)