Curug Anom Bandung: Mengaminkan Mitos dari Sebuah Perjalanan untuk Memaafkan

Yayang Nanda Budiman
Ditulis oleh Yayang Nanda Budiman diterbitkan Jumat 29 Agu 2025, 07:15 WIB
Curug Anom Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Curug Anom Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Ketika hampir semua tujuan destinasi hanya untuk merayakan keindahan dengan ragam wahana yang ditawarkan, ada juga tempat lain yang memutuskan untuk tidak larut dalam sebuah popularitas, ia hanya menawarkan ketenangan, ruang untuk berharap sekaligus menyembuhkan.

Curug Anom yang terletak di kaki Natural Hill Lembang adalah salah satunya. Secara bahasa, nama “Anom” berasal dari bahasa Sunda yang dapat diterjemahkan sebagai “Muda”.

Menurut sebagian orang, mungkin Curug Anom tak nampak berbeda dengan air terjun pada umumnya. Ia hanyalah air terjun setinggi 30 meter, dengan air yang berjatuhan perlahan dari dinding cadas berlumut yang telah dilahap usia. 

Ketika mereka menyaksikan hanya dengan mata kepala, saya memutuskan untuk menyelaminya dalam perasaan. Ia tak hanya soal air yang jatuh dari ketinggian, tapi juga soal proses perjalanan panjang yang harus ditempuh hingga pengalaman eksistensial-spiritual dari semua yang telah dilalui.

Bagi saya, menyusuri Curug Anom serupa menuruni anak tangga waktu yang menuntun kembali pada versi diri yang dulu sempat percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang abadi dan lestari. 

Memulai Langkah Berbekal Mitos

Perjalanan baru akan ditempuh, saya baru mengetahui sisi lain Curug Anom yang mungkin tidak banyak orang ketahui. Konon, Curug Anom mempunyai mitos yang cukup melegenda, bahkan mitos ini relevan dengan kondisi dinamika asmara yang dialami oleh anak muda.

Katanya, jika belum memiliki pasangan, hanya dengan membasuhkan wajah di air curug saja bisa mempercepat tibanya jodoh.

Sementara, jika sudah memiliki pasangan, katanya, hubungan yang dijalin akan semakin langgeng. Tak selesai soal jodoh, katanya juga, orang yang membasuh wajah di curug ini dipercaya akan membuat rupa makin awet muda. 

Saya tersenyum tipis ketika mendengar cerita itu. “Ketimbang harus berlangganan aplikasi kencan yang cukup menguras isi dompet, nampaknya mitos ini bisa menjadi solusi alternatif,” gurau saya sembari melanjutkan jumlah langkah. 

Setelah membeli tiket masuk seharga Rp 25.000, sekitar pukul 8 pagi perjalanan dimulai dari gerbang Natural Hill. Seperti hari biasanya, udara Lembang pagi itu tidak terlalu dingin dan sinar matahari tidak datang terlambat. Udara yang dingin dengan suasana yang hangat.

Air jernih dari tepian Curug Anom Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yayang Nanda Budiman)
Air jernih dari tepian Curug Anom Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Di jalur treking yang saya lalui sebenarnya hanya memakan waktu perjalanan sekitar 15 sampai 20 menit, akan tetapi pada hari itu saya sengaja memilih jalur lain yang cukup memutar, menyusuri persawahan dan sungai-sungai kecil dengan arus air yang tenang dan jernih. 

Katanya, rute ini bisa memakan waktu hingga satu jam perjalanan. Mendengar informasi itu saya tidak merasa menyesal. Saya hanya tersenyum atas apa yang telah saya putuskan. Jalur ini akan memberi saya cukup waktu untuk berdialog dengan alam dan isi kepala saya sendiri.

Tanah lembab yang terinjak cukup licin di alas sepatu yang berdecit tiap kali kaki melangkah. Aroma lumpur dan dedaunan yang khas bercampur dengan wangi hutan yang diselimuti embun yang belum beranjak.

Hamparan sawah yang membentang luas mengitari sisi kiri langkah beriringan dengan angin yang berhembus membelai padi bergoyang serempak, seolah melambaikan tangan selamat datang. Sesekali, dari pucuk pepohonan kicauan burung-burung kecil bersahutan. 

Mengaminkan Mitos, Mendokumentasikan Perjalanan

Mitos Curug Anom terdengar manis jika didengar oleh orang yang sedang dilanda asmara, atau mereka yang masih berpetualang menelusuri cinta sejatinya. Tapi dari sisi orang yang baru mengalami patah dari luka yang belum sembuh, mitos ini serupa ujian. Apakah ia percaya dan mengaminkan bahwa air yang jatuh bisa menyembuhkan, atau ia hanya datang untuk menyaksikan air jatuh dan membiarkannya berlalu begitu saja, tanpa makna yang berarti? 

Saya sempat meyakini bahwa cinta serupa arus sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Tapi ternyata saya keliru. Air tak selamanya deras dan meluap, ia pun bisa surut kapan saja tanpa harus menunggu musim kemarau tiba. Dan di Curug Anom, saya belajar bahwa yang bertahan hanyalah cadas bebatuan yang menopang air jatuh saban hari. Meski ia terkikis oleh waktu, digenggam lumut dan dihempaskan angin, ia bertahan dalam keabadian. 

Setelah hampir menghabiskan waktu satu jam berjalan santai, suara deru air yang jatuh dan samar di antara desir angin mulai terdengar. Semakin banyak langkah, harmoni alam semakin dekat dan jelas terdengar. Menjelang anak tangga terakhir membawa saya ke bibir kolam kecil tepat di bawah air terjun. 

Tidak ada hingar yang sesak di sini. Hanya ada saya, debur suara air dan dedaunan yang saling berjatuhan. Dinding tebing bebatuan di belakang air terjun itu serupa tembok tua yang menyimpan segudang cerita yang larut terbawa arus. Lumut pekat menempel di sela-sela batu, layaknya garis-garis usia di wajah seseorang yang kian menua.

Saya duduk di salah satu batu besar menghadap tebing, menanggalkan ransel, lalu membasuhkan lengan dan muka bergantian. Begitu dingin sampai terasa memasuki setiap celah pori-pori kulit. Sudah cukup lama wajah terbenam dalam air, bukan hanya untuk mengaminkan mitos, tapi karena ingin meyakinkan diri bahwa setiap luka dan kekecewaan yang diterima akan pergi dan hanyut seiring dengan air yang berangsur pergi. 

Jernih Curug Anom dan Kesalahan yang Dihanyutkan

Setelah cukup lama wajah tenggelam dalam arus, timbul sensasi yang berbeda. Seakan-akan setiap tetes air yang membasuh wajah kusam menghanyutkan beban yang selama ini mengendap dalam isi kepala. Meski tidak semua, tapi ia cukup membuat saya menarik napas jauh lebih panjang dan dalam dari biasanya. 

Tak sedikit orang yang berkunjung ke tempat ini pulang membawa isi kepala dengan sesuatu yang diharapkan seperti pasangan, keberuntungan, atau sekedar konten yang bagus. Sementara itu, saya bertamu dan pulang dengan sesuatu yang lain, yakni tentang kesadaran bahwa penyembuhan bukanlah proses yang instan. Ia serupa rute terjal, kadang berliku, licin dan tak jarang memaksa kita untuk menyerah dan kalah. 

Kondisi jalan menuju Curug Anom Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yayang Nanda Budiman)
Kondisi jalan menuju Curug Anom Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Katanya “hanya waktu yang akan menyembuhkan”. Tapi ia tidak meneruskan kalimatnya, bahwa waktu tak pernah berputar cepat, bahkan terkesan lambat dan membosankan, sementara itu kita harus berjalan bersamanya. 

Setelah menghabiskan waktu hampir 4 jam lamanya, saya memperoleh banyak hal bahkan dari yang tak pernah dipertanyakan. Air terjun tidak berusaha untuk menutupi apa yang ada di baliknya. Jatuhnya bukan karena ia kalah, tapi untuk melanjutkan perjalanan menuju hilir yang ia rindukan kepulangannya. Mungkin penyembuhan pun berlaku demikian. Kita tidak boleh berhenti karena terjatuh, lanjutkan perjalanan, susuri setiap lika-likunya, meski tak jarang tertahan oleh bebatuan, teruskan hingga kebahagiaan tiba di suatu masa. 

Pulang dan Perjalanan Memaafkan

Ketika badan berbalik hendak meninggalkan Curug Anom, anak tangga menuntun saya untuk kembali pulang. Matahari mulai naik tepat di atas pucuk kepala, cahayanya menembus rongga dedaunan. Dari kejauhan, petakan sawah yang sempat saya lewati kembali melambaikan tangkainya, seperti hendak mengucapkan selamat jalan. 

Bukan hanya perihal jodoh, hubungan yang kekal, atau segudang foto yang menyesaki galeri dan beranda media sosial. Tapi ada satu hal yang paling berharga yang telah saya bawa dari sana yakni perasaan tenang untuk lapang memaafkan atas semua perjalanan hidup yang telah saya selesaikan.

Kadangkala, kita berkunjung ke suatu tempat bukan untuk memperoleh sesuatu, melainkan untuk meninggalkan sesuatu seperti ada yang membekas.

Di Curug Anom, sesaknya isi kepala yang sebelumnya saya pikul, telah hanyut terbawa deras air yang berjatuhan. Tidak semua, tapi sudah cukup membuat pikiran lebih jernih dan tenang dari sebelumnya. Dan itu sangat lebih dari cukup. (*)

Artikel Rekomendasi Untuk Anda

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Yayang Nanda Budiman
Praktisi hukum di Jakarta, menyukai perjalanan, menulis apapun, sisanya mendengarkan Rolling Stones
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

Ada Pandan Jaksi di Cijaksi

Ayo Netizen 27 Agu 2025, 14:50 WIB
Ada Pandan Jaksi di Cijaksi

News Update

Ayo Jelajah 15 Okt 2025, 21:15 WIB

Sejarah Pindad, Pindah ke Bandung Gegara Perang Dunia

Jejak sejarah PT Pindad dimulai dari bengkel senjata era Daendels di Surabaya hingga menjadi perusahaan pertahanan terbesar Indonesia yang bermarkas di Bandung.
Para buruh sedang bekerja di Artillerie Constructie Winkel (ACW), cikal bakal PT Pindad di Bandung. (Sumber: Tropenmuseum)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 20:12 WIB

5 PR Literasi Religi Kita

Di sinilah letak masalah literasi religi, kita masih punya banyak PR yang belum selesai.
Di sinilah letak masalah literasi religi, kita masih punya banyak PR yang belum selesai. (Sumber: Pexels/Janko Ferlic)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 19:25 WIB

Regenerasi Rasa Lokal yang Menghidupkan Bisnis Kuliner Bandung

Dari nasi kuning hingga urap segar, sajian warisan nenek moyang kini tampil sebagai menu utama di berbagai resto dan kafe, bukan sekadar pelengkap.
Dari nasi kuning hingga urap segar, sajian warisan nenek moyang kini tampil sebagai menu utama di berbagai resto dan kafe, bukan sekadar pelengkap. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 18:22 WIB

Disiplin, Penuntun Kesadaran

Disiplin bukan soal patuh pada aturan, tapi perjalanan panjang menuntun diri menuju kesadaran.
Ilustrasi siswa sekolah di Jawa Barat. (Sumber: Pemprov Jabar)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 17:11 WIB

Event Rakyat dan Tren Konten Horor: Memulangkan Martabat Abangan sebagai Agama Rakyat

Kita sendiri adalah anak kandung dari abangan yang perlahan dipatuhkan lewat pembinaan agama yang sangat masif.
Setelah ’65 abangan dituding ateis, antek komunis, dan dibasmi habis. Namun begitu agama rakyat ini tidak pernah benar-benar hilang. (Sumber: Pexels/afiful huda)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 17:07 WIB

Keju Meleleh Masih Jadi Primadona: Tren Kuliner Kekinian yang Menggairahkan Bisnis Resto di Bandung

Mozzarella bukan sekadar bahan pelengkap, tapi telah menjelma menjadi ikon kuliner kekinian yang terus menggairahkan pasar makanan di Bandung.
Mozzarella bukan sekadar bahan pelengkap, tapi telah menjelma menjadi ikon kuliner kekinian yang terus menggairahkan pasar makanan di Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 15:39 WIB

Pemotongan Dana Transfer Daerah dan Efisiensi Fiskal Jawa Barat

Krisis fiskal Jawa Barat menjadi momentum reformasi anggaran.
Krisis fiskal Jawa Barat menjadi momentum reformasi anggaran. (Sumber: Unsplash/ Mufid Majnun)
Ayo Biz 15 Okt 2025, 15:31 WIB

Membaca Gen Z di Bandung: Generasi Kreatif yang Rentan Terputus dari Realitas

Generasi Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari identitas dan cara hidup.
Generasi Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat, di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari identitas dan cara hidup. (Foto: Freepik)
Ayo Jelajah 15 Okt 2025, 12:35 WIB

Jejak Kerajaan Sumedang Larang, Pewaris Pajajaran yang Lahir di Kaki Gunung Tampomas

Bermula dari pelarian keturunan Galuh, Sumedang Larang bangkit di bawah cahaya Prabu Tajimalela dan menjadi penerus sah kerajaan Sunda terakhir.
Potret Gunung Tampomas di Sumedang tahun 1890-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 12:35 WIB

Critical Thinking sebagai Fondasi Epistemologis Pembelajaran Andragogi

Membangun kesadaran kritis dan transformasi diri melalui critical thinking dan transformative learning sebagai fondasi perubahan.
Membangun kesadaran kritis dan transformasi diri melalui critical thinking dan transformative learning sebagai fondasi perubahan. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 09:51 WIB

Tren 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat, antara Kekerasan Finansial atau Realitas Sosial

Konten 10 Ribu di tangan Istri yang tepat banyak menuai kontra dari sebagian besar pengguna media sosial.
Polemik Tren 10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 15 Okt 2025, 07:09 WIB

Pasar Seni ITB dan Gerak Ekonomi Bandung

Pasar Seni ITB menyimpan potensi ekonomi yang besar bagi ekosistem kreatif kota.
Konferensi Pers Pasar Seni ITB 2025 di International Relation Office (IRO) ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Selasa 7 Oktober 2025. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 20:07 WIB

Tragedi Ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny, Cermin Tanggung Jawab Kita Semua

Duka mendalam atas tragedi ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny memberikan kita banyak pelajaran.
Data sementara menunjukkan, 67 orang tewas dalam ambruknya gedung Ponpes Ponpes Al Khoziny. (Sumber: BNPB | Foto: Danung Arifin)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 18:02 WIB

Budaya, Agama, dan Sepak Bola Arab Saudi

Terlepas pada beredar  pro kontranya, namun kalau melihat pada perkembangan sepak bola Arab Saudi begitu pesat. 
King Saud University Stadium di Riyadh, Arab Saudi. (Sumber: Wikimedia Commons/Alina.chiorean)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 17:30 WIB

Modernisme Linguistik

Elemen bahasa adalah zat sederhana yang berisi pengidentifikasian bahasa yang dibagi menjadi dua bagain yaitu elemen bentuk dan elemen makna.
Ilustrasi seorang pria membaca buku. (Sumber: Pexels/Daniel Lee)
Ayo Biz 14 Okt 2025, 17:20 WIB

Naik Gunung Demi Gengsi: FOMO Generasi Muda yang Menghidupkan Industri Outdoor

Gunung bukan lagi sekadar tempat pelarian dari rutinitas, bagi generasi milenial dan Gen Z, mendaki telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pencarian jati diri, dan eksistensi sosial.
Gunung bukan lagi sekadar tempat pelarian dari rutinitas. Bagi generasi milenial dan Gen Z, mendaki telah menjelma menjadi simbol gaya hidup, pencarian jati diri, dan eksistensi sosial. (Foto: Pixabay)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 17:02 WIB

Pesantren, Wajah Islam Damai

Inilah pesantren wajah damai Islam yang menjadi cita-cita bersama dalam membangun kehidupan bangsa dan negara yang adil, sejahtera dan beradab ini.
Lomba cerdas cermat, pidato, mewarnai, kaligrafi dan fashion show, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2024 yang mengambil tema Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan. (Sumber: ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 16:11 WIB

Sebuah Refleksi Kritis tentang 'Penyebaran Agama' dan Kebebasan Beragama

Pertemuan agama dunia dan lokal selalu perlu dibicarakan ulang, antara hak untuk percaya dan hak untuk dibiarkan dengan keyakinannya.
Kebebasan beragama sejati berarti memiliki kedua hak itu sekaligus, hak untuk berubah, dan hak untuk tidak diubah. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Biz 14 Okt 2025, 15:56 WIB

Ruang Tunggu yang Tak Lagi Menunggu: Gerakan Warga Menghidupkan Halte Bandung

Komunitas ini percaya bahwa halte bukan sekadar tempat menunggu bus, melainkan simpul penting dalam sistem mobilitas kota.
Komunitas Rindu Menanti percaya bahwa halte bukan sekadar tempat menunggu bus, melainkan simpul penting dalam sistem mobilitas kota. (Sumber: Ayobandung.id)
Ayo Netizen 14 Okt 2025, 15:00 WIB

Budaya Mistis yang Menghambat Pemulihan Kasus Skizofernia

Budaya mistis masih mendahulukan pengobatan mental dengan datang ke dukun ketimbang langsung datang ke ahli kesehatan.
Jika merujuk dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, diperkirakan sekitar 450 ribu masyarakat Indonesia merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat. (Sumber: Pexels/Kodi Baines)